YLKI: Kebijakan Wajib PCR Tiap Jarak 250 Kilometer Mengada-Ada

Pengemudi jarak jauh kini hanya wajib tes rapid antigen

Jakarta, IDN Times - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengkritik kebijakan pemerintah yang sempat mewajibkan pelaku perjalanan darat agar melakukan tes swab PCR bila menempuh jarak 250 kilometer. Menurut Tulus, kebijakan yang sempat dirilis oleh Kementerian Perhubungan itu mengada-ada dan menggelikan. 

"Nuansa bisnisnya malah makin kentara," ujar Tulus melalui keterangan tertulis pada Rabu (3/11/2021). 

Tetapi, setelah sempat dirilis selama dua hari, kebijakan itu diralat. Di dalam Surat Edaran (SE) nomor 94 tahun 2021 tentang petunjuk pelaksanaan perjalanan orang di dalam negeri pada masa pandemik COVID-19, kini pelaku perjalanan jarak jauh kembali ke aturan semula. Pelaku perjalanan jarak jauh kini hanya diwajibkan menunjukkan hasil negatif tes rapid antigen maksimal sehari sebelum berangkat dan menunjukkan kartu telah divaksinasi minimal dosis pertama. 

Menurut Tulus meski sudah kembali ke syarat awal, tetapi tetap dianggap memberatkan bagi masyarakat. Apalagi kewajiban tes antigen bagi penumpang bus malah menyebabkan biaya perjalanan menjadi membengkak. 

"Masak tarif tes antigennya lebih mahal dari tarif busnya?" kata Tulus lagi. 

Pengawasan di lapangan, khususnya di masa tingkat perjalanan yang bakal meningkat juga sulit dilakukan, terutama bagi pemilik kendaraan pribadi. Ia khawatir akan menimbulkan kerumunan saat dilakukan pemeriksaan. 

Mengapa kebijakan syarat terkait pelaku perjalanan kerap gonta-ganti dalam waktu singkat? Apalagi yang menjadi korban dari perubahan kebijakan yang terlalu cepat lagi-lagi masyarakat. 

1. Belum semua laboratorium di daerah menurunkan tarif swab PCR

YLKI: Kebijakan Wajib PCR Tiap Jarak 250 Kilometer Mengada-AdaLini masa harga tes COVID-19 di Indonesia sejak awal pandemik COVID-19 hingga 2021 (IDN Times/Aditya Pratama)

Menurut Tulus, dalam memformulasikan dan menerapkan kebijakan, pemerintah tidak bisa seenaknya. Pemerintah harus memperhitungkan dampaknya kepada masyarakat. 

"Sekarang, setelah kewajiban tes swab PCR untuk calon penumpang pesawat diprotes kanan dan kiri, kemudian direduksi menjadi wajib tes rapid antigen. Sekarang kewajiban rapid antigen ini. Ini namanya absurd policy," ujar Tulus. 

Sebelum mewajibkan tes tertentu untuk dijadikan sebagai skrining, pemerintah seharusnya lebih dulu menertibkan tarif swab PCR yang masih tinggi. Menurut laporan konsumen yang diterima oleh YLKI, sebuah laboratorium di Solo menerapkan harga Rp600 ribu untuk hasil 1X24 jam. 

"Pihak lab menerapkan strategi same day atau istilah lain PCR Express agar tarifnya lebih mahal. Saya saja barusan tes PCR dengan kategori hasil keluar di hari yang sama dikenakan biaya Rp650 ribu," ungkapnya. 

Padahal, sejak Oktober 2021 lalu, pemerintah menetapkan batas tarif atas tes swab PCR berkisar Rp275 ribu hingga Rp300 ribu. 

Baca Juga: Siasat Meraup Cuan dari Bisnis Tes PCR dan Antigen di Saat Pandemik 

2. Pemerintah bisa berganti kebijakan seenaknya karena dasar aturan adalah surat edaran, bukan undang-undang

YLKI: Kebijakan Wajib PCR Tiap Jarak 250 Kilometer Mengada-AdaPengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Agus Pambagio (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)

Sementara, menurut pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Agus Pambagio, alasan pemerintah bisa dengan mudah mengubah kebijakan lantaran dasar hukum yang digunakan untuk membuat aturan hanya Surat Edaran (SE). Padahal, di dalam tata pembuatan aturan SE tak memiliki kekuatan hukum dan berpotensi digugat ke pengadilan. 

"Sejak awal pandemik, pemerintah kebanyakan menggunakan SE atau instruksi menteri tidak ada di dalam tata pembuatan perundang-undangan dan tak memiliki kekuatan hukum. Saya sudah ingatkan berkali-kali dan herannya biro hukum di tiap kementerian, termasuk di Kemenkum HAM dan Sekretariat Negara tetap membiarkan. SE itu kan sifatnya internal dan tak bisa dijadikan dasar untuk mengatur ke luar," kata Agus kepada media pada Selasa, 2 November 2021. 

Dengan adanya dasar dan pijakan pembuatan aturan berupa SE, maka pemerintah bisa mengubah peraturan sesukanya. Bahkan, meski aturan tersebut berusia kurang dari satu minggu. 

"Ini sih menunjukkan kekalutan (pemerintah) dan sebenarnya siapa yang mengatur regulasi ini, pemerintah kah atau ada kelompok manusia lain yang sedang ramai dibahas di beberapa media belakangan ini," tanya dia lagi. 

Kelompok manusia yang dimaksud adalah pejabat publik yang diduga menjadi mafia dari bisnis tes swab PCR. Mereka terjerat konflik kepentingan karena saat ini menjadi pemangku kebijakan tetapi juga memiliki bisnis tes swab PCR. 

Baca Juga: Epidemiolog: Penerapan PCR untuk Perjalanan Timbulkan Masalah Baru

3. Perubahan peraturan yang mendadak juga merugikan petugas di lapangan

YLKI: Kebijakan Wajib PCR Tiap Jarak 250 Kilometer Mengada-AdaIlustrasi Bandara Soekarno-Hatta (Soetta) (Dok. Angkasa Pura II)

Agus mengatakan, selain merugikan masyarakat, perubahan aturan yang mendadak itu juga membuat kebingungan bagi petugas di lapangan yang diminta menegakan peraturan tersebut. "Mereka kalau mau menindak, dasarnya apa? Apa cukup dengan SE saja? Itu kan tidak bisa untuk mengatur keluar," kata Agus. 

"Justru hingga saat ini saya masih mempertanyakan mengapa SE terus dijadikan dasar pembuatan aturan? Coba, dilihat ketika memberlakukan PSBB hingga PPKM, mereka kan kebingungan. Akhirnya, tidak disekat atau ditindak," ujarnya. 

Agus menegaskan masyarakat bisa saja tidak mematuhi aturan turunan yang bersumber dari Surat Edaran (SE). Tetapi, ia percaya dengan melakukan tes swab PCR, hasilnya bakal dimanfaatkan untuk melakukan pelacakan dan monitoring soal kondisi pelaku perjalanan sebelum bepergian. 

"Jangan-jangan, tiap hari nanti aturan bakal berganti. Bila ini yang terjadi, maka tidak akan ada yang namanya kebijakan," tutur dia lagi. 

Baca Juga: Hitung-Hitungan PKS soal Cuan dari Bisnis PCR, Sampai Rp15 Triliun

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya