Komnas Perempuan Ingatkan soal Relasi Kuasa Pelecehan oleh Rektor UP

Pelapor ada di posisi relasi kuasa yang berlapis

Jakarta, IDN Times - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tengah mendalami laporan kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Rektor Universitas Pancasila (UP), Edie Toet Hendratno (ETH).

Ada dua orang perempuan yang melaporkan dugaan pelecehan seksual ini. Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengatakan, penting mengingat persoalan relasi kuasa yang timpang dan kerap berlapis. Ini menjadi salah satu faktor kekerasan seksual dan sekaligus, membuat korban enggan bahkan takut untuk melapor.

"Apalagi jika pelaku memiliki posisi yang dapat mempengaruhi keberlangsungan penghidupan korban dan keluarganya," kata dia, Selasa (27/2/2024).

Baca Juga: Universitas Pancasila Nonaktifkan Edie Toet Hedartno dari Rektor

1. Pelapor ada di posisi relasi kuasa yang berlapis

Komnas Perempuan Ingatkan soal Relasi Kuasa Pelecehan oleh Rektor UPKomisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi dalam Konferensi Pers “Tanggapan Komnas Perempuan terhadap PKPU No.10 tahun 2023 khususnya terkait Pemenuhan Kuota 30% Perempuan dan Larangan Pelaku Kekerasan Seksual Sebagai Calon Legislatif” Jumat (12/5/2023). (dok. Komnas Perempuan)

Dia menjelaskan, dalam kasus ini pelapor berada pada posisi relasi kuasa berlapis. Pertama, sebagai perempuan yang dikonstruksikan sebagai subordinat yang berhadapan dengan laki-laki. Kedua, pelapor adalah karyawan atau bawahan sebagai penerima kerja dari atasannya.

"Ketiga, ketimpangan dalam tingkat pendidikan dan pengetahuan antara perempuan korban dengan terduga pelaku," ujar Ami sapaan karibnya.

Baca Juga: Komnas Apresiasi Korban Berani Lapor Dugaan Pelecehan Rektor UP

2. Kekerasan seksual kerap terjadi di kondisi sunyi

Komnas Perempuan Ingatkan soal Relasi Kuasa Pelecehan oleh Rektor UPSalah satu toko buku dan perpustakaan di Gyeongju, Korea Selatan. (IDN Times/Besse Fadhilah)

Ami menjelaskan, kekerasan seksual kerap terjadi dalam kondisi sunyi, tanpa saksi. Akibatnya, keterangan korban pun kerap disangkal dan diragukan kebenarannya. Korban pun membutuhkan waktu dan dukungan untuk dapat bersuara dan melaporkan kasusnya.

"Bahkan ada korban yang dilaporkan balik dengan tuduhan pencemaran nama baik, termasuk nama baik perguruan tinggi. Belum lagi kondisi korban terkait trauma akibat kekerasan yang dialaminya itu," ujarnya.

Baca Juga: Komnas Apresiasi Korban Berani Lapor Dugaan Pelecehan Rektor UP

3. Perlunya penguatan untuk korban berani lapor

Komnas Perempuan Ingatkan soal Relasi Kuasa Pelecehan oleh Rektor UPKomisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi saat memberikan keterangan pers Rekomendasi Komnas Perempuan kepada Calon Pemimpin Bangsa 2024 Menuju Indonesia Emas, Kamis (18/1/2024). (YouTube.com/Komnas Perempuan)

Oleh karena itu, korban pelecehan seksual umumnya membutuhkan penguatan terlebih dahulu untuk berani bicara dan melapor. Hal itu karena peristiwa tersebut terjadi di lingkungan perguruan tinggi, maka pihak kampus memiliki kewajiban untuk memeriksa secara seksama pelaporan yang ada. Termasuk melakukan penanganan sesuai Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 serta mendukung pemulihan korban dan memutus impunitas.

"Peristiwa yang diadukan dapat dikategorikan pula sebagai kekerasan seksual di tempat kerja. Sesuai Keputusan Menaker Nomor 88 Tahun 2023, tempat kerja berkewajiban memiliki mekanisme untuk upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja agar tempat kerja menjadi ruang yang aman dan nyaman bagi semua," ujarnya.

Ami menjelaskan, dalam penanganan kasus serupa, tempat kerja juga perlu menjamin agar pelapor atau korban tidak menderita kerugian akibat laporannya itu. Misalnya seperti penurunan jabatan, penundaan promosi jabatan dan kenaikan upah, ketidaknyamanan dalam hubungan kerja, dan lain-lain.

Baca Juga: Polisi Jadwalkan Ulang Pemeriksaan Rektor Universitas Pancasila

Topik:

  • Deti Mega Purnamasari

Berita Terkini Lainnya