TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

KPK Berharap Dua Capres Bahas Tata Kelola Sumber Daya Alam di Debat

Sektor sumber daya alam hasilkan banyak uang tapi korup

ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Jakarta, IDN Times - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berharap kedua calon presiden akan membahas tata kelola sumber daya alam, baik di sektor hutan, tambang hingga perikanan dalam debat capres yang digelar Minggu malam (17/2) di Hotel Sultan, Jakarta Pusat. Menurut lembaga antirasuah, pengelolaan di sektor-sektor tersebut masih perlu diperbaiki sehingga penting untuk diangkat.

Isu lain yang dinilai cukup penting untuk disinggung yakni proses penegakan hukum bagi mereka yang melanggar tata aturan di sektor tersebut. Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarief mengatakan lembaga antirasuah memang tidak ikut menjadi panelis di debat kedua itu, tapi mereka mengaku sangat peduli terhadap isu sumber daya alam dan lingkungan. Mengapa?

"Pertama, itu merupakan salah satu sektor yang lumayan korup. Kedua, sektor itu menghasilkan banyak uang yang menjadi pemasukan bagi APBN," kata Syarief ketika ditemui di gedung KPK pada Jumat (15/2) malam. 

Apalagi belum semua rekomendasi yang direkomendasikan oleh KPK kepada kementerian dan lembaga terkait sumber daya alam sudah dijalankan. Bahkan, sebagian dari rekomendasi yang dirilis oleh KPK malah digugat ke pengadilan. 

"Jadi, saya berharap kepada kementerian, lembaga, dan pemerintah provinsi yang banyak mengeluarkan izin pertambangan di kabupaten agar rekomendasi tersebut dijalankan," tutur dia. 

Lalu, apa saja rekomendasi yang pernah disampaikan kepada pemerintah agar korupsi di sektor SDA tidak lagi terjadi?

Baca Juga: Soal Lingkungan Hidup, Jokowi Sedikit Lebih Baik dari Prabowo

1. KPK merekomendasikan pemda agar mengecek kelengkapan persyaratan sebelum akhirnya memberi izin penambangan

(Juru bicara KPK Febri Diansyah dan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif ) IDN Times/Santi Dewi

Salah satu penyebab terjadinya kerusakan lingkungan sebagai dampak penambangan, karena pihak berwenang tidak benar-benar mematuhi persyaratan yang dibutuhkan sebelum proses ekstrasi dilakukan. Kendati tidak memenuhi syarat, pemerintah daerah setempat malah memberikan izin. Itu pula yang menjadi concern KPK. 

"Jadi, wajib bagi gubernur atau kementerian, kalau dia (perusahaan) belum dinyatakan clean dan clear (bersih dan jelas), maka harus ada yang diperbaiki," kata pria yang sempat mengajar di Universitas Hassanudin, Makasar itu. 

Ia menyebut memang sudah ada perbaikan yang dilakukan, tetapi hal tersebut tetap belum signifikan. Alih-alih dipatuhi, rekomendasi dari lembaga antirasuah malah sering kali dipertanyakan oleh pemda setempat. 

Syarief memberikan contoh, ada seorang gubernur yang justru menyatakan kriteria bersih dan jelas sebelum memberikan izn ekstraksi, merupakan persyaratan yang baru. 

"Itu salah sekali. Karena ketika KPK menetukan satu perusahaan itu clean dan clear persyaratannya adalah regulasi yang ada," tutur Syarief lagi. 

2. KPK membutuhkan kerja sama dari kementerian dan lembaga terkait dalam memberantas korupsi sumber daya alam

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Syarief menyadari kewenangan lembaga antirasuah di sektor sumber daya alam terbatas. Walaupun di sektor tersebut memiliki potensi korupsi yang tinggi. 

Menurut dia, pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam perlu dibantu oleh kementerian dan lembaga terkait, seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian ESDM, kepolisian dan kejaksaan. 

"Karena KPK tidak memiliki kewenangan untuk menegakan hukum kehutanan. Yang bisa ditangani oleh KPK hanya sebatas korupsinya saja," kata Syarief. 

Lembaga antirasuah pun tidak memiliki kewenangan mencabut izin operasional bagi perusahaan tertentu melakukan ekstraksi di suatu daerah. Walaupun, kata dia lagi, bisa saja KPK meminta pencabutan izin ke pengadilan. 

"Tapi, hingga saat ini, hal itu masih menjadi perdebatan," tutur dia. 

3. Pemberian izin penambangan sering kali diwarnai dengan suap

IDN Times/Cije Khalifatullah

Proses pemberian izin untuk penambangan di suatu daerah sering kali tidak luput dari pemberian suap. Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarief mencontohkan dalam kasus korupsi yang melibatkan pemilik PT Hardaya Inti Plantation milik pengusaha Siti Hartarti Mudaya, turut melibatkan suap. 

PT HIP diduga ingin memperluas lahan perkebunan sawit di Buol, Sulawesi Tengah hingga 75 hektare. Oleh karena itu, Siti Hartati diduga menyuap Bupati Buol, Amran Batalipu senilai Rp3 miliar. 

Dampak dari kasus tersebut, Kementerian Kehutanan malah menyetujui adanya pelepasan hutan produksi yang akan digunakan untuk perkebunan kelapa sawit di Buol. 

"KPK sudah menyampaikan protes. Kemudian tim dari Kementerian Kehutanan mengirimkan tim untuk meninjau hal tersebut," kata Syarief. 

Mereka, kata Syarief lagi mengklaim sudah mendapatkan izin dari mantan Bupati Amran Batalipu. Izin tersebut digunakan sebagai dasar untuk mengeluarkan izin alih fungsi hutan dan izin prinsip. 

"Padahal kan, Bupati Buol mengeluarkan izin itu karena menerim suap. Jadi, kalau alas (yang digunakan untuk berpijak) sudah salah, maka yang selanjutnya akan melawan hukum," tutur Syarief. 

Baca Juga: WALHI: Mendahulukan Ekonomi daripada Lingkungan Hidup adalah Sesat

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya