Sudah 39 Tahun Ratifikasi CEDAW, Indonesia Belum Sahkan RUU PPRT
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Pada 2021 Pemerintah Indonesia sudah memberikan laporan pada komite CEDAW Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait impelentasi CEDAW di Indonesia dengan beberapa catatan atau rekomendasi. Salah satunya adalah bagaimana pemerintah diminta segera sahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).
Menyambut peringatan 39 Tahun Ratifikasi CEDAW di Indonesia, Koordinator Cedaw Working Group Indonesia (CWGI) Listyowati mengatakan sudah dua kalo rekomendasi dari komite CEDAW PBB membahas terkiat RUU PPRT di Indonesia.
"Saya pikir bukan hal yang perlu untuk ditunda-tunda lagi, bukan hal yang perlu untuk kemudian kita kesampingkan lagi, bahwa sungguh sangat mendesak kepentingan perlindungan hukum bagi perempuan dalam segala bentuk diskriminasi dan kekerasan berbasis gender, termasuk dalam konteks pekerja rumah tangga," kata dia dalam konferensi pers "Telah 39 Tahun Ratifikasi CEDAW: Perempuan Masih Sulit Memperoleh Keadilan di Muka Hukum" secara daring, Jumat (28/7/2023)
1. Berharap tiap korban dapat kepastian perlindungan hukum dan keadilan
Perlu diketahui, Indonesia adalah negara yang turut mengesahkan CEDAW melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
CWGI, kata Listyowati berharap agar pemerintah bisa implementasikan rekomendasi dari komite CEDAW PBB yang dikeluarkan pada 2021 untuk sahkan RUU PPRT. Bukan hanya itu, pihaknya juga berharap setiap korban mendapatkan kepastian perlindungan hukum dan keadilan.
Baca Juga: Singgung Amanat CEDAW, Komnas Perempuan Minta Tak Ada Diskriminasi Politik
2. Kondisi perempuan yang kian memburuk
Editor’s picks
Sementara, Perwakilan Koalisi Sipil UU PPRT Eva Kusuma Sundari merasakan betul efek dari lambannya pengesahan RUU PPRT. Menurut dia, penanganan keadilan korban dirasa sulit dicapai.
Dia menceritakan, memang dalam perjalanan yang ada situasi perempuan saat ini semakin buruk. Di mana hanya demokrasi prosedural yang ada, namun belum merambah ke demokrasi substantif.
"Di mana perempuan kondisinya membaik, atau statusnya membaik karena faktanya malah memburuk," kata Eva.
3. Pengalaman penanganan kasus penyiksaan ART yang ada
Salah satu pengalaman kasus pencarian keadilan bagi perempuan korban kekerasan terasa, kata Eva adalah dalam kasus kekerasan PRT asal Pemalang, Siti Khotimah. Kasus ini dirasa lamban penangannya meski sudah viral dan mendapat perhatian berbagai pihak.
"Tapi di lapangan atau di bawah meja itu luar biasa tekanannya. Misalnya, upaya para penyidik untuk membujuk belum-belum untuk tidak diteruskan, kita damai saja, mulai Rp50 juta sampai Rp500 juta dan seterusnya. Inikan menempatkan korban kaya komoifikasi," katanya.
Ini juga terasa dalam penanganan kasus ART asal Cianjur, Jawa Barat bernama Riski yang alami penyiksaan oleh majikannya yang merupakan seorang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Baca Juga: Bila RUU PPRT Disahkan, ART Bisa Dapat Gaji UMR