TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kelompok Rentan Dorong Perlindungan Hukum dari Diskrimininasi

Soroti juga momen jelang tahun politik 2024

Konferensi pers inisiasi kelompok masyarakat sipil mengenai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi bagi Kelompok Rentan di Kantor YLBH Jakarta, Jumat (25/8/2023). (IDN Times/Lia Hutasoit)

Jakarta, IDN Times - Kelompok masyarakat rentan mendorong lahirnya beleid yang menghapus segala bentuk diskriminasi. Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) berpendapat praktik diskriminasi pada kelompok rentan semakin meningkat tiap tahunnya. KAIN adalah koalisi yang terdiri dari 46 organisasi kelompok rentan berbagai isu di Indonesia.

Kelompok rentan yang dimaksud adalah kelompok disabilitas, minoritas agama, perempuan, minoritas gender dan seksualitas, serta orang dengan HIV dan populasi kunci.

Sipora Purwanti dari Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) menjelaskan, kelompok disabilitas juga jadi sasaran diskriminasi, apalagi jelang tahun politik 2024.

“Pada Pemilu 2019, misalnya, orang dengan disabilitas menjadi sasaran dalam pengurangan hak politik. Kondisi serupa sangat mungkin terulang kembali menjelang tahun politik 2024,” kata Purwanti dalam konferensi pers di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta Pusat, Jumat (25/8/2023).

Baca Juga: Komisi Nasional Disabilitas: Pemda Anggap Isu Disabilitas Tak Penting 

1. Aturan ketertiban umum dinilai multitafsir

Ilustrasi penyandang disabilitas. (Dok. IDN Times).

Kenyataan diskriminasi masih terlihat saat ada lebih dari 200 peraturan ketertiban umum di tingkat daerah yang bersifat multitafsir, ini berlandaskan penelitian dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat.

Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak juga menunjukkan 987 laporan kasus kekerasan yang dialami kelompok disabilitas.

2. Minoritas gender alami diskriminasi karena indentitasnya

Konferensi pers inisiasi kelompok masyarakat sipil mengenai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi bagi Kelompok Rentan di Kantor YLBH Jakarta, Jumat (25/8/2023). (IDN Times/Lia Hutasoit)

Sementara, dari sisi kelompok minoritas gender dan seksual, ada berbagai kekerasan dan diskriminasi yang didapat karena identitasnya. Catatan Tahunan Komnas Perempuan yang dikeluarkan pada tahun 2022 menyebutkan data pelaporan kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan pekerja tahun 2021 ada sebanyak 7.029 kasus kekerasan berbasis gender dengan ragam jenis pekerjaan. 

Khanza Vina dari Sanggar Waria Remaja (SWARA) mengungkapkan semua data ini harus dilihat sebagai fenomena puncak gunung es.

“Di mana yang muncul adalah kasus kekerasan dan diskriminasi yang terlaporkan, kenyataan sesungguhnya jauh lebih besar,” ujar dia.

Baca Juga: Singgung Amanat CEDAW, Komnas Perempuan Minta Tak Ada Diskriminasi Politik

3. Hukum saat ini tersebar dan kurang melindungi kerentanan yang berlapis

ilustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Situasi yang ada, disebut mendorong lahirnya payung hukum komprehensif untuk melindungi kelompok rentan dari diskriminasi. Kerentanan ini harus dilihat tidak dari satu sisi, tetapi multi dimensi. Mulai dari status kesehatan, usia, ketimpangan ekonomi, kepercayaan dan agama, masyarakat adat, dan lainnya.

Perwakilan dari Perempuan Mahardika, Jihan F mengungkapkan payung hukum ini diperlukan mengingat hukum saat ini tersebar dan kurang melindungi kerentanan yang berlapis, malah terbatas definisinya. 

“Peraturan yang komprehensif ini harus ada, seminimalnya, definisi diskriminasi yang komprehensif, kategorisasi kerentanan yang inklusif, mekanisme penyelesaian diskriminasi, termasuk pemulihan hak korban, penegakan hukum, penguatan dan pembentukan kelembagaan untuk mewujudkan kesetaraan, serta mekanisme implementasi untuk penghapusan diskriminasi di segala tingkat,” kata dia.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya