Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi pemilu (IDN Times/Esti Suryani)
ilustrasi pemilu (IDN Times/Esti Suryani)

Intinya sih...

  • Kodifikasi dibagi menjadi enam buku besar.

  • Ada 74 pasal pada buku pertama, termasuk sistem campuran untuk pemilu DPR dan DPRD.

  • Draft RUU mengatur tujuh variabel sistem pemilu, didasarkan pada riset dan partisipasi publik.

Jakarta, IDN Times - Ruang diskusi itu tampak riuh, bukan karena perdebatan panas, melainkan semangat para pegiat demokrasi yang berkumpul dengan satu tujuan: memperbaiki wajah demokrasi Indonesia lewat penyusunan Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu).

Di tengah mereka, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, tampil menjelaskan mengapa inisiatif ini lahir dari kalangan masyarakat sipil, bukan semata dari parlemen atau pemerintah.

“RUU Pemilu ini bukan sekadar revisi, tetapi upaya kodifikasi. Ini cara kami menyatukan segala ketentuan tentang pemilu dalam satu kerangka utuh,” ujar Khoirunnisa dalam diskusi Publikasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu Usulan Masyarakat Sipil: Buku 1 Desain Sistem Pemilu yang disiarkan di kanal YouTube Perludem. Minggu (20/7/2025).

Menurutnya, selama ini ketentuan pemilu tercerai-berai dalam berbagai undang-undang. Bagi masyarakat sipil, kondisi ini menyulitkan konsistensi dan mengganggu kesinambungan demokrasi.

1. Kodifikasi disusun menjadi enam buku besar

Tangakapan Layar Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk PERLUDEM Khoirunnisa Nur Agustyati Diskusi Publik secara daring (21/4) bertema Masa Depan Demokrasi Indonesia di Masa Kepemimpinan Baru (IDN Times/Irsan Rufai)

Khoirunnisa mengatakan, kodifikasi atau proses penyusunan dibagi menjadi enam buku besar. Buku pertama mengupas tuntas tentang asas, tujuan, prinsip, dan sistem pemilu. Lalu, buku kedua membahas aktor-aktor pemilu seperti penyelenggara, pemilih, partai politik, kandidat, hingga pemantau.

Buku ketiga mengupas manajemen pemilu dari hulu ke hilir, sementara buku keempat menyentuh aspek penegakan hukum. Buku kelima membahas sanksi, dan buku keenam menjadi ketentuan penutup.

Salah satu alasan mengapa masyarakat sipil merasa perlu menyusun RUU ini adalah dorongan dari Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.

“RPJPN sudah menegaskan pentingnya penguatan lembaga demokrasi melalui perbaikan penyelenggaraan pemilu dengan kodifikasi UU Pemilu. Jadi bukan kami yang mengada-ada, ini amanat kebijakan negara,” kata Khoirunnisa.

2. Ada 74 pasal pada buku pertama

Ilustrasi Undang-Undang (IDN Times/Arief Rahmat)

Di buku pertama saja, masyarakat sipil telah menyusun 74 pasal. Khoirunnisa menyebutkan, mereka menggarap setiap bagian secara detail. Misalnya, dalam bab sistem pemilu, mereka membagi menjadi dua kategori besar, yakni sistem nasional dan sistem daerah. Masing-masing kemudian dipecah lagi ke dalam paragraf-paragraf spesifik, mulai dari pemilu presiden, DPR, DPD, hingga kepala daerah dan DPRD.

Satu kebaruan yang diajukan dalam draft ini adalah penggunaan sistem campuran (Mixed Member Proportional/MMP) untuk pemilu DPR dan DPRD. “Setengah kursi dari daerah pemilihan pluralitas perwakilan tunggal, setengahnya lagi proporsional tertutup,” ucap dia.

Skema ini, menurutnya, mengakomodasi perwakilan yang lebih adil tanpa mengorbankan prinsip proporsionalitas.

3. Ada tujuh variabel sistem pemilu yang diatur

Ilustrasi pemilu (IDN Times/Esti Suryani)

Draft RUU juga mengatur tujuh variabel sistem pemilu yang selama ini sering menjadi sumber perdebatan, mulai dari waktu penyelenggaraan, besaran dapil, metode pencalonan, pemberian suara, ambang batas, formula konversi suara, hingga penetapan calon terpilih. Semua dijabarkan rinci sesuai pengalaman dua pemilu terakhir dan putusan Mahkamah Konstitusi.

Tidak hanya mengandalkan teori, penyusunan naskah RUU ini dilandasi proses riset panjang. Khoirunnisa mengungkapkan, “Kami lakukan evaluasi dari pemilu 2019 dan 2024, telaah putusan Mahkamah Konstitusi, serta diskusi mingguan selama empat bulan terakhir," ujar dia.

Proses ini juga melibatkan banyak organisasi seperti ICW, PSHK, Kapal Perempuan, Netgrit, dan lainnya. Bagi Khoirunnisa dan rekan-rekannya, partisipasi publik menjadi kunci.

“RUU Pemilu ini tidak boleh hanya milik kelompok tertentu, tetapi harus menjadi cerminan kebutuhan demokrasi kita bersama,” imbuhnya.

Editorial Team