Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Koalisi Sipil: DIM RUU KUHAP Tak Mengakomodir Masukan Masyarakat

WhatsApp Image 2025-06-17 at 10.49.14 (1).jpeg
Komisi III DPR RI gelar RDPU bersama LPSK dan Peradi membahas RUU KUHAP (IDN Times/Amir Faisol)
Intinya sih...
  • RUU KUHAP 2025 lebih buruk dari RUU KUHAP 2012
  • Berpotensi melemahkan demokrasi
  • Enam poin yang dikritisi Koalisi terhadap RUU KUHAP

Jakarta, IDN Times - Pemerintah resmi menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP, ke Komisi III DPR, Selasa (8/7/2025). 

Namun demikian, DIM RUU KUHAP dinilai tidak mengakomodir masukan Koalisi Masyarakat Sipil. Padahal, Koalisi Sipil sudah enam kali ikut dalam agenda penyusunan RUU KUHAP.

“Kami merasa usulan dan masukan Masyarakat Sipil tidak diakomodir sedikit pun. Selain itu, proses penyusunan hingga pembahasan ini sangat terburu-buru dan jauh dari nilai reformasi hukum dan pertimbangan suara rakyat,” kata Koalisi Masyarakat Sipil dalam keterangan tertulisnya.

1. RUU KUHAP 2025 lebih buruk dari RUU KUHAP 2012

Ketua Komisi III DPR RI Habiburrokhman menyatakan, pihaknya menunda membahas Rencana KUHAP pada masa sidang tiga ini. (IDN Times/Amir Faisol)
Ketua Komisi III DPR RI Habiburrokhman menyatakan, pihaknya menunda membahas Rencana KUHAP pada masa sidang tiga ini. (IDN Times/Amir Faisol)

Koalisi Masyarakat Sipil juga mempersoalkan pernyataan Komisi III bahwa RUU KUHAP harus segera diselesaikan dalam dua kali masa sidang, dan berencana sah sebelum Januari 2026.

Koalisi mengingatkan pentingnya materi muatan RUU KUHAP secara komprehensif menghormati dan memenuhi hak warga negara, yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana dalam kapasitas sebagai pelapor atau pengadu, saksi, korban, ahli, tersangka atau terdakwa.

“RKUHAP mestinya disusun secara cermat dan hati-hati, sehingga mampu menjawab permasalahan jaminan perlindungan HAM yang gagal dipenuhi dalam KUHAP lama. Sementara itu, RUU KUHAP 2025 belum memenuhi hal tersebut, bahkan lebih buruk dari draft RUU KUHAP 2012,” ujarnya.

2. Berpotensi melemahkan demokrasi

Konferensi pers di Ruang Rapat Komisi III DPR RI pada Jumat (14/2/2025). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Konferensi pers di Ruang Rapat Komisi III DPR RI pada Jumat (14/2/2025). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Koalisi mencermati proses penyusunan dan pembahasan RUU KUHAP cenderung memiliki pola yang sama seperti penyusunan dan pembahasan RUU bermasalah lainnya, seperti misalnya Revisi UU KPK, UU Minerba, UU MK, UU IKN, UU TNI, UU CK (Omnibus Law), dan undang-undang lainnya yang juga bermasalah selama prosesnya.

“Hal tersebut menjadi bagian dari strategi sistemik untuk melemahkan demokrasi. Legislasi tak lagi bertujuan untuk melindungi rakyat, namun menjadi alat penguasa,” ujarnya.

Pada Rabu, 18 Juni 2025, Komisi III DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Umum Pendapat (RDPU) mengenai RUU KUHAP. Dalam kesempatan tersebut, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman berpendapat RUU KUHAP sebagai RUU paling partisipatif dalam proses penyusunannya.

Komisi III DPR-RI mengklaim telah melakukan RDPU kurang lebih 50 kali, termasuk dengan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP.

“Hal ini tentu merupakan klaim sepihak yang patut dipersoalkan. Mengingat Koalisi tidak pernah menghadiri RDPU resmi untuk menyampaikan pandangan,” ujar Koalisi.

3. Enam poin yang dikritisi Koalisi Masyarakat Sipil terhadap RUU KUHAP

Rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR RI membahas kasus penembakan siswa SMKN 4 Semarang, Gamma Rizkynata Oktafandy (IDN Times/Yosafat)
Rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR RI membahas kasus penembakan siswa SMKN 4 Semarang, Gamma Rizkynata Oktafandy (IDN Times/Yosafat)

Koalisi pun merespons sebagian poin dalam RUU KUHAP. Pertama, pengaturan jaminan perlindungan hak setidak-tidaknya harus terdiri dari dua aspek. Satu, apa saja hak-hak tersangka, terdakwa, terpidana, saksi, korban. Dua, bagaimana cara mengakses hak tersebut.

Sebab, tiap aturan tentang hak-hak tersangka, terdakwa, terpidana, berikut hingga hak-hak khusus bagi perempuan dan penyandang disabilitas, pada akhirnya akan sia-sia dan percuma apabila tidak dilengkapi dengan jalur komplain/keberatan/gugatan atas pelanggaran hak, prosedur pemeriksaan ada tidaknya pelanggaran hak, dan apa konsekuensi ketika terbukti terdapat pelanggaran hak.

Kedua, pengaturan upaya paksa setidak-tidaknya harus terdiri dari tiga aspek. Pertama, apa saja syarat untuk dapat dilakukannya upaya paksa, kedua prosedur upaya paksa (jangka waktu, pelaksanaan, dll).

Selanjutnya, mekanisme uji keabsahan upaya paksa. Tanpa adanya syarat dan prosedur upaya paksa yang jelas, pelaksanaan upaya paksa akan berpangku diskresi-subjektif penegak hukum belaka, yang pada akhirnya berpotensi dilakukan secara sewenang-wenang.

Ketiga, tentang praperadilan sebagai forum uji keabsahan upaya paksa tidak terbatas pada perluasan ruang lingkup objek pemeriksaan praperadilan, yakni seluruh upaya paksa, penghentian penyidikan dan penuntutan, atau ganti rugi atau rehabilitasi.

Keempat, draf RUU KUHAP salah kaprah dalam memaknai restorative justice sebagai paradigma baru hukum pidana, dengan mengartikan restorative justice sebatas pada mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan (afdoening buiten process).

Kelima, peran advokat dalam suatu perkara akan sangat esensial bagi siapapun yang berurusan dengan proses hukum.

Keenam, saksi mahkota pada prinsipnya adalah kesepakatan antara tersangka/terdakwa dengan penuntut umum, di mana di dalam kesepakatan tersebut tersangka/terdakwa bersedia untuk mengungkapkan tindak pidana yang dilakukan orang lain, dan oleh karenanya penuntut umum akan mengajukan keringanan tuntutan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us