Jakarta Feminist Catat 204 Kasus Femisida Sepanjang 2024

- Korban berasal dari berbagai rentang usia, dengan 29% korban usia 26-40 tahun, 25% usia 18-25 tahun, dan 21% usia 41-60 tahun. Sebanyak 90% pelaku adalah laki-laki dan sekitar 35% berusia 26-40 tahun.
- Korban paling banyak berasal dari relasi intim, yaitu istri, pacar, selingkuhan, kekasih gelap, mantan, teman kencan (48%), hubungan non-personal (30%), dan relasi keluarga (14%).
- Syarat dari femisida itu sendiri adalah motivasi gendernya yang ada kriterianya. Femisida diperkenalkan oleh Diana Russel pada tahun 1976 sebagai
Jakarta, IDN Times - Jakarta Feminist melaporkan pada 2024 ada sekitar 204 kasus femisida yang tercatat dari berbagai pemberitaan di media masa. Total ada 209 korban perempuan dan 239 pelaku yang teridentifikasi.
Syifana Ayu Maulida dari Jakarta Feminist menjelaskan pada 2024, tim menemukan 165 kasus dengan korban cis-puan, 7 kasus dengan korban transpuan, 13 kasus pembunuhan anak perempuan, 14 kasus pembunuhan bermotif kejahatan, dan lima kasus pembunuhan relasional agresif.
"Yang paling tinggi itu 42 persen kasus yang kami temukan itu berasal dari pulau Jawa karena konteksnya dengan populasi perempuan itu di Pulau Jawa," kata dia dalam Agenda Peluncuran Laporan Femisida 2024 oleh Jakarta Feminist, di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).
Jumlah kasus terbanyak terjadi di Jawa Barat (32 kasus), Jawa Tengah (24 kasus), dan Jawa Timur (20 kasus). Terdapat lima provinsi yang tidak temukan pemberitaan femisida, di antaranya adalah Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Maluku Utara, Papua Barat dan Sulawesi Barat.
1. Korban berasal dari berbagai rentang

Dia juga menjabarkan, korban berasal dari berbagai rentang usia mulai dari 29 persen korban adalah perempuan di rentang usia 26-40 tahun, 25 persen korban rentang usia 18-25 tahun, dan 21 persen korban rentang usia 41-60 tahun. Dalam kelompok pelaku, 90 persen pelaku berjenis kelamin laki-laki dan 35 persen pelaku dalam rentang usia 26-40 tahun.
"Ini tuh sejalanjuga dengan penemuan CATAHU yang diiris oleh Komnas Perempuan. Di mana kelompok usia ini itu tentang mengalami kekerasan berbasis gender," kata dia.
2. Korban paling banyak berasal dari relasi intim

Perempuan yang memiliki relasi intim dengan pelaku menjadi korban paling banyak dalam kasus femisida, yaitu sebesar 48 persen. Mereka adalah istri, pacar, selingkuhan, kekasih gelap , mantan, dan teman kencan. Selain itu, 30 persen korban adalah orang-orang yang memiliki hubungan non-personal dengan pelaku, seperti tetangga, teman, pekerja seks, teman kerja, pelajar, dsb. Sementara, 14 persen korban memiliki relasi keluarga dengan pelaku, seperti anak, ibu, adik, kakak, saudara dari keluarga lain seperti menantu, mertua, ipar, keponakan, sepupu.
"Melihat ini, biasanya data Femisida itu melihat relasi intimnya antara korban dan kelaku. Karena di Femisida ini jelas banget, ada pola dinamika relasiNamun data ini membuktikan bahwa ternyata dalam hubungan non-personal juga ditemukan banyak sekali kasus Femisida. Artinya tidak perlu memperlukan dinamika relasional saja. Yang penting disitu ada ketimpangan kuasa. Justru perempuan yang lebih kentang mengalami femisida," ujarnya.
3. Syarat dari femisida itu sendiri adalah motivasi gendernya

Sementara, Direktur Eksekutif the Indonesian Legal Resource Center (ILRC) Siti Aminah Tardi menjelaskan tidak semua kasus pembunuhan pada perempuan adalah femisida, karena salah satu syarat dari femisida itu sendiri adalah motivasi gendernya yang ada kriterianya.
Istilah femisida itu diperkenalkan oleh Diana Russel Russel, feminis yang hadir di pertemuan internasional yan mengatakan banyak pembunuhan terhadap perempuan, tapi ini no name, tidak ada namanya.
"Kan pengalaman perempuan kadang kita sama-sama merasakan tapi tidak ada namanya ya. Maka kemudian dia bilang, ini harus kita namakan. Maka kemudian tahun 1976 dia memperkenalkan atau menyuarakan femisida. Dan untuk proses diakui oleh PBB itu butuh 40 tahun," ujar Ami sapaan karibnya.
4. Strategi yang dilakukan oleh negara lain

Mantan Komisioner Komnas Perempuan periode 2020-2024 ini juga menjelaskan enam negara seperti Costa Rica, Guatemala, El Salvador, Nicaragua, Venezuela, dan Paraguay telah menerapkan femisida sebagai tindak pidana otonom lewat undang-undang khusus.
Chile dan Peru menambahkan bentuk parricide sebagai tindak pidana otonom dalam KUHP. Tujuh negara, termasuk Mexico Federal, Honduras, Panama, Bolivia, Republik Dominika, Chile, dan Peru, mengatur femisida sebagai tindak pidana otonom dalam KUHP.
Sementara itu, Argentina, Brazil, dan Uruguay menetapkan femisida sebagai pembunuhan yang diperberat. Variasi strategi ini menunjukkan keseriusan negara-negara Amerika Latin dalam merespons kekerasan berbasis gender.