TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

LBH Makassar Minta Kapolri Buka Kasus Pemerkosaan 3 Anak di Luwu Timur

LBH Makassar juga minta Mabes Polri ambil alih kasus

LBH Makassar. IDN Times / Sahrul Ramadan

Jakarta, IDN Times - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar meminta Kapolri Jendral Pol Listyo Sigit membuka kembali penyelidikan kasus dugaan pemerkosaan tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Pemerkosaan ini diduga dilakukan oleh ayah kandung para korban, yang sudah bercerai dengan ibu korban.

Mereka mengharapkan agar proses penyeliikan dialihkan ke Mabes Polri. Serta, dalam penyelidikan, melibatkan penuh tim kuasa hukum, pelapor selaku ibu para anak korban, serta pendamping sosial anak.

“Menghadirkan saksi dan ahli, melengkapi berkas perkara dengan laporan sosial serta psikologis, dan petunjuk lain dalam penyelidikan, serta memastikan perlindungan korban dan akses terhadap pemulihan bagi para anak korban dan pelapor,” kata Direktur LBH Makassar, Muhammad Haedir, lewat keterangan tertulis pada Minggu (10/10/2021).

Baca Juga: Bareskrim Audit Penyelidikan Kasus Pemerkosaan 3 Anak di Luwu Timur

1. LBH ungkap sejumlah kejanggalan dalam penghentian kasus

Ilustrasi penghentian proses penyelidikan oleh polisi dalam kasus kekerasan seksual di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. (Project M/Muhammad Nauval Firdaus - di bawah lisensi Creative Commons BY-NC-ND 2.0)

Haedir menilai penghentian penyelidikan yang dilakukan penyidik Polres Luwu Timur adalah prematur. Ia mengaku LBH Makassar menemukan sejumlah pelanggaran prosedur.

Misalnya, proses pengambilan keterangan terhadap para anak korban, pelapor selaku ibu dari para anak dilarang untuk mendampingi dan membaca berita acara pemeriksaan (BAP) para anak korban yang penyidik minta pelapor untuk tandatangani.

“Bahwa proses tersebut juga tidak melibatkan pendamping hukum, pekerja sosial atau pendamping lainnya. Hal ini menyalahi ketentuan UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 23,” ujar Haedir.

Menurutnya, pengambilan keterangan para anak korban yang hanya dilakukan satu kali dan tidak didampingi dalam pemeriksaan tersebut juga mengakibatkan keterangan para anak korban tidak tergali dan terjelaskan utuh dalam berita acara interogasi pada berkas perkara.

2. Petugas yang menerima laporan memiliki konflik kepentingan dengan terlapor

Ilustrasi. Korban didampingi LBH APIK melaporkan kasus pelecehan mahasiswi UINAM ke Polda Sulsel. IDN Times/LBH APIK Sulsel

Haedir mengatakan, dasar penghentian penyelidikan adalah dua dokumen yang dikategorikan penyidik sebagai bukti Petunjuk yaitu hasil asesmen P2TP2A Luwu Timur dan asesmen Puspaga Lutim. Kedua petunjuk tersebut pada pokoknya menyatakan para anak korban tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma dan tetap berinteraksi dengan terlapor selaku ayahnya.

“Sementara keduanya berasal dari proses yang berpihak pada terlapor. Ini salah satunya ditunjukkan dari dipertemukannya para anak korban dengan terlapor ketika pertama kali pelapor meminta perlindungan di P2TP2A Luwu Timur. Petugas yang menerima laporan memiliki konflik kepentingan karena pertemanan dengan terlapor sebagai sesama aparat sipil negara,” ujar Haedir.

3. P2TP2A klaim ketiga anak tidak memiliki trauma terhadap terlapor

Ilustrasi pemerkosaan (IDN Times/Mardya Shakti)

Selain itu, dalam berkas perkara penyelidikan yang dipaparkan pada gelar perkara khusus di Polda Sulsel terdapat dokumen yang semestinya didalami penyidik tapi diabaikan. Salah satunya Visum et Psychiatricum (VeP) terhadap para anak korban, yang masing-masing menceritakan peristiwa kekerasan seksual yang diduga dilakukan terlapor.

“Meski begitu terdapat kejanggalan juga dalam dokumen tersebut sebab memasukkan hasil pemeriksaan P2TP2A Luwu Timur yang menerangkan para anak korban tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma dan tetap berinteraksi dengan terlapor selaku ayahnya,” kata Haedir.

Atas kejanggalan tersebut, menurutnya, ada upaya mendelegitimasi kesaksian pelapor lewat tindakan pemeriksaan kejiwaan terhadap pelapor yang dilakukan penyidik. Pemeriksaan tersebut dilakukan tanpa dasar yang kuat serta tanpa persetujuan dan pemberitahuan kepada pelapor.

“Kami menilai hal ini justru menunjukkan ketidakberpihakan penyidik Polres Lutim pada korban,” sambungnya.

Baca Juga: Ibu Korban Perkosaan Anak di Luwu Timur Mau Serahkan Bukti Baru

4. Pelapor memiliki surat rujukan dan foto bukti kekerasan terhadap ketiga anaknya

Ilustrasi pemerkosaan (IDN Times)

Berbeda dengan dua surat visum yang disebut penyidik tidak terdapat tanda kekerasan, pelapor memiliki bukti foto dubur dan vagina para anak korban yang memerah dan tampak janggal. Foto tersebut diambil pada Oktober 2019.

“Pada sekitar waktu tersebut para anak korban terus mengeluhkan sakit pada area dubur dan vagina mereka kepada pelapor,” ujar Haedir.

Pelapor saat itu melakukan pemeriksaaan terhadap ketiga anaknya di Puskesmas Malili dan mendapatkan surat rujukan untuk berobat yang dikeluarkan oleh dokter. Tertulis hasil diagnosa bahwa para anak korban mengalami kerusakan pada bagian anus dan vagina, serta child abuse.

“Bukti-bukti dan argumentasi hukum tersebut telah kami sampaikan dalam gelar perkara khusus atas permintaan kami pada 6 Maret 2020 di Polda Sulsel. Namun hasilnya, seluruhnya tidak dipertimbangkan oleh Polda Sulsel,” ujar Haedir.

Baca Juga: KPAI Bersurat ke Polda Sulsel soal Dugaan Kasus Perkosaan Anak di Luwu

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya