Poin Penting Permendikbud PPKS yang Cegah Kekerasan Seksual di Kampus
Nadiem bantah Permendikbud legalkan seks bebas di kampus
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Menteri Nadiem Makarim pada pekan lalu mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi.
Namun, Permendikbudristek itu malah ditentang beberapa pihak seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan sejumlah ormas Islam. Alasannya, peraturan menteri itu justru membuka peluang terjadinya seks bebas.
"Itu jelas sekali berisi 'pelegalan' kebebasan seks. Kami antikekerasan seks namun tidak menolerir kebebasan seks. Permendikbudristek ini berpotensi merusak norma kesusilaan. Ada celah moral yang legalkan kebebasan seks di lingkungan perguruan tinggi," cuit politikus PKS yang juga anggota Komisi II DPR, Mardani Ali Sera, Selasa, 9 November 2021.
Penolakan yang disampaikan politikus PKS dan sejumlah ormas Islam seperti Muhammadiyah menimbulkan tanda tanya dari publik. Sebab, di dalam aturan tersebut tak ada yang melegalkan terjadinya seks bebas. Publik justru menilai aturan itu tegas mencegah terjadinya kekerasan seksual di lingkungan kampus dan lebih melindungi korban.
Berikut poin-poin di dalam aturan tersebut yang memberikan perlindungan terhadap mahasiswa, agar tidak jadi sasaran predator seksual di kampus.
Baca Juga: Tafsir Golkar Soal Diksi 'Tanpa Persetujuan Korban' di Permendikbud
1. Mencegah korban menjadi sasaran lelucon mesum dan pemaksaan aktivitas seksual
Di bagian awal Permendikbudristek, Menteri Nadiem telah menetapkan definisi kekerasan seksual. Di Pasal 1, kekerasan seksual diartikan "setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal."
Bahkan, di Pasal 5 ayat (1) tertulis bahwa kekerasan seksual dapat dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Di dalamnya juga dijelaskan secara detail bentuk 21 perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak kekerasan seksual. Berikut sebagian perbuatan yang dianggap tindak kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi:
- Menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban;
- Memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban;
- menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban;
- Menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
- Mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang korban;
- Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban;
- Memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
- Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau
- Menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban;
- Membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban;
Bahkan, di dalam Pasal 5 ayat (3) sudah dijelaskan dengan detail yang dimaksud frasa 'tanpa persetujuan korban.' Frasa ini yang menjadi perdebatan dan penolakan sejumlah pihak. Mereka menilai bila korban setuju dengan semua perbuatan itu, maka aktivitas seksual bebas dapat terjadi.
Berikut adalah makna frasa 'tanpa persetujuan korban':
- Memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- Mengalami situasi di mana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
- Mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
- Mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;
- Memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;
- Mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau
- Mengalami kondisi terguncang.
Baca Juga: Diksi 'Tanpa Persetujuan Korban' di Permendikbud Sebaiknya Dihapus