Cerita Alam Ganjar: Makna Nama hingga Kriteria Calon Istri

Alam ngaku ingin cepat beri cucu untuk Ganjar dan Atikoh

Jakarta, IDN Times - Putra calon presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo, Muhammad Zinedine Alam Ganjar menceritakan beberapa hal pribadi. Dia bercerita mengenai makna nama yang diberikan oleh orangtuanya, Ganjar Pranowo dan Siti Atikoh.

Selain itu, Alam juga menceritakan mengenai cara parenting kedua orangtuanya. Menurut dia, Ganjar dan Atikoh mendidiknya untuk memiliki pemikiran terbuka.

Dia mengaku, sebagai anak tunggal, senantiasa diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan. Alam juga menceritakan mengenai kriteria calon istrinya.

Bahkan, dia mengaku ingin segera memberikan cucu kepada Ganjar dan Atikoh. Hal itu Alam ceritakan dalam wawancara khusus bersama IDN Times dengan topik "Geriliya Alam Menangkan Ayah Ganjar di Pilpres 2024".

Cerita Alam Ganjar juga bisa disaksikan di kanal YouTube IDN Times yang tayang pada Rabu (31/1/2024).

Baca Juga: Alam Ganjar Sebut Generasi Muda Tahu Bahayanya KKN

Arti Muhammad Zinedine Alam Ganjar, siapa yang kasih nama?

Yang ngasih namanya Zinedine, itu ibu. Ibu tuh lebih gila bola dari bapak. Zaman dulu pas 90-an, awal 2000 itu suka banget AC Milan, zaman Maldini sama  Zidane. Dulu aku opsi-opsi namanya tuh, Maldini sama Zidane. Cuma kayaknya dua nama itu terlalu banyak sekarang, Zinedine Zidane kan muslim dan ibu ingin membawa nama-nama muslim. Awalnya nama aku cuma Muhammad Alam Ganjar, terus ibu titip nama Zidane ke bapak. 

Yang ngasih nama Alam itu bapak?

Kalau itu bapak, jadi dulu cita-citanya mau ngasih nama Alam.

Sempat ngalamin diceng-cengin nama orangtua gak sih?

Pasti lah, masih SD, SMP. SMA sudah gak berani.

Tapi kayaknya semua orang ngalami fase itu ya?

Gak tahu ya kalau anak-anak sekarang, kalau era aku masih. Sayangnya asyik sih, tapi jangan, gak boleh, gak kreatif.

Alam, kesibukan sekarang apa ketika bapak nyapres dan saat masih jadi gubernur?

Kalau sekarang sih yang jelas kegiatan lebih padat, cuma yang aku ingin highlights ingin ketemu lebih banyak orang di situ. Karena aku anak tunggal, jadi aku selalu ingin berusaha untuk tidak sendiri dan ingin bertemu banyak orang dan rasanya sekarang itu jauh lebih mudah dengan berbagai aspek-aspek kehidupan baru yang ada.

Jadi rasanya sekarang temannya lebih banyak, lebih banyak yang nyapa, lebih sering banyak ngobrol, tegur sapa di jalan lebih sering. Ada lebih ada rasa kekeluargaan, ada kehangatan dan gak sendiri, diterima di mana-mana. Itu rasanya Indonesia banget. Beragam, welcome gitu.

Baca Juga: Alam Ganjar Bicara Pentingnya Internet Tingkatkan Kualitas Pendidikan

Ada gak momen merasa 'gue kayaknya gak mau jadi anak politikus'?

Kan juga biasa-biasa saja. Menurutku, bukan ranahku memberikan statement seperti itu ya. Karena aku juga tidak mempunyai hak untuk memilih apa yang bapak lakukan.

Oke aku bisa ikut dalam diskusi pengambilan keputusannya, tapi apakah aku punya kapasitas untuk mengintervensi bapak? Aku gak mau karena keluarga itu harus saling support. Kalau misalkan ayah ada fokus apa yang dikerjakan, kita support. Begitu juga aku, aku fokus apa, bapak-ibu support.

Ada privilege gak sih yang kamu rasakan selama ini?

Pasti banyak, privilege yang paling banyak aku rasakan dengan bapak di posisi eksekutif, itu aku rasanya bisa konsultasi apapun dengan bapak karena bapak memiliki pemahaman secara teknisnya di situ dan memiliki wawasannya yang sangat luas. Jadi aku merasa selalu ada tempat untuk bertanya dan bapak juga selalu hadir untuk memberikan jawaban atau arahan karena tipe mendidiknya bapak itu agak beda mungkin. Bapak itu kalau ke aku, jawabannya seringkali men-trigger aku buat berpikir lagi.

Misalkan aku konsultasi terkait sesuatu, 'Yah, kalau misalnya aku kayak gini nanti gimana?' Gak dikasih langsung jawabannya kamu harus kayak gini, gak. Tapi kira-kira bagaimana proses berpikirnya. Itu sih menurut aku proses-proses sepertinya itu membentuk bapak yang selama ini berproses dalam kariernya dan itu membentuk aku selama ini berpikir kuat. Dan aku sangat bisa memiliki rasionalitas, dan itu turun dari privilege dari akses langsung ke bapak.

Alam sama bapak dan ibu itu ngobrolnya serius atau sering bercanda?

Malah jarang banget serius kalau sama bapak. Bapak itu belum pernah menjadikan pekerjaannya topik obrolan di meja makan, kecuali aku sama ibu tanya, bapak dengan welcome menjawab terus mendiskusikannya, tapi kalau bapak sendiri menaruh topik diskusinya belum pernah, seingetku gak pernah, apalagi ke aku.

Jadi mungkin aku bisa melihat kalau bapak itu sedang mencoba untuk membedakan porsi yang mana pekerjaan, yang mana keluarga agar tidak menyaru di situ karena keluarga bisa support. Tapi pada masa bapak menjabat entah itu sebagai gubernur atau anggota dewan, keluarga tidak ada intervensi di situ, hanya masukan. Makanya bapak berusaha memisahkan hal itu, makanya obrolannya keseharian yang receh-receh tapi aku memang ajak bapak diskusi, terutama yang berat-berat dan so far bapak sangat open.

Parenting dari bapak dan ibu ke kamu gimana?

Kepercayaan. Bapak sama ibu menurut aku, bisa dalam artian bapak-ibu berhasil dengan memberikan kepercayaan, bukan kebebasan. Karena batasanya itu cukup tipis.
Kepercayaan itu diberikan ketika aku diberikan batasan-batasan tertentu, jadi kayak koridor, titik A, titik B, kamu bebas berkreasi dan bapak dan ibu tidak intervensi tapi siap hadir untuk konsultasi.

Dan kepercayaan itu menaruh 3 poin utama, 3 pembelajaran. Itu yang pertama, aku jadi lebih lebih mengenal diri sendiri. Karena kepercayaan itu memberikan kewenangan aku sepenuhnya untuk memutuskan apa yang aku inginkan, dan aku ke depannya seperti apa dan eksekusianya demikian. Ketika mengambil keputusan itu, aku gak bisa main-main, harus ada pemikiran matang, ada rasionalitas, ada ada rasa emosional di situ karena aku harus tahu apa yang aku bisa dan aku inginkan. Jadi itu membentuk aku mengenal diri sendiri.

Kedua, soal tanggung jawab. Setelah memutuskan, ada tanggung jawab, entah berhasil atau enggak. Kalau keputusanku berdampak buruk, akulah yang bertanggung jawab. Dan yang ketiga, ya menumbuhkan rasa rasionalitas karena kepercayaan ini, memberikan aku keleluasaan, aku mau berkarya seperti apa dan aku merasa gak pernah sendiri karena bapak ibu selalu memberikan semua keleluasaan.

Ini pertama kali ikut kampanye atau dari kecil?

Kalau waktu SD sekadar ikut saja, nempel bapak ke mana-mana buat bisa melihat dan merasakan dan mungkin bentuk bapak memperkenalkan bapak kerja seperti apa, kalau bapak sibuk bukan ngapa-ngapain, tapi ada kebaikan yang ingin dibawa, cuma kalau sekarang memang beda kondisinya.

Aku di awal mencoba ngobrol dengan bapak di masa-sama proses seperti ini, 'Yah, aku sudah cukup dewasa dan aku ingin mengembalikan apa-apa yang sudah ayah kasih ke aku, dan menunjukkan baktiku ke ayah, aku mau bantu ayah'.

Ayah awalnya agak, cuma aku mau coba, apa yang selalu ayah lakukan. Awalnya input ide, masukkan ke timnya bapak, cuma lama kelamaan, terutama setelah interview sama Mba Rosi, sama ibu juga, kita bertiga, karena waktu itu kami pikir momen waktu bertiga untuk waktu yang lama.

Setelah dari Mba Rosi itu, undangan ke mana-mana ada. Itulah, aku sekalian juga membagikan proses pengalaman itu. Kondisinya sekarang aku lebih aktif. Bentuknya tenaga dan pemikiran. Ada beberapa ide yang alhamdulillah itu dieksekusi dalam bentuk visi misi atau gaya kampanye bapak.

Berarti ada masukan dari Alam untuk sudut pandang Gen Z?

Iya, karena ada beberapa isu-isu yang mungkin aku sangat concern di situ, beberapa contoh terkait digital dan kesehatan mental. Dan aku bersyukur bapak memasukan aspek-aspek secara konkret di program yang akan digarap nanti.

Tapi dari ngomongin dua tadi yang akhirnya isu dianggap sama Alam digital sama kesehatan mental, ada pengalaman apa di situ?

Karena aku basic-nya kan teknik industri. Jadi aku melihat teman-temanku itu sangat membutuhkan support dan fasilitas untuk berkembang di kemudian hari untuk membentuk suatu ekosistem yang ramah digital. Ramah digital dalam arti membuka lapangan kerja dan diberikan akses untuk keterbukaan informasi. Aku senang banget bapak itu seringkali menggaungkan internet.

Karena itu aku bisa membayangkan snowboard effect-nya luar biasa besar, untuk pendidikan, lapangan pekerjaan, rekreasi dan sebagainya itu kayaknya sekarang itu kebutuhan pokok jadi empat, sandang, pangan, papan, dan internet.

Tentang kebutuhan apa dan keinginan apa itu menjadi satu faktor yang penting. Kalau isu kesehatan mental cukup personal di aku karena beberapa tahun lalu aku salah satu yang terkena dampaknya dan alhamdulillahnya aku bisa berhasil recover dari situ.

Apa yang kamu lakukan sehingga kamu berhasil?

Aku meminta bantuan profesional dan itu sampai saat ini aku merasa kok masih tabu. Dan di setiap platform-platform seperti ini ayo minta bantuan psikolog, karena itu hal yang sangat penting. Dan akhirnya concern itu dijawab oleh bapak juga. Dan aku merasa terbantu juga dan orang-orang terdekat aku juga ada. Berat rasanya ketika aku mendengar cerita serupa, terjadi di saat aku punya wadah yang bisa berkontribusi di situ.

Benar juga sih orang masih tabu dan memang ada yang malu juga ketika ke psikolog ke psikiater?

Itu juga menjadi isu khusus. Indonesia belum punya hotline khusus loh. Harapannya kalau ada yang official, semua orang bisa mengakses dan lebih aware.

Di IDN ada counselor khusus, ada psikolog lho

Wah bagus, di perkantoran, di lembaga pendidikan. Coba bayangin, BK (Bimbingan dan Konseling) itu apa? Persepsinya apa? (anak nakal) Marwah BK seharusnya kan harus bisa dikembalikan marwah idealnya.

Orientasinya itu perlu diubah dan itu bisa dilaksanakan apabila pertama, akses kita ke layanan kesehatan itu ada, jadi kita merasa connected dan merasa itu hal yang wajar. Itu hal yang penting dan saat mindset itu sudah terbentuk, kita akan lebih dekat kepada layanan-layanan sudah ada tapi belum bisa mengoptimalkan. Ada fase-fase yang kita dorong ke situ.

Apalagi Gen Z dan milenial itu tantangannya wah banget?

Ya ini barang bahaya (media sosial), karena ini kan sumber informasi, ada yang baik ada yang buruk, ada yang benar dan ada yang salah. Masalahnya, belum ada sistem secara khusus yang bisa menyeleksi hal itu secara langsung. Kita hanya punya diri kita sendiri.

Sedangkan kalau misalkan belum terbentuk proses berpikir bagaimana kita menyeleksi informasi yang baik atau benar, itu bisa bahaya. Aku pribadi kita akan setuju terhadap sesuatu yang memang itu baik untuk kita, tapi bahayanya kalau kita bicara isu mental health, kita merasa relatable, itu biasanya kita enggak ke bantuan profesional, kita self diagnose. Itu bahaya.

Apalagi ketika merasa ada gejala langsung buka internet?

Cerita Alam Ganjar: Makna Nama hingga Kriteria Calon IstriAlam Ganjar saat berkunjung di kantor IDN Times. (IDN Times/Sunariyah)

Iya, Itu oke lah buat pre-diagnose dan untuk meningkatkan urgensi kita, oh kalau kita harus ke layanan profesional. Tapi jangan itu dijadikan kesimpulan karena, kita pertama belum ada ilmunya, dan kita enggak ada kapasitasnya.

Pernah ngobrol sesama dengan anak capres, cawapres gak sih?

Aku memang sama Mba Tia dan Mikael (anak Anies Baswedan) memang dekat, Mikael dekat lah sering ngobrol dan ketemuan beberapa kali. Jadi memang ya kita sudah saling kenal, sama Mas Didit (anak Prabowo Subianto) juga, saling kenal, saling tahu dan kita juga berusaha berbaur dan menjalin hubungan baik.

Suasana debat panas dan sosmed panas juga, tapi kalian berbaur, mencair, ngobrolin apa?

Kalau aku mencoba mengklasifikasi kita-kita ini sebagai orang yang politically exposed. Jadi kita sudah cukup aware, dengan hal politis jadi kita lebih bisa mem-framing pikiran kita. Bahkan guyonannya sering pakai yang itu, ya sama-sama ketawa, daripada aku ketawain dia, dia ketawain aku, mendingan kita tertawa bersama.

Biarlah yang di medsos panas?

Ya harapannya sama-sama gak panas-panas juga, kan kita sama-sama anak bangsa. Kita ini sedang mencari solusi terbaik untuk bangsa kita dan kalau misalkan ini proses diskusi, diskursus satu sama lain, ya kita gak perlu saling ngotot karena kita sedang mencari solusi terbaik. Makanya sebenarnya saling menghargai satu sama lain.

Yang dibutuhkan anak muda sekarang apa sih?

Oh banyak, kalau aku sih melihat, pertama akses-akses kebutuhan dasar yang sekarang belum dianggap kebutuhan dasar, misal mental health, internet, digital, tapi ada beberapa aspek yang lebih makro. Itu aku baca di IDN, ada ketidakadilan dan kesejahteraan sosial, sama lapangan kerja.

Lapangan kerja kan ini kita kan sudah sering diomongin, kita menuju Indonesia Emas, di mana di situ ada bonus demografi, yang mana kalau bonus demografi, yang mana kalau bonus demografi dengan kapasitas penduduk produktif yang sangat luar biasa dan tidak bisa di-handle dengan baik, lapangan kerjanya gak ada, ini kita bisa gawat darurat. Banyak pengangguran. 

Dan meski nanti ada lapangan pekerjaan, bisa middle income trap seperti kasus di negara lain juga, yang mengalami hal sama terkait middle income trap itu, makanya kita harus mulai dengan baik, makanya harus mulai dengan lapangan pekerjaan dan lapangan pekerjaan itu cuma dua, bekerja atau wirausaha dan bagaimana kedua hal ini bisa dikelola dengan baik, diakselerasi dengan baik dengan supporting element yang ada di situ, internet, pendidikan vokasi, pendidikan soft skill, terus juga entrepreneurship dan juga fasilitas-fasiltas yang bisa mengintegrasikan itu. Aku bayanginnya seperti creative hub.

Itu termasuk yang dikampanyekan bapak?

Iya, itu salah satu hasil diskusiku sama bapak.

Bapak kalau soal materi sudut pandang Gen Z dari kamu juga?

Salah satunya ya, karena kita kan banyak teman-teman juga yang lain yang memang anak muda di dalam, ya sering ngobrol sama aku juga di situ.

Bawel bapak atau ibu?

Terkait apa dulu? (Bapak) gak sih, ibu (lebih bawel).

Ada yang gak tahu, dirahasiakan?

Ada

Tapi bapak tahu?

Tahu. Bromance kita. Persekutuan dalam keluarga.

Alam pernah mention, kalau mencari jodoh kayak ibu?

Aduh apa ya, itu luar biasa, ibu bisa sebegitu sayangnya sama keluarga. Jadi mengedepankan keluarga, itu sebagai prioritas utamanya beliau. Kemudian, ibu juga begitu cinta dengan orang tuanya, dan juga mertuanya, itu luar biasa sih aku melihat ibu ke eyang kakung dan eyang uti dari bapak, itu luar biasa.

Dan dulu ya, sebelum bapak sam ibu menikah, itu salah satu hal yang bikin bapak, 'Oh ya yang mau sama ibu', itu adalah bapak waktu sama pakde ngurusin almarhuman bude karena lagi sakit. Almarhumah bude lagi sakit, kalau bapak sama pakde gak bisa, ibu yang ngurusin, dan itu kondisi belum menikah tapi melihat bagaimana tulusnya ibu, bapak tersentuh. Itu sih kriteria nomor dua (mencari jodoh).

Ya, aku juga paham kondisku sekarang, paham juga orang deketin aku karena sisi oportunistiknya, tapi harapannya itu bukan jadi motivasi untuk pasanganku di kemudian hari, jadi bisa menerima apa adanya.

Ada target nikah gak?

Usia gak ada, tapi memang aku ingin segera karena, pertama, aku anak tunggal dan bapak ibu itu suka banget anak kecil dan kita bertiga itu suka banget anak kecil. Jadi, ketika keliling itu ada anak kecil, kita pegang. Jadi, aku berharap semoga bapak-ibu bisa melihat kalau nanti aku mengasuh anak kecil. Soal keputusan-keputusan besar kayak gitu dibebaskan ke aku.

Alam kan sudah jadi public figure sering dijodohin public figure lain bagaimana?

Kalau aku sih, silent is a response sih.

Netizen juga banyak yang jodoh-jodohin kan?

Ya udah. Kan kadang-kadang apa yang di depan kamera dan di belakang kamera, bisa sama, bisa beda.

SMP, SMA pernah pacaran?

Aku dua kali pacaran dan selalu dikenali sama bapak-ibu. Dikenalin, biar bapak-ibu percaya juga, dan bapak-ibu kenal jadi ketika ada rambu-rambu tertentu, aku bisa tahu lebih awal.

Jadi gak backstreet?

Gak pernah

Kalau putus nangis, cerita ke ibu?

Gak, kalau aku pas mau putus itu aku pikir-pikir matang dulu karena aku kalau udah putus itu gak bisa balik lagi.

Berarti kalau putus gak balikan?

Sementara ini iya, soalnya kalau ini dinamis banget. Sejauh ini sih itu.

Sebetulnya yang dibutuhin anak muda, sosok pemimpin yang kayak apa?

Kalau aku sih secara khusus anak muda, anak muda selalu ingin didengar dan dilibatkan. Jadi, pemimpin yang bisa menerapkan sistem demokrasi dengan baik, yang murni, itu aku rasa bakal istimewa buat anak muda.

Demokrasi murni ini seringkali berbeda, dalam artian sering berbentuk pemerintah dan masyarakat itu sering kali dalam elemen check and balance. Demokrasi yang sepertinya lebih baik, melihat masyarakat, anak muda Indonesia itu luar biasa pinter dan kreatif, itu bagaimana anak muda turut dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan publik, proses pengambilan keputusan negara, itu sepertinya akan jauh memberikan ruang untuk kita karena kan kita-kita mayoritas penduduk Indonesia.

Oleh karena itu, kita harus ikut partisipasi aktif di situ, aku rasa kita-kita hebat, jadi perlu pemimpin yang memfasilitasi hal tersebut dan juga satu kata kunci lain, ya aspiratif. Bagaimana bisa mendengar karena paling susah itu adalah mendengar. 

Seringkali kita itu latihan public speaking, latihan debat, karena berbicara itu relatif lebih mudah, tapi mendengarkan itu perlu dilatih. Biasanya kedewasaan di situ. Jadi pemimpin yang mendengar, paham demokrasi dan memfasilitasi apa yang kita punya, memberikan ruang dan relevansi.

Baca Juga: Alam Ganjar: Kesehatan Mental Sama Pentingnya dengan Fisik

Topik:

  • Jujuk Ernawati

Berita Terkini Lainnya