TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

DPD dan MPR Bahas Pemilu Ditunda, Inisiator Jokpro: Itu Wilayahnya

Jokowi tiga periode dinilai jadi solusi hindari polarisasi

Ilustrasi Pemilu (IDN Times/Arief Rahmat)

Jakarta, IDN Times - Inisiator gerakan Komunitas Jokowi Prabowo (Jokpro) 2024 sekaligus Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari menanggapi pernyataan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo dan Ketua DPD AA LaNyalla Mahmud Mattalitti soal pertimbangan ulang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang. 

Menurut dia, masyarakat tidak perlu mempersoalkan pernyataan itu, sebab baik Bamsoet maupun La Nyalla, keduanya ada dalam institusi yang memang diberikan wewenang untuk melakukan perubahan konstitusi. 

“Apa pun yang dikatakan oleh Pak LaNyalla, apapun yang disampaikan oleh Pak Bamsoet, beliau-beliau ini berada di dalam institusi yang memang diberikan wewenang untuk melakukan perubahan konstitusi itu. Semua pembicaraan menurut saya, harus dikembalikan kepada aturan yang ada dan siapa yang berbicara,” ujar, Qodari dalam keterangannya, Selasa (13/12/2022).

Baca Juga: Demokrat Sindir Bamsoet soal Penundaan Pemilu: Nafsu Mau 3 Periode 

Baca Juga: Deretan Tokoh yang Bahas Pemilu Ditunda hingga Jokowi Tiga Periode

1. Ada sejumlah cara mengubah konstitusi

IDN Times/Galih Persiana

Qodari menjelaskan, ada dua cara yang bisa diambil dalam rangka mengubah konstitusi, yakni amandemen dan dekrit presiden. Dari dua cara itu, dia menilai amandemen lebih efektif ketimbang dekrit. Sebab, dekrit pernah terjadi di masa Presiden Abdurahman Wahid alias Gus Dur. 

Di mana Gus Dur pernah mengeluarkan dekrit presiden dan pada akhirnya menimbulkan angin panas serta ketidakpastian politik. 

“Permintaan dekrit itu angin panas. Saya sebut itu angin panas karena berisiko, unpredictable, karena kita punya pengalaman bahwa seorang yang bernama Gus Dur misalnya, begitu mengeluarkan dekrit menimbulkan ketidakpastian politik," ujar dia.

Qodari menuturkan, Ketua MPR RI dan DPD RI berhak berbicara terkait perubahan konstitusi sesuai dengan kewenangannya, di mana MPR dapat melakukan evaluasi dan perubahan terhadap UUD sesuai dengan kebutuhan zaman.

“Mereka berhak ngomong, bahkan lebih dari berhak untuk menyampaikan apa yang mereka sampaikan. Bayangkan pernyataan seperti ini disampaikan oleh Amien Rais misalnya, atau anggota DPD RI atau MPR RI pada tahun 1998-1999, ketika mereka sedang menyiapkan perubahan konstitusi. Apakah semua orang setuju dengan rencana perubahan yang akan mereka lakukan? Tidak,” ucap dia.

“Bahkan sampai hari ini pun banyak yang gak setuju, misal Pak Tri Sutrisno dan para Purnawirawan TNI semuanya gak setuju dengan perubahan yang terjadi saat itu,” sambung Qodari.

Qodari menyampaikan pasal-pasal yang terdapat dalam UUD dapat diubah sesuai dengan pasal 37 UUD 1945 yang secara umum membahas tentang perubahan UUD, kecuali pasal yang mengatur tentang bentuk negara.

“Yang tidak boleh diamandemen itu hanya bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, berarti itu semua bisa diubah itu saja, menyesuaikan dengan pemikiran yang berkembang di saat itu. Jangan lupa bahwa konstitusi itu adalah cermin dari suatu zaman dan kondisi,” jelas dia.

Baca Juga: Bukan 3 Periode, Projo Ingin Jokowi Jabat Presiden 2,5 Periode

2. Jokpro dorong perubahan konstitusi lewat amandemen

Ilustrasi hukum. (IDN Times/Mardya Shakti)

Qodari juga menegaskan, dirinya mendorong terjadinya perubahan konstitusi lewat jalur amandemen, untuk memuluskan jalan Presiden Jokowi menjabat selama 3 periode didampingi Prabowo Subianto sebagai wakilnya.

“Kalau saya itu kan konsepnya perubahan konstitusi itu lewat jalur amandemen. Nah mengubah konstitusi itu secara garis besar ada dua macam ada amandemen ada dekrit. Kalau amandemen yang melakukan perubahan menurut konstitusi kita itu adalah MPR yang terdiri dari DPR dan DPD,” ucap dia.

Dijelaskan Qodari, salah satu alasan amandemen UUD 1945 tak lepas dari stabilitas politik di 2024 yang berpotensi terjadinya polarisasi ekstrem di tengah masyarakat. Saat itu, kelompok politik identitas akan memainkan hal tersebut untuk menimbulkan kekacauan. 

“Saya pernah bilang berkali-kali bahwa kita berhadapan dengan situasi khusus di mana pada tahun 2024 yang akan datang itu akan terjadi polarisasi ekstrem, dimana kelompok identitas akan menggunakan pemilu agar mereka kembali dalam arena pusat pemerintahan untuk eksistensi mereka, dan itu akan menggunakan stempel calon Islam kepada siapa pun calon yang akan maju nanti,” tutur dia.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya