Gerakan Ayah Antar Anak di Hari Pertama Sekolah Jawab Isu Fatherless

- Hanya 4,3 persen orang tua bisa deteksi anak butuhkan bantuan
- Banyak anak malu atau gengsi untuk berkomunikasi dengan ayah
- Muncul generasi strawberry generation
Jakarta, IDN Times - Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga)/Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Wihaji menerbitkan Surat Edaran Mendukbangga/Kepala BKKBN Nomor 7 Tahun 2025 tentang Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah.
Pengasuhan anak yang efektif membutuhkan keterlibatan aktif kedua orang tua. Wihaji mengungkapkan ini jadi gerakan yang bertujuan meningkatkan peran pengasuhan ayah terhadap anak. Gerakan ini efektif mulai berlaku 14 Juli 2025, dan menurutnya bertujuan memperkuat peran ayah dalam pengasuhan dan pendidikan anak sejak dini.
"Melalui kehadiran ayah pada momen penting tersebut akan tercipta kedekatan emosional yang berpengaruh positif terhadap rasa percaya diri, kenyamanan, dan kesiapan anak dalam menjalani proses belajar," Demikian salah satu isi dari surat Edaran tersebut, yang diedarkan Jumat (11/7/2025).
1. Hanya 4,3 persen orang tua bisa deteksi anak butuhkan bantuan

Wihaji merangkum data dari Unicef pada 2021, I-NAMHS, 2022 BPS, 2021 dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI 2017), menunjukkan fenomena fatherless tengah terjadi di Indonesia.
Sedikitnya 33 persen remaja Indonesia alami masalah kesehatan mental, namun hanya 4,3 persen orang tua mendeteksi anak mereka membutuhkan bantuan.
Tercatat, 37,17 persen anak usia 0-5 tahun diasuh oleh kedua orang tua kandung secara bersamaan. Dan 20,9 persen keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak secara langsung di Indonesia.
2. Banyak anak malu atau gengsi untuk berkomunikasi dengan ayah

Hari ini dia mengunjungi SMAN 9 Jakarta untuk melihat dan memantau secara langsung “Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah”. Wihaji menekankan bahwa karakter orang tua penting untuk pertumbuhan anak. Di sisi lain, banyak anak yang telah duduk di bangku SMA merasa malu atau gengsi untuk berkomunikasi atau berinteraksi lebih dalam dengan orang tua, termasuk ayah karena merasa telah dewasa.
3. Muncul generasi strawberry

Kini, anak-anak lebih banyak berinteraksi dengan handphonenya saja. Dia menjelaskan penggunaan gawai yang berlebihan jadi sebab kurangnya interaksi antara ayah dan anak. Padahal, mereka adalah generasi yang akan menggantikan generasi sebelumnya. Kurangnya interaksi anak dengan ayah juga akan berdampak pada karakter anak. Maka muncul strawberry generation.