TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Jokowi Teken UU Cipta Kerja, KSPI Masih Keberatan di Pasal-pasal Ini

Buruh minta UU Cipta Kerja dicabut

Seorang massa aksi mengecat wajahnya dengan warna merah dan putih saat mengikuti aksi blokir Jalan Nasional dalam rangka menolak UU Cipta Kerja di Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (20/10/2020) (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)

Jakarta, IDN Times - Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo telah menandatangani UU Cipta Kerja atau Omnibus Law Cipta Kerja pada Senin (2/11/2020) malam. Dengan begitu, omnibus law  tersebut sudah resmi berlaku. Menanggapi hal itu, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan menolak dan meminta agar omnibus law tersebut dibatalkan atau dicabut.

“Setelah kami pelajari, isi undang-undang tersebut khususnya terkait klaster ketenagakerjaan hampir seluruhnya merugikan kaum buruh,” kata Presiden KSPI Said Iqbal lewat keterangan tertulisnya, Selasa (3/11/2030).

Lalu pasal-pasal apa saja yang masih menjadi perhatian dari buruh?

Baca Juga: Pasal Krusial Omnibus Law Ciptaker yang Beda dari UU Ketenagakerjaan

1. Pasal-pasal upah murah

Buruh kerja menyelesaikan produksi pakaian di sebuah perusahaan konveksi di Bandung, Jawa Barat, Senin (12/10/2020). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

Menurut kajian dan analisa yang dilakukan KSPI secara cepat setelah menerima salinan UU No. 11 Tahun 2020 khususnya klaster ketenagakerjaan, ditemukan banyak pasal yang merugikan kaum buruh.

Misalnya, dengan adanya sisipan Pasal 88C Ayat (1) yang menyebutkan gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi dan Pasal 88C Ayat (2) yang menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.

Penggunaan frasa ‘dapat’ dalam penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) ini menurut Said Iqbal sangat merugikan buruh. Karena penetapan UMK bukan kewajiban, bisa saja gubernur tidak menetapkan UMK. Hal ini akan mengakibatkan upah murah.

“Kita ambil contoh di Jawa Barat. Untuk tahun 2019, UMP Jawa Barat sebesar 1,8 juta. Sedang UMK Bekasi sebesar 4,2 juta. JIka hanya ditetapkan UMP, maka nilai upah minimum di Bekasi akan turun,” kata Iqbal.

Selain itu, dihilangkannya upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (UMSK dan UMSP), karena UU No 11 Tahun 2020 menghapus Pasal 89 UU No 13 Tahun 2003.

“Bagaimana mungkin sektor industri otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai Upah Minimumnya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk,” ujar Iqbal.

KSPI dalam hal ini meminta agar UMK harus tetap ada tanpa syarat dan UMSK serta UMSP tidak boleh dhilangkan. Jika ini terjadi, maka akan berakibat tidak ada income security (kepastian pendapatan) akibat berlakunya upah murah.

2. PKWT atau karyawan kontrak seumur hidup

Buruh kerja menyelesaikan produksi pakaian di sebuah perusahaan konveksi di Bandung, Jawa Barat, Senin (12/10/2020). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

UU No. 11 Tahun 2020 menghilangkan periode batas waktu kontrak yang terdapat di dalam Pasal 59 UU No 13 Tahun 2003. Akibatnya, pengusaha bisa mengontrak berulang-ulang dan terus-menerus tanpa batas periode menggunakan PKWT atau karyawan.

“Dengan demikian, PKWT (karyawan kontrak) bisa diberlakukan seumur hidup tanpa pernah diangkat menjadi PKWTT (karyawan tetap). Hal ini berarti, tidak ada job security atau kepastian bekerja,” kata Iqbal.

Padahal dalam UU No 13 Tahun 2003, PKWT atau karyawan kontrak batas waktu kontraknya dibatasi maksimal 5 tahun dan maksimal 3 periode kontrak. Dengan demikian, setelah menjalani kontrak maksimal 5 tahun, maka karyawan kontrak mempunyai harapan diangkat menjadi karyawan tetap atau permanen apabila mempunyai kinerja yang baik dan perusahaan tetap berjalan.

“Tetapi UU 11 Tahun 2020 menghilangkan kesempatan dan harapan tersebut,” ujarnya.

3. Outsourcing seumur hidup

Ilustrasi buruh. IDN Times/Debbie Sutrisno

UU No 11 Tahun 2020 mengapus Pasal 64 dan 65 UU No 13 Tahun 2003. Selain itu, juga menghapus batasan lima jenis pekerjaan yang terdapat di dalam Pasal 66 yang memperbolehkan penggunaan tenaga kerja outsourcing hanya untuk cleaning service, cattering, security, driver, dan jasa penunjang perminyakan.

Dengan tidak adanya batasan terhadap jenis pekerjaan yang boleh menggunakan tenaga outsourcing, maka semua jenis pekerjaan di dalam pekerjaan utama atau pekerjaan pokok dalam sebuah perusahaan bisa menggunakan karyawan outsourcing.

“Hal ini mengesankan negara melegalkan tenaga kerja diperjual belikan oleh agen penyalur. Padahal di dunia internasional, outsourcing disebut dengan istilah modern slavery (perbudakan modern),” kata Iqbal. Oleh karena itu, KSPI meminta penggunaan tenaga kerja outsourcing hanya dibatasi 5 jenis pekerjaan saja sebagaimana diatur dalam UU No 13 Tahun 2003.

Baca Juga: Tolak UU Cipta Kerja, KSPI Ancam Mogok Kerja Nasional Lagi

4. Nilai pesangon dikurangi

Dok.IDN Times/Istimewa

UU No 11 tahun 2020 mengurangi nilai pesangon buruh, dari 32 bulan upah menjadi 25 kali upah. Nilai tersebut terdiri atas 19 kali upah dibayar pengusaha dan 6 kali upah melalui Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang dibayarkan BPJS Ketenagakerjaan.

Hal ini, menurut Iqbal, jelas merugikan buruh Indonesia karena nilai jaminan hari tua dan jaminan pensiun buruh Indonesia masih kecil dibandingkan dengan beberapa neagra ASEAN. Ia membandingkan pesangon Malaysia dengan jumlah antara 56 bulan upah.

“Tetapi nilai iuran jaminan hari tua dan pensiun buruh Malaysia mencapai 23 persen. Sedangkan buruh Indonesia nilai JHT dan pensiunnya hanya 8,7 persen. Akibat nilai jaminan sosial yang lebih kecil itulah, wajar jika kemudian negara melindungi buruh melalui skema pesangon yang lebih baik,” ujarnya.

Menyikapi hal itu, KSPI meminta nilai pesangon dikembalikan sesuai isi UU 13/2003.

Baca Juga: Jokowi Teken UU Cipta Kerja, Simak Isi Lengkapnya di Sini

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya