Jakarta, IDN Times - Tangis warga menyelimuti RSUD Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat pada 12 Mei 2025 lalu. Mereka menanti kepastian identifikasi dari korban ledakan amunisi afkir milik TNI Angkatan Darat (AD).
Ledakan amunisi yang sudah kedaluwarsa itu menewaskan 13 orang. Sembilan orang di antaranya merupakan warga sipil. Sedangkan Kepala Gudang Pusat Amunisi III Pusat Pelatihan TNI AD Kolonel Cpl Antonius Hermawan ikut gugur bersama tiga anggota TNI AD lainnya.
Dalam proses aktivitas yang berbahaya itu, rupanya tidak hanya militer yang berada di lokasi pemusnahan amunisi di Desa Sagara, Kabupaten Garut. Warga sipil pun ikut terlibat dalam pemusnahan amunisi.
Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, Mayjen TNI Kristomei Sianturi, ketika itu menyampaikan warga sipil bisa ikut tewas karena diduga kuat mendekat ke titik lokasi pemusnahan untuk mengambil sisa lempengan amunisi yang masih memiliki nilai jual ekonomi. Tak lama setelah pernyataan itu, kecaman datang dari ruang media sosial terhadap korban.
Seorang anak perempuan yang mengenakan jilbab hitam memprotes pernyataan Kristomei. Ia membantah ayahnya meninggal karena ikut memulung sisa amunisi yang diledakan. Bantahan itu disampaikan perempuan tersebut di hadapan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.
"Saya meminta pertanggungjawabannya. Karena bapak saya di situ bukan seperti yang orang-orang pikirin. Bapak saya bukan mulung! Bapak saya di situ kerja sama tentara!" ujar anak korban sambil meneteskan air mata di hadapan Dedi di depan RSUD Pameungpeuk.
Anak korban mengetahui hal itu lantaran sudah sejak sekolah ia menyaksikan ayahnya membantu TNI. "Sudah lama bapak saya (kerja sama TNI). Sudah ke mana-mana, sudah ke Manado, Makassar, Bali, Jakarta, Mabes Polri," kata anak korban.