Oleh Dhion Gumilang
JAKARTA, Indonesia —Perkembangan peradaban manusia semakin melaju meninggalkan sisi konvensional dan nilai tradisional. Sebuah hukum fundamental yang berlaku di negara Barat menganut paham yang menempatkan perempuan pada posisi yang sejajar dengan kaum laki-laki dalam berbagai sisi kehidupan.
Bahkan, dalam bidang politik maupun pemerintahan, perempuan bisa menempati posisi penting tanpa aling-aling bani Adam. Mereka menyebutkan bahwa perempuan yang tidak memiliki hak setara dengan laki-laki adalah korban dari produk budaya patriarki untuk memarjinalkan kaum perempuan. Benarkah demikian?
Lembayung merupakan sesosok gadis yang sedang menjalani masa pertumbuhannya di dalam sebuah panti asuhan. Dia menjelma menjadi seorang perempuan dari tataran Sunda yang menarik, mekar, dan memikat hati pria. Abah, pemilik panti berusia 70an yang juga seorang tuan tanah di mana Lembayung bernaung, mengisyaratkan bahwa Lembayung harus diperistri olehnya untuk menghindari stigma negatif masyarakat.
Tapi, cibiran dan pemikiran negatif masyarakat justru semakin ramai dan diarahkan kepada Lembayung yang di-cap sebagai sesosok perempuan gila harta yang menunggu warisan.
Ada stigma yang berkembang dalam masyarakat di sini bahwa wanita menduduki posisi subordinat atau menempati kelas dua setelah laki-laki dalam tatanan sebuah masyarakat, sehingga wanita harus selalu siap untuk menjadi pelayan bagi laki-laki setiap saat, dan tidak sebaliknya. Wanita hanya bergerak pada wilayah yang dibatasi oleh empat dinding rumah, atau dengan ibarat lain tempat wanita hanya di dapur, sumur, dan kasur.
Tetapi, Lembayung mendobrak semua itu karena perlakuan Abah yang menghormatinya untuk tidak menyentuh dan memaksanya berbuat seperti itu.