RUU Pemilu, Caleg Perempuan Diusulkan Dapat Nomor Urut 1

- Peneliti Puskapol UI mendorong nomor urut 1 caleg perempuan di 30% daerah pemilihan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di DPR RI.
- Studi Puskapol UI menunjukkan bahwa caleg dengan nomor urut 1 memiliki kemungkinan menang lebih besar, mendukung usulan tersebut.
- Pihaknya mengusulkan penerapan sistem zipper murni dan sistem pemilu campuran untuk memperkuat afirmasi keterwakilan perempuan dalam politik.
Jakarta, IDN Times - Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Delia Wildianti, mendorong agar keterwakilan perempuan lebih diperhatikan lagi dalam Revisi Undang-Undang (RUU) Pemilu, khususnya dalam kontestasi pemilihan anggota legislatif (pileg).
Delia mengusulkan agar caleg perempuan mendapat nomor urut 1 di 30 persen daerah pemilihan.
"Kita bisa mendorong sebenarnya berkaitan dengan ketentuan posisi nomor urut 1 di 30 persen daerah pemilihan untuk perempuan," kata Delia dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi II DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (5/3/2025).
1. Untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di kursi DPR RI

Aturan ini diyakini bisa meningkatkan keterwakilan perempuan di kursi DPR RI. Mengacu pada penelitian Puskapol UI, caleg dengan nomor urut 1 kemungkinan menangnya jauh lebih besar.
"Berdasarkan studi Puskapol mayoritas hampir 70 persen yang terpilih itu adalah nomor urut satu. Meskipun di proporsional terbuka setiap orang bisa dipilih, tetapi nyatanya studi kami menunjukkan lebih dari 50 persen yang terpilih nomor urut satu. Jadi mau tidak mau untuk mendorong percepatan akselerasi kesetaraan itu perlu dibantu dengan penguatan afirmasi," ucap Delia.
2. Soroti sistem zipper murni

Delia pun menjelaskan, sebenarnya sekarang sudah ada aturan mengenai sistem afirmasi keterwakilan perempuan yang mengacu pada kuota minimal 30 persen dalam daftar calon.
Hanya saja, kata dia, penerapan sistem zipper alias penyusunan daftar caleg secara selang-seling antara caleg pria dan perempuan, belum berjalan maksimal. Ia mengusulkan agar aturan yang dimuat dalam RUU Pemilu nanti bisa mengakomodir sistem zipper murni.
"Kami juga punya konsen terkait keadilan gender di dalam politik. Kalau misalnya kita tetap menggunakan sistem proporsional daftar terbuka ini perlu ada beberapa yang harus dievaluasi. Termasuk untuk kalau mendorong ke perwakilan perempuan itu perlu ada kuota minimum 30 persen dengan sistem zipper murni. Sekarang kan sistem zipper tidak murni ya, di mana di antara tiga calon, harus ada satu calon perempuan. Kalau sistem zipper murni itu di antara dua calon, ada satu perempuan," ungkap Delia.
3. Usul sistem proporsional campuran

Oleh sebab itu, pihaknya mengusulkan agar pemilu yang berlaku ke depannya bisa menerapkan sistem proporsional campuran.
"Terbuka kita sudah menjalankan dan implikasinya tadi ada praktik politik uang, kompetisi yang tidak sehat internal partai dan sebagainya. Proporsional tertutup kita sudah menyelenggarakan di era Orde Baru bagaimana misalnya ada ketidaktransparanan dan lain sebagainya. Itu terjadi, jadi kalau Puskapol dari studi yang kami lakukan kita bisa coba exercise untuk opsi alternatif perubahan sistem proporsional terbuka menjadi sistem pemilih campuran," tutur dia.
"Kami percaya dengan sistem pemilu campuran, Indonesia bisa mencapai dua tujuan utama, yaitu penguatan institusi partai politik dan peningkatan keterwakilan politik," imbuh Delia.