Minimnya Partisipasi Perempuan di Politik, Terjegal Berbagai Halangan

Mulai dari budaya, agama hingga aturan

Jakarta, IDN Times - Partisipasi perempuan di dunia politik selalu jadi pemberitaan, bukan karena prestasi, tak jarang perempuan minim mendapat tempat untuk menunjukkan potensinya di bidang politik.

Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfa Ansor mengatakan, untuk mendapatkan satu kursi di dalam parlemen, perempuan harus berjuang luar biasa. Selain terhalang dengan beleid yang makin mereduksi tempat perempuan, budaya juga jadi faktor penghalang.

"Faktor lain seperti budaya, patriarki, budaya oligarki, budaya yang juga berpolitik. Mohon maaf ya minus etika itu seharusnya bisa dikurangi gitu bisa dicegah. Tapi yang terjadi begitu pada saat Pemilu, pada saat kampanye itu saya kira sudah masuk dalam ruang belantara gitu ya. Perempuan di satu sisi memang ada kuota 30 persen untuk perempuan, tetapi di sisi yang lain selain tadi ya di direduksi kembali oleh PKPU juga ada faktor budaya," kata dia dalam Konferensi Pers Komnas Perempuan tentang PKPU, dilansir Jumat (14/7/2023).

1. Pandangan agama juga menganggap perempuan tak perlu masuk ke ruang publik

Minimnya Partisipasi Perempuan di Politik, Terjegal Berbagai HalanganBendera partai politik peserta Pemilu 2024 di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Dia menjelaskan, di beberapa daerah masih ada yang menganggap, jika masih ada laki-laki buat apa perempuan terjun ke dunia politik. Maria mengatakan, budaya patriarki mengedepankan seolah-olah caleg laki-laki lebih baik atau lebih layak dipilih, ketimbang perempuan.

"Budaya patriarki ini juga tidak semata mata masuk pada budaya, tapi juga bahkan pada interpretasi agama. Pandangan-pandangan keagamaan yang juga bias gender itu menganggap bahwa perempuan itu tidak perlu masuk ke ruang-ruang publik. Sehingga itu dianggap kemudian mengurangi, apa namanya daya tawar ya untuk perempuan bisa berkampanye bisa untuk dirinya maupun untuk perempuan yang lain. Itu tantangannya cukup berat," katanya

Baca Juga: Komisi II DPR Tolak Revisi PKPU soal Keterwakilan Caleg Perempuan

2. Kuota 30 persen jadi daya dorong keterlibatan perempuan

Minimnya Partisipasi Perempuan di Politik, Terjegal Berbagai HalanganSimulasi pemungutan suara KPU Sumut dan KPU Medan pada Pilpres 2019 lalu (IDN Times/istimewa)

Pasal 245 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, disebutkan paling sedikit ada 30 persen dari keterwakilan perempuan. Namun, aturan yang ada pada PKPU 10/2023 berpotensi tidak mencapai tiga puluh persen. Sebab, sistem yang digunakan dalam PKPU tersebut, membuat jumlah keterwakilan perempuan di setiap dapil dilakukan pembulatan ke bawah jika kurang dari angka nol koma lima.

"Jadi ini ada kuota 30 persen itu menjadi menjadi daya dorong sebenarnya untuk mengejar ketertinggalan perempuan agar kisah bisa mendapatkan target gitu ya. Jadi 30 persen kuota kan sekali lagi bukan diskriminasi terhadap laki laki, tapi ini adalah upaya penyetaraan perempuan mengejar ketertinggalannya supaya bisa masuk di ruang ruang publik. Itu kan caranya kemudian ada kuota 30 persen," kata dia.

3. Gagal jadi caleg karena izin suami

Minimnya Partisipasi Perempuan di Politik, Terjegal Berbagai HalanganIlustrasi keterwakilan perempuan dalam pemilu (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Salah satu polemik yang menunjukkan minimnya dukungan partisipasi perempuan di dunia politik, terjadi saat sejumlah bakal calon anggota legislatif (caleg) perempuan dari partai buruh mengundurkan diri. 

Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan, atas dasar hal ini mereka batal mengikuti kontestasi politik sebagai perwakilan rakyat pada Pileg 2024. Said Iqbal menjelaskan, para bakal caleg yang bekerja sebagai buruh ini dilarang oleh suaminya untuk ikut kontestasi politik lima tahunan itu.

"Ya di dalam caleg DPR RI Partai Buruh kita ada 60 orang yang dilakukan perbaikan dan ada yang mundur, karena faktor tadi, salah satunya mereka buruh perempuan, mereka ingin banget mengubah nasib buruh perempuan di tempat kerjanya dan seluruh Indonesia, maka nyaleg," kata Said Iqbal kepada awak media, Selasa (11/7/2023).

"Ketika nyaleg, suaminya nanya, 'kamu kerja, kamu ngurus anak keluarga, kita orang timur banyak satu kewajiban yang dipenuhi dan sekarang kamu ikut caleg, gimana keluarga,'" kata dia.

Baca Juga: Banyak Caleg Tak Penuhi Syarat karena Khawatir Sistem Pemilu Tertutup

4. Pasal 8 PKPU memuat aturan penghitungan dua angka desimal belakang koma

Minimnya Partisipasi Perempuan di Politik, Terjegal Berbagai HalanganANTARA FOTO/Reno Esnir

Selain dari pada budaya dan kondisi omnas Perempuan menyampaikan pendapat hukum dalam bentuk keterangan tertulis sebagai sahabat pengadilan atau amicus curiae kepada Mahkamah Agung (MA).

Hal ini berkenaan dengan permohonan dengan uji materiil terhadap Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang pencalonan anggota legislatif, khususnya Pasal 8 ayat 2 mengenai keterwakilan perempuan.

Pasal 8 PKPU Nomor 10 Tahun 2023 itu tentang sistem penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil yang menghasilkan angka pecahan. Apabila dua angka desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah. Namun, jika 50 atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya