Pimpin Aglomerasi DKJ, Wapres Diminta Tak Intervensi Daerah Otonom

Wapres hanya koordinasikan semua program yang akan dirancang

Jakarta, IDN Times - Wakil Presiden RI akan memimpin Dewan Kawasan Aglomerasi yang mencakup Jabodetabek-Cianjur. Hal itu tertuang di dalam RUU Daerah Khusus Jakarta (DKJ).

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Mardani Ali Sera menyampaikan, alasan penunjukan wapres tersebut untuk memudahkan koordinasi pembangunan di kawasan aglomerasi. Kendati, ia tidak boleh mengintervensi pembangunan di daerah otonom kawasan aglomerasi.

"Kenapa dipilih wapres, pertimbangan kemendagri tadi ditanyakan agar memudahkan koordinasi, tapi ingat, tidak ada intervensi," kata Mardani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (14/3/2024).

"DKI nggak diintervensi, urusannya dengan DKI. Bogor nggak bisa, Depok nggak, mereka masing-masing (daerah) otonom," imbuhnya.

Baca Juga: Pemerintah Arahkan Jakarta Jadi Kota Aglomerasi, Ditangani Wapres

1. Tugas wapres di kawasan Aglomerasi DKJ

Pimpin Aglomerasi DKJ, Wapres Diminta Tak Intervensi Daerah OtonomIlustrasi (IDN Times/Sunariyah)

Akan tetapi, wapres hanya mengoordinasikan semua program yang akan dirancang dalam rencana induk oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, misalnya urusan sampah, banjir, hingga jalur dan layanan transportasi di kawasan tersebut.

"Jalur-jalur yang memang fungsional itu dikoordinasikan melalui dewan aglomerasi yang di UU ini di plot oleh wapres," ujarnya.

Mardani menjelaskan, kawasan Aglomerasi DKJ sebatas konsep penataan kota yang berseberangan langsung dengan Jakarta.

"Kita ingin kalau nggak jadi ibu kota (kontribusi) Jakarta tetap 17 persen (terhadap PDB) bahkan naik ke 20-25 sehingga bisa bersaing dengan Bangkok, Singapura, Manila dan Tokyo. Tentu butuh penataan," kata dia.

2. Senator khawatir ada dualisme kekuasaan

Pimpin Aglomerasi DKJ, Wapres Diminta Tak Intervensi Daerah Otonomilustrasi lalu lintas di kawasan Gatot Subroto, Jakarta (IDN Times/Amir Faisol)

Sementara itu, Ketua Komite III DPD RI Sylviana Murni khawatir terjadi dualisme kekuasaan, bila wapres diberikan wewenang untuk mengurus kawasan Aglomerasi DKJ. 

"Atribusi kewenangan secara langsung kepada wapres sebagai Dewan Kawasan Aglomerasi dalam RUU ini harus dipertimbangkan sedemikian rupa, agar tidak terjadi dualisme kekuasaan," kata dia.

Senator asal DKI Jakarta itu menyampaikan, penugasan wakil presiden harus berdasarkan kewenangan mandat dari presiden sebagai penanggung jawab tertinggi. Oleh karena itu, ia berharap Baleg DPR RI dan pemerintah bisa mempertimbangkan mandat wapres mengurusi kawasan aglomerasi.

"Saya yakin ini sudah diperhitungkan dengan matang sebagai penanggung jawab tertinggi. Saya yakin ini sudah diperhitungkan dan dipertimbangkan baik oleh Baleg DPR RI dan juga Kemendagri," kata dia.

3. Pemerintah bantah kawasan Aglomerasi disiapkan untuk Gibran

Pimpin Aglomerasi DKJ, Wapres Diminta Tak Intervensi Daerah Otonomilustrasi lalu lintas di kawasan Gatot Subroto, Jakarta (IDN Times/Amir Faisol)

Adapun Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian meluruskan rumor tentang Dewan Kawasan Aglomerasi disiapkan untuk Gibran. Menurut Tito, nama aglomerasi itu diputuskan melalui grup diskusi (FGD). 

Tujuannya, agar ada harmonisasi dan sinkronisasi program. Konsep ini juga telah dibahas sejumlah pakar tata kota dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia, dan UGM.

Pemerintah, kata dia, bahkan turut menggandeng pakar hukum tata negara untuk memberikan masukan terkait perancangan RUU DKJ. 

Tito menjelaskan, hal itu sudah dibahas sejak April 2022. Sehingga bila merujuk ke masa itu, belum dibentuk koalisi parpol menjelang Pemilu 2024.

"Apalagi paslonnya. Kita belum tahu ketika diadakan FGD itu. Di situ lah muncul harmonisasi pembangunan mulai dari perencanaan hingga evaluasi," ujar Tito.

Menurut dia, sebelum menjatuhkan pilihan penyebutan aglomerasi, sempat juga muncul ide lain seperti Metropolitan atau Megapolitan. 

"Banyak yang menjadi permasalahan bersama, mulai dari lalu lintas, banjir, migrasi penduduk. Bahkan, merembet juga ke masalah kesehatan seperti COVID-19 dan lain-lain," kata dia.

"Makanya, perlu harmonisasi dan evaluasi program. Saat itu ada beberapa istilah yang muncul. Apakah membentuk kawasan Metropolitan Jakarta, Jadebotabekjur, atau namanya Megapolitan atau namanya Aglomerasi," imbuhnya.

Mantan Kapolri itu menjelaskan, jika menggunakan istilah Megapolitan atau Metropolitan, seolah-olah kota satelit atau penyangga itu akan dijadikan satu pemerintahan dengan Jakarta.

"Konsep ini banyak ditentang karena akan mengubah banyak undang-undang. Mulai dari UU Jawa Barat, UU Banten, UU Kota Depok, UU tentang Kota Bekasi," katanya.

"Akhirnya disepakati saat itu disebut saja wilayah itu aglomerasi yang berarti tidak ada keterikatan administrasi pemerintahan. Tapi, ini kawasan yang perlu diharmonisasikan program-programnya. Terutama yang menjadi problem bersama," imbuhnya. 

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya