Epidemiolog: Pemerintah Juga Harus Tetapkan Harga Tertinggi Reagen PCR
Rumah sakit dan faskes wajar ambil untung
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengusulkan, pemerintah harusnya tidak hanya mengatur harga tertinggi Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR), tapi juga harga reagen PCR yang dijual ke laboratorium dan rumah sakit.
Dicky menerangkan, berdasarkan info harga reagen ekstraksi dan PCR sekitar Rp25 ribu sampai Rp70 ribu sudah termasuk PPN. Selain harga reagen PCR, juga harus diperhitungkan jasa sarana lain dan barang habis pakai lain yang tentu memerlukan modal.
"Artinya tarif yang ada sekarang tidak ideal untuk pertimbangan biaya-biaya di atas. Selain itu, sekarang tes PCR sudah sedikit, biaya kerugian untuk pengulangan juga belum dihitung," papar Dicky saat dikonfirmasi IDN Times, Rabu (3/11/2021).
Baca Juga: YLKI: Kebijakan Wajib PCR Tiap Jarak 250 Kilometer Mengada-Ada
1. PCR konvensional minimal memeriksa 8 sampel
Dicky menjabarkan, PCR konvensional minimal memeriksa 8 sampel baru bisa dilanjutkan, jika di bawah 8 berarti sisanya terbuang.
"Kalau lab biasanya dimasukkan ke biaya kerugian seperti untuk pengulangan. Selain itu, untuk harga reagen PCR, berlaku hukum dagang, semakin banyak belinya maka semakin murah harga yang diberikan, ya kayak harga grosir, tetapi kalau para vendor ngasih harga kan bebas. Nah kita di lab dan rumah sakit ya dapat harga dari vendornya, tidak semurah kalau beli langsung ke pabriknya," imbuh dia.
Baca Juga: PCR Diduga Jadi Lahan Bisnis Menteri, PKS: Negara Bisa Bangkrut!