Komisi IX: Pemerintah Cepat Tarik Rem Darurat Agar RI Tak Mirip India
Pada Minggu kemarin, kasus harian COVID-19 menyentuh 9.868
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi IX DPR Charles Honoris mendesak pemerintah pusat untuk kembali menarik rem darurat usai terjadi lonjakan kasus COVID-19. Lonjakan kasus harian terjadi usai libur Idul Fitri 2021.
Pada Lebaran Mei lalu, sebanyak 1,5 juta orang tetap kembali ke kampung halaman meski sudah dilarang. Usai Lebaran, kenaikan kasus COVID-19signifikan dan sorotan dimulai di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Bupati Kudus Hartopo mengakui, peningkatan kasus harian COVID-19 mencapai 30 kali lipat. Sementara, data yang dimiliki oleh Satgas Penanganan COVID-19 pada pekan lalu, jumlah kematian di Kudus sudah mencapai 659 orang.
Namun, lonjakan kasus juga terjadi di ibu kota. Juru bicara penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan, dalam kurun waktu 10 hari terakhir peningkatan kasus harian COVID-19 meroket hingga 302 persen.
"Di mana pada 1 Juni lalu, kasus hariannya hanya 519 dan di tanggal 10 Juni kemarin, kasus hariannya mencapai 2.091 kasus," ungkap Wiku ketika memberikan keterangan pers pada 11 Juni 2021 lalu dan disiarkan melalui saluran YouTube.
Menurut Charles, ini merupakan momen yang tepat bagi pemerintah untuk kembali menarik rem darurat. Penarikan rem bisa berupa pembatasan sosial atau kebijakan lainnya.
"Yang jelas dengan kondisi penularan seperti ini, kita tidak bisa membiarkan masyarakat berkegiatan tanpa batas," ungkap Charles ketika dihubungi IDN Times, Senin (14/6/2021).
Apakah langkah itu akan efektif mencegah melonjaknya COVID-19 di Tanah Air? Apa strategi Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatasi lonjakan kasus corona ini?
Baca Juga: Kasus COVID-19 di DKI Jakarta Naik 302 Persen dalam 10 Hari Terakhir
1. Anggota Komisi IX usulkan ada pembatasan pergerakan masyarakat berskala nasional
Menurut Charles, kebijakan Pembatasan Pemberlakuan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berskala mikro sudah tak lagi efektif. Ia mengusulkan harus ada pembatasan yang lebih tegas yang mengatur pergerakan manusia di tingkat nasional.
"Peningkatan BOR (Bed Occupancy Rate) dan peningkatan penularan terjadi bukan saja terjadi di satu atau dua kabupaten di satu provinsi saja, tetapi sudah merata di seluruh provinsi di Indonesia. Beberapa kota juga sudah mengerikan angka BOR-nya," kata Charles.
Ia memberikan contoh di Kota Semarang, tingkat keterisian tempat tidur rumah sakit sudah mencapai 90 persen. Angka yang tidak berbeda jauh juga terlihat di Bandung.
"Jadi, kalau kita kebetulan tinggal di sana dan sakit, maka hampir dipastikan, kita tidak akan memperoleh perawatan yang memadai," tutur dia.
"Ini situasi yang sudah sangat mengerikan, menurut saya," ujarnya lagi.
Charles pun memperkirakan kondisi kenaikan kasus COVID-19 pada pertengahan tahun 2021 jauh lebih parah dibandingkan di awal 2021. Salah satu penyebabnya, mutasi baru COVID-19 sudah ditemukan di beberapa daerah di Indonesia.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, varian corona B.1.617.2 atau Delta yang muncul di India sudah ditemukan di Kudus. Jumlahnya sejauh ini mencapai 28 kasus.
Editor’s picks
"Faktor kedua, mengapa kasus kembali naik karena kebijakan pembatasan pergerakannya gak jelas. Kondisi di Jakarta saja, kalau diperhatikan masyarakat sudah merasa seolah-olah pandemik sudah tak ada lagi," katanya.
Baca Juga: Ada 329 Pasien Baru di Wisma Atlet dalam Waktu 24 Jam!