TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

4 Alasan Perpres Iuran BPJS Harus Dicabut Menurut Komisi IX DPR 

Kenaikan iuran dinilai belum tentu selesaikan defisit BPJS

Anggota komisi IX DPR RI, Saleh Partaoan Daulay di diskusi akhir pekan di kawasan Jakarta Pusat (IDN Times/Margith Juita Damanik)

Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay mengimbau pemerintah untuk membatalkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Wakil Ketua Fraksi PAN itu menyebut ada beberapa alasan fundamental mengapa perpres itu perlu dibatalkan.

Pertama, perpres itu dinilai tidak mengindahkan pendapat dan anjuran yang disampaikan oleh DPR. Padahal DPR, kata dia, telah menyampaikan keberatannya terhadap rencana kenaikan itu melalui rapat-rapat di Komisi IX dan rapat-rapat gabungan Komisi IX bersama pimpinan DPR.

“Waktu itu, kita merasakan belum tepat waktunya untuk menaikkan iuran. Kemampuan ekonomi masyarakat dinilai rendah. Kan aneh sekali, justru pada saat pandemik COVID-19 ini pemerintah malah menaikkan iuran. Padahal, semua orang tahu bahwa masyarakat di mana-mana sedang kesusahan,” ujar Saleh saat dihubungi, Sabtu (16/5).

Baca Juga: Pengamat: Kenaikan BPJS Kesehatan Bukti Tumpulnya Nurani Pemerintah!

1. Pemerintah tidak mematuhi putusan MA

Ilustrasi (IDN Times/Hana Adi Perdana)

Kedua, Wakil Ketua MKD itu menilai pemerintah tidak patuh pada putusan Mahkamah Agung Nomor 7/P/HUM/2020 yang membatalkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019. Padahal, putusan MA bersifat final dan mengikat terhadap semua orang, termasuk kepada presiden.

“Kalau mau lebih spesifik, kita bisa merujuk pada Pasal 31 UU tentang MA yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibatalkan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal ini mengamanatkan dua hal. Pertama, sesuatu yang dibatalkan berarti tidak dapat digunakan lagi. Kedua, kalau sudah dibatalkan tidak boleh dibuat lagi. Apalagi, substansinya sama, yaitu kenaikan iuran,” ujar Saleh.

“Bagi saya, dengan keluarnya perpres ini sekaligus mengukuhkan kekuasaan eksekutif yang jauh melampaui legislatif dan yudikatif. Padahal, di dalam negara demokrasi, eksekutif, legislatif, dan yudikatif memiliki kedudukan yang sama tinggi. Karena itu, keputusan-keputusan ketiga lembaga itu harus saling menguatkan, bukan saling mengabaikan,” sambung dia.

2. Keputusan presiden mengurangi kepercayaan masyarakat

Dok. Biro Pers Kepresidenan

Ketiga, dikeluarkannya Perppu 65/2020 itu diyakini akan mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Sebab, menurut Saleh, masyarakat banyak berharap agar pemerintah mengikuti putusan MA.

“Perppu 75/2019 dibatalkan atas dasar keberatan dan judicial review yang dilakukan masyarakat. Jika nanti Perppu 64/2020 digugat lagi ke MA, lalu MA konsisten dengan putusan sebelumnya yang menolak kenaikan iuran, ini tentu akan menjadi preseden tidak baik. Tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dipastikan akan turun,” kata dia.

3. Kenaikan iuran belum tentu menyelesaikan defisit BPJS

Kebijakan kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan (IDN Times/Rahmat Arief)

Keempat, kenaikan iuran yang diamanatkan dalam Perppu 64/2020 dinilai belum tentu menyelesaikan persoalan defisit BPJS Kesehatan. Apalagi, kata Saleh, kenaikan iuran ini belum disertai dengan kalkulasi dan proyeksi kekuatan keuangan BPJS pasca-kenaikan. Patut diduga, bahwa kenaikan iuran ini hanya menyelesaikan persoalan keuangan BPJS sesaat.

"Kalau iuran naik, bisa saja orang-orang akan ramai-ramai pindah kelas. Kelas I dan II bisa saja mutasi kolektif ke kelas III. Selain itu, bisa juga orang enggan untuk membayar iuran. Bisa juga orang tidak mau mendaftar jadi peserta mandiri. Dan banyak lagi kemungkinan lain yang bisa terjadi sebagai konsekuensi dari kenaikan iuran ini. Kalau semua itu terjadi, pasti akan berdampak pada kolektabilitas iuran dan penghasilan BPJS,” ujarnya.

Saleh menegaskan, pemerintah sebaiknya mendesak agar BPJS berbenah. Karena menurutnya, banyak persoalan yang kompleks dan perlu diperbaiki.

“Termasuk masalah pendataan kepesertaan, fraud, pelayanan di faskes-faskes, ketersediaan kamar untuk rawat inap, stok obat, dan lain-lain. Ada juga persoalan birokrasi yang kadang-kadang berbelit akibat banyaknya aturan yang dikeluarkan,” paparnya.

Baca Juga: Kemenko PMK: Iuran BPJS Naik Tanda Pemerintah Berpihak ke Rakyat

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya