Ilustrasi Mahkamah Konstitusi. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.)
Menanggapi pernyataan dari pihak DPR dan presiden, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyampaikan sejumlah sikap.
Mereka menilai, DPR RI maupun Presiden keliru dan serampangan dengan menyatakan bahwa para pemohon yang merupakan warga negara tidak memiliki legal standing.
DPR RI maupun Presiden mendalilkan, para pemohon tidak memiliki legal standing lantaran bukan merupakan TNI, ASN, maupun calon prajurit TNI. Oleh karena itu, para pemohon dinilai tidak memiliki legal standing untuk mengajukan judicial review UU TNI ke MK. Padahal, mereka merupakan lembaga dan perorangan yang prominent serta memiliki concern tidak hanya terhadap demokrasi tetapi reformasi sektor keamanan di Indonesia.
Koalisi Masyarakat Sipil bahkan sebelum tahun 2004 terekam telah mengawal perumusan dan pembahasan UU TNI pascapemisahan dengan ABRI.
Mereka mengatakan, dalam konteks Revisi UU TNI, walaupun objek pengaturan atau adressat di dalam Revisi UU TNI adalah TNI secara kelembagaan, tetapi setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pembentukan suatu undang-undang. Oleh karena itu, kata mereka, proses pembentukan suatu undang-undang harus memiliki pertautan langsung dengan hajat hidup masyarakat luas.
"Kami memandang, posisi dan kedudukan TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan yang tugas dan kewajibannya berkaitan dengan masyarakat luas, yakni menjaga integritas wilayah dan keselamatan masyarakat negara dari ancaman militer negara lain menjadi justifikasi keterlibatan masyarakat untuk melakukan koreksi atas pembentukan undang-undang yang berkaitan dengan TNI itu sendiri," demikian pernyataan sikap Koalisi Masyarakat Sipil.
"Terlebih, TNI–dulu ABRI–memiliki riwayat sejarah mengenai berbagai kekerasan maupun pelanggaran HAM berat menyebabkan masyarakat menjadi korbannya. Oleh karenanya, masyarakat merupakan salah satu pemangku kepentingan (stakeholder) utama dalam mewujudkan TNI yang profesional," kata dia.
Mereka menegaskan, kepentingan hukum para pemohon selaku warga negara yang memiliki perhatian terhadap suatu isu juga menjadi sorotan penting. Setiap warga negara, apa pun latar belakangnya berhak untuk berpartisipasi dalam setiap kebijakan publik.
Menurut merkea, DPR RI dan Presiden semakin menunjukkan antidemokrasi karena mereduksi salah satu esensi penting dalam demokrasi, yaitu partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation), termasuk di dalamnya soal pembentukan peraturan perundang-undangan.
Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Presiden dan DPR RI menaati Majelis Hakim Konstitusi yang memerintahkan Presiden dan DPR untuk membuka dan menghadirkan bukti-bukti konkret di persidangan.
Presiden dan DPR, kata mereka, perlu memahami beban pembuktian dalam dalam sidang uji formil di MK memang sudah sepatutnya lebih berat berada pada pembentuk undang-undang. Dalam proses pengujian formil suatu undang-undang, pemohon sering tidak bisa mengakses dokumen dan bukti rapat-rapat yang membahas suatu undang-undang.
Hal ini pun menjadi penting untuk membuktikan apakah dalil Presiden dan DPR yang klaim bahwa mereka sudah menjalankan asas meaningful participation adalah benar atau hanya isapan jempol belaka.
"Oleh karena itu, kami menilai Presiden dan DPR RI harus segera menaati perintah Mahkamah Konstitusi untuk menyerahkan seluruh informasi dan dokumen yang menunjukkan ada atau tidaknya partisipasi publik yang bermakna dalam setiap tahapan pembentukan Revisi UU TNI. Hal ini juga penting karena mendorong keterbukaan dokumen yang selama proses pembahasan tidak dapat diakses oleh publik," kata mereka.