TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Curhat para Eksil: Kena Stigma PKI, Tetap Tuntut Kebenaran

Mereka minta TAP MPRS nomor 25 tahun 1966 dicabut

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD ketika memberikan fasilitas multiple entry visa bagi korban pelanggaran HAM berat tahun 1965, Sri Tunhuang. (Dokumentasi KBRI Den Haag)

Jakarta, IDN Times - Pemerintah untuk kali pertama melakukan dialog dengan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di luar negeri. Dialog itu dilakukan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, Menkum HAM Yasonna Laoly dengan puluhan korban tindak pelanggaran HAM berat di KBRI Den Haag, Belanda pada Minggu (28/8/2023). 

Puluhan korban tindak pelanggaran HAM berat itu tidak hanya datang dari Belanda. Ada pula yang mengikuti secara daring dan mendatangi langsung dari negara-negara di sekitar Belanda. Salah satunya adalah Sri Tanruang (79 tahun) yang menyetir sendiri dari Aachen, Jerman menuju ke Belanda. 

Selain mendengar pemaparan dari Mahfud dan Yasonna, terkait apa saja kompensasi yang diberikan oleh negara kepada para korban pelanggaran HAM berat, mereka juga dapat melayangkan pertanyaan secara langsung. Mereka juga menyampaikan aspirasi supaya dapat dipenuhi oleh pemerintah. 

Ratna dari perwakilan Watch 1965 mengisahkan salah satu tantangan yang dihadapi oleh para eksil yakni stigma negatif bahwa mereka masih menjadi bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia menyebutkan bahwa stigma negatif itu masih tetap ada sehingga berpotensi mengkriminalisasi para eksil seandainya kembali ke Indonesia.

Ratna mengatakan sebagian besar para eksil sudah tidak lagi berkewarganegaraan Indonesia. Hal itu lantaran paspor mereka dicabut ketika pemerintahan Orde Baru berkuasa. 

"Bagaimana stigma orang yang dianggap PKI, orang yang dianggap komunis? Belum lagi ada yang dicap sebagai pengkhianat negara. Ini adalah stigma-stigma yang sedang kami cari bagaimana caranya untuk dihilangkan. Apalagi bila TAP MPRS nomor XXV tahun 1966 masih terus dipertahankan," ujar Ratna dalam sesi dialog yang juga disiarkan melalui Zoom pada Minggu malam kemarin. 

Ia mengatakan dengan keberadaan TAP MPRS nomor 25 tahun 1966 mengenai PKI dinyatakan sebagai parpol terlarang, justru membuka peluang bagi keturunan eksil untuk dikriminalisasi. 

Baca Juga: Mahfud: Ada 137 Eksil yang Jadi Korban Pelanggaran HAM di Luar RI

Baca Juga: 11 Rekomendasi Timsus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu ke Jokowi

1. Para eksil inginkan ada pelurusan sejarah terkait peristiwa 1965

Menko Polhukam, Mahfud MD dan Menkum HAM, Yasonna Laoly berdialog dengan korban pelanggaran HAM berat di luar negeri. (Dokumentasi KBRI Den Haag)

Lebih lanjut, Ratna juga mendorong agar terjadi pelurusan sejarah terkait peristiwa 1965. Menurutnya, sejarah menyangkut peristiwa 30 September 1965, hanya dari kacamata pemerintahan era Orde Baru. 

"Bagaimana kita juga bisa mengubah pelajaran sejarah, sehingga bisa diperoleh informasi soal apa partai itu (PKI), misalnya. Apakah itu betul-betul pengkhianat negara? Banyak sekali data yang menunjukkan apa yang sudah terjadi di Indonesia tahun 1965 dan 1966, tetapi tidak pernah dijadikan bagian dari pelajaran sejarah nasional," ungkap Ratna di dalam pertemuan tersebut. 

Bila sejarah itu tidak diluruskan, kata Ratna, maka stigma bagi keturunan eksil akan tetap ada. Menurutnya, sebaiknya peristiwa 1965 dituliskan berdasarkan pengalaman para eksil sendiri. 

"Supaya bahasa yang dipakai tidak meneruskan apa yang digunakan di era Orde Baru," ujarnya lagi. 

Soal stigma PKI juga masih dirasakan oleh eksil lainnya bernama Sri Tanruang atau yang akrab disapa Ning. Ia mengaku bila tindakannya dianggap menyebalkan maka kalimat yang dialamatkan kepadanya adalah 'dasar Tante ini Gerwani!'. Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) merupakan organisasi perempuan terbesar pada tahun 1965. Mereka menyatakan diri melekat kepada kubu komunis. 

Ning pun sepakat harus ada pengungkapan kebenaran terkait peristiwa yang terjadi pada 1965. "Tanpa pengungkapan kebenaran, kita tidak akan bisa maju, Pak. Baik itu mau diungkap secara yudisial maupun non yudisial," kata Ning. 

2. Para eksil tetap menuntut negara agar meminta maaf atas pelanggaran HAM berat masa lalu

Menko Polhukam, Mahfud MD dan Menkum HAM, Yasonna Laoly berdialog dengan korban pelanggaran HAM berat di luar negeri. (Dokumentasi KBRI Den Haag)

Lain cerita dengan Sungkono (84 tahun) dan telah bermukim di Belanda. Ia mengaku dulu dikirim oleh Departemen PTIP (Pendidikan) pada 1962 untuk menuntut ilmu di Universitas Persahabatan Bangsa-Bangsa, Uni Soviet. 

"Saya mengambil kuliah di jurusan teknik permesinan," ungkap Sungkono. 

Ia dan temannya pada 1965 menjalani proses skrining. Hasilnya, ia dan teman-temannya dinyatakan tak boleh kembali ke Tanah Air. Paspor dan kewarganegaraan mereka pun dicabut.

Namun, ketika itu, ia tak merasa cemas lantaran kampus tetap bersedia menampungnya hingga lulus kuliah. Kecemasan baru dirasakan ketika lulus kuliah pada 1967. 

Di dalam forum itu, Sungkono mengkritisi pernyataan Presiden Joko "Jokowi" Widodo yang mengakui 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu. Menurutnya, pengakuan dan penyesalan saja tidak cukup. 

"Kalau sudah mengakui sekian besar dosanya kok tanpa minta maaf? Hanya menyesali. Padahal, di budaya orang Indonesia, minta maaf itu sudah menjadi hal biasa," tutur dia. 

Ia pun juga menuntut agar Presiden Jokowi sebagai kepala negara ikut memikul tanggung jawab terkait pelanggaran HAM berat di masa lalu. Meskipun, bukan ia yang langsung  melakukan tindak pelanggaran HAM itu. 

"Apa alasan Pak Presiden tidak mengucapkan itu (permintaan maaf). Nah, itu belum pernah saya dengar. Malah yang saya dengar di media elektronik, Pak Menko menyatakan negara tidak akan meminta maaf," ujarnya lagi. 

Baca Juga: Mahfud Akan ke Ceko dan Belanda, Temui Eksil Korban Pelanggaran HAM

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya