Kala Jokowi Plintat-plintut Bantah Isu Jadi Ketum Golkar
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Isu Presiden Joko "Jokowi" Widodo akan menjadi Ketua Umum Golkar semakin santer usai Pemilu 2024. Saat dikonfirmasi, Jokowi tak secara tegas membantah isu tersebut.
"Saya sementara ini ketua Indonesia saja," ujar Jokowi, seraya tertawa, seperti diunggah di kanal YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (21/3/2024).
Baca Juga: Dito Ariotedjo Sebut DPD Golkar Bali Dukung Airlangga Maju Ketum Lagi
1. Airlangga pertanyakan isu Jokowi bakal jadi Ketum Golkar
Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, merasa heran dengan isu Presiden Jokowi akan menjadi penggantinya di partai berlambang pohon beringin itu.
"Kata siapa?" tanya Airlangga di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa, 19 Maret 2024.
Baca Juga: Menafsiri Ciri Pemimpin Versi Jokowi, Golkar: Mirip Airlangga!
2. Jokowi disebut sudah jadi kader Golkar sejak tahun 1997
Pernyataan mengejutkan disampaikan anggota Dewan Pakar Golkar, Ridwan Hisjam. Menurutnya, Jokowi sudah bisa dianggap menjadi kader partai dengan lambang pohon beringin itu sejak 1997 lalu. Sebab, di tahun itu ia menjadi Ketua Asosiasi Mebel Indonesia (ASMINDO) Solo Raya. Ia menjabat posisi itu pada periode 1997 hingga 2002.
Ia mengklaim ketika itu para pengurus organisasi pengusaha adalah kader Golkar. Dengan alasan itu, kata Ridwan, Jokowi dianggap pantas menjadi Ketua Umum Partai Golkar tanpa mengubah Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga. Sebab, menurut AD/ART, calon ketua umum Partai Golkar minimal telah menjadi kader selama lima tahun.
Mayoritas pengusaha pada periode itu kan adalah kader Golkar. Pak Jokowi itu datang dari unsur G atau golongan pengusaha. Pada waktu itu, dikenal kader Golkar merupakan kelompok ABG (ABRI, Birokrasi dan Golongan). Jadi, sejatinya Pak Jokowi itu ya kader Golkar," ujar Ridwan yang dihubungi IDN Times pada Selasa (19/3/2024).
Namun, ketika ditanyakan mengenai Kartu Tanda Anggota (KTA) Golkar milik Jokowi, Ridwan tak meresponsnya. Ia hanya menyebut bukan perkara sulit untuk mengantongi KTA Golkar.
"Kalau Anda gak punya KTA, besok akan kami keluarkan KTA-nya. KTA di Golkar itu bukan barang baru atau barang susah," tutur dia lagi.
3. Akui Jokowi tak pernah jadi pengurus Golkar
Ridwan dulu menjadi sorotan lantaran ikut mendukung pencalonan Luhut Pandjaitan sebagai calon ketua umum Golkar pada 2023. Ia tidak mendukung pencalonan Airlangga Hartarto.
Bahkan, menurutnya Airlangga sudah tidak memenuhi kualifikasi sebagai ketum lantaran gagal memenuhi amanah di Munas pada 2017 lalu. Pesan munas Golkar ketika itu yakni capres pada pemilu 2024 harus berasal dari partai berlambang pohon beringin tersebut.
Kini, ia mengakui tidak lagi mendukung Luhut jadi calon ketua umum lantaran Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi itu ingin pensiun dari dunia politik. Maka, kini ia mendukung Jokowi duduk sebagai Golkar-1.
Editor’s picks
"Pak Jokowi memang tidak pernah duduk di kepengurusan. Tapi, dia melaksanakan yang namanya Karya Siaga Gatra Praja. Jadi, doktrin karya kekaryaan itu sudah dilaksanakan. Bila ditanyakan apakah bisa (Jokowi) jadi kader? Ya, sangat bisa!" tutur dia lagi.
Baca Juga: Golkar: Prabowo Sudah Punya Rumusan Susunan Kabinet
4. Jokowi tak penuhi syarat jadi Ketum Golkar
Sementara, pengamat politik Ujang Komarudin menilai, Jokowi tak memenuhi syarat bila ingin jadi orang nomor satu di Golkar.
"Ya, sebetulnya kalau Jokowi Jadi ketum Golkar kan tidak memenuhi syarat, kan Ketum Golkar itu harus pernah jadi pengurus di tingkat pusat, daerah, atau organisasi pendiri selama lima tahun. Lalu juga pernah aktif di organ selama lima tahun, lalu didukung oleh 30 suara pemilih minimal. Kan gitu," ujar Ujang kepada IDN Times, Rabu (20/3/2024).
Ujang menerangkan, syarat menjadi ketua umum sudah tertulis di Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Golkar. Dia mempertanyakan apakah kader Golkar rela AD/ART partai diubah demi mengakomodasi individu tertentu.
"Jadi, itu kan tidak memenuhi syarat juga dalam konteks bisa menjadi ketua umum, tetapi kalau AD/ART-nya diubah, tapi apakah mau kader-kader Golkar mengubah seenaknya AD/ART, itu hanya untuk mengakomodir individu atau orang-orang tertentu," ucap pengajar di Universitas Al Azhar Jakarta itu.
5. Jokowi akan dicap sebagai begal Partai Golkar
Ujang menyampaikan, bila terjadi perubahan AD/ART untuk mengakomodasi Jokowi jadi Ketua Umum Golkar, tentu akan mencoreng nama mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
"Karena bagaimana pun Partai Golkar adalah partai besar yang harus menjaga muruah dan rohnya, dalam konteks itu penuhi dulu persyaratan Jokowi untuk menjadi ketua umum," kata dia.
Bahkan, menurut Ujang, Jokowi bisa dicap sebagai 'begal' partai apabila memaksa jadi Ketua Umum Golkar.
"Kalau misalkan dipaksakan Jokowi jadi ketua umum, tentu ini merupakan cara-cara yang tidak sehat, yang terjadi di Partai Golkar dan itu bisa merusak Partai Golkar dan secara umum merusak demokrasi di Indonesia dan tentu tidak akan bagus juga bagi Pak Jokowi, karena Pak Jokowi dianggap tanda kutip membegal Partai Golkar kalau tidak memenuhi syarat (menjadi ketum)," ucap dia.
6. PDIP bicara soal karakter yang baik
Sekjen DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, menanggapi isu Jokowi akan merapat ke Golkar. Hasto menekankan politik itu bukan sekadar mengejar elektoral semata.
"Ya kalau kita lihat banyak dinamika, tapi apa yang terjadi di PDIP saya pikir juga akan membangun kesadaran elite, bahwa politik itu memerlukan suatu karakter yang baik. Politik itu bukan sekadar elektoral, politik itu membangun peradaban, politik itu kehidupan politik itu digerakkan oleh bagaimana kita merespons, kehendak rakyat pada masa depan itu yang akan mewarnai," ujar Hasto di Jakarta, Senin (18/3/2024).
Meski demikian, Hasto tak menyinggung secara tegas apakah PDI Perjuangan rela jika Jokowi gabung ke Golkar.
"Dalam wawancara kami, sudah kami sampaikan ada satu jurang yang membedakan. Karena ini berkaitan dengan karakter, kami partai yang memiliki tanggung jawab sejarah, yang memiliki suatu nilai-nilai perjuangan dari Bung Karno, dari Bu Mega ketika menentang rezim yang sangat otoriter Soeharto selama 32 tahun," kata dia.