Menyuarakan Harapan: Pengalaman Pemilu di Jakarta 

Ikhtiar menuju perubahan yang lebih baik #GenZMemilih

Di pusaran dinamika politik dan riuhnya metropolitan Jakarta, pemilu menjadi momentum untuk menggugah kesadaran akan pentingnya partisipasi dalam proses demokrasi. Pengalaman mengikuti pemilu di ibu kota gak cuma sekadar perjalanan dari rumah menuju bilik suara, tetapi juga eksplorasi kompleks yang membutuhkan waktu lebih dari satu malam.

1. Menyulam kisah memori Pemilu 2019 lalu

Menyuarakan Harapan: Pengalaman Pemilu di Jakarta ilustrasi jari kelingking dicelup ke tinta ungu, tanda sudah berpartisipasi dalam pemilu (dok. pribadi/Anastasia Jaladriana)

Sejujurnya, Pemilu 2019 lalu saya tak memilih siapa pun. Baik Joko Widodo ataupun Prabowo Subianto, keduanya tak memiliki visi dan misi yang sejalan dengan apa yang saya yakini sehingga ketika berada di balik bilik suara, saya golput dan merusak surat suara saya agar tak lagi sah untuk dihitung. Saya akui saat itu memang tak banyak yang menarik perhatian saya sehingga membuat saya mau belajar tentang politik atau pun sejarah kedua calon presiden kala itu.

Hingga kerusuhan di Bawaslu pada malam 21 Mei 2019 di Sarinah membuat mata saya terbuka. Para pemilih yang merasa terpinggirkan atau tidak terwakili oleh para pemimpin yang terpilih mungkin merasa bahwa proses demokrasi tidak sepenuhnya memberikan hasil yang adil dan representatif bagi kepentingan mereka. Dalam kekecewaan tersebut, penting untuk mengingat bahwa demokrasi juga melibatkan proses yang kompleks dan terkadang tidak memuaskan semua pihak. Namun, hal ini juga menegaskan pentingnya terus berpartisipasi dalam proses politik untuk mewujudkan perubahan yang diinginkan.

Baca Juga: KPPS di Banyuwangi Curhat Hambatan Utama Kerja di TPS

2. Tergugah untuk akhirnya menggunakan suara pada Pemilu 2024

Menyuarakan Harapan: Pengalaman Pemilu di Jakarta Potret penghitungan suara anggota legislatif di TPS 43, Tanjung Duren Selatan, Jakarta Barat pada 14 Februari 2024 (dok. pribadi/Anastasia Jaladriana)

Selang 5 tahun kemudian, saya berada di Kota Jakarta Barat. Seperti 5 tahun sebelumnya, KPU tampaknya memang tidak terlalu berniat untuk memperbaiki sistem pendaftaran untuk para pemilih yang berada di perantauan. Mengapa bisa permasalahan ini hanya akan muncul lima tahun sekali atau memang mereka tidak berniat mengevaluasi. Mulai dari persyaratan yang membuat pekerja perantauan seperti saya cukup kerepotan karena harus mengambil cuti dan pulang ke kampung halaman sampai harus mengantre sepanjang hari untuk mendapat secarik kertas agar saya bisa ikut berpartisipasi dalam Pemilu 2024.

Jelasnya, proses demi proses ini sebenarnya tak akan mau saya lakukan jika saya tidak merasa bahwa negara ini membutuhkan perubahan. Dengan segala keruwetannya, akhirnya saya mendapat berkas DPTb untuk ikut memilih di domisili tempat saya tinggal saat ini.

3. Diimbau datang di atas jam 12 siang, ternyata salah TPS

Menyuarakan Harapan: Pengalaman Pemilu di Jakarta Potret TPS 43 di Tanjung Duren Selatan, Grogol Petamburan (dok. Pribadi/Anastasia Jaladriana)

Memiliki secarik kertas DPTb alias pemilih tambahan membuat saya harus datang ke TPS di atas jam 12 siang karena mereka memprioritaskan pemilih tetap terlebih dahulu. Beruntung saat itu tidak hujan meski pagi harinya turun hujan sangat deras. Saya sempat berpikir apakah orang lain akan meluangkan waktunya untuk ke TPS dan mencoblos presiden pilihan mereka karena saya tentu akan sangat mudah terdistraksi dengan perubahan cuaca yang tak menentu ini.

Ternyata saya salah. Antusiasme warga cukup meriah. Ada salah satu TPS yang tak mengizinkan warga untuk mencoblos karena tidak membbawa surat panggilan untuk mencoblos padahal sudah ada keterangan untuk bisa tetap mencoblos dengan membawa e-KTP jika sesuai dengan domisili yang tertera. Karena siang itu hari cukup terik dan gerah, saya memilih fokus untuk mencari TPS saya sendiri, yaitu TPS 83. Ternyata, TPS saya tidak berada di alamat yang tertera dalam surat DPTb yang saya bawa. Alhasil, saya harus berjalan sekitar 1,5 km untuk menuju TPS 83 tempat saya seharusnya mencoblos. Jika bukan untuk demokrasi yang lebih baik, saya sebenarnya gak akan mau panas-panasan mencari TPS 83 dan menggunakan suara saya. Toh, pemilu ini memang sudah banyak ditemukan kecurangan, bahkan sebelum hari pelaksanaannya. Begitulah kira-kira pikiran pendek saya.

Begitu sampai di TPS 83, tak menunggu lama setelah berkas saya diperiksa dan dicek kecocokannya, saya diarahkan menuju bilik suara setelah sebelumnya saya mengecek apakah surat suara saya masih utuh atau sudah rusak. Di dalam bilik suara, saya masih menyimpan keraguan, apakah pilihan yang saya yakini ini bisa berdampak bagi kemajuan negeri? Apapun jawabannya nanti, yang jelas kali ini saya tak akan membiarkan demokrasi diacak-acak dan dipermainkan oleh segelintir orang yang mengaku peduli terhadap negeri ini. Selesai mencoblos calon yang visi misinya sejalan dengan apa yang saya yakini, saya keluar dari TPS dengan perasaan bangga dan juga kekhawatiran yang tak kalah besarnya. 

Ah, jikalau nanti keputusan akhirnya tidak sesuai dengan apa yang saya inginkan dan harapkan, paling tidak saya sudah berpartisipasi dalam jalan yang memang saya yakini. Dan itu adalah sesuatu yang tidak ada pada diri saya 5 tahun yang lalu. Saya patut berbangga.

Baca Juga: Di Balik Pemilu 2024: Kisah Pilu Petugas KPPS Gen Z di Kuala Lumpur

Anastasia Jaladriana Photo Verified Writer Anastasia Jaladriana

Hadeh

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Kidung Swara Mardika

Berita Terkini Lainnya