Mantan Ketua Tim Asistensi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Mei 1998, Prof Hermawan Sulistyodalam program Real Talk with Uni Lubis di kantor IDN Times, Jakarta (YouTube/IDN Times)
Angka 52 korban kekerasan seksual yang tertuang dalam laporan akhir TGPF Kerusuhan Mei 1998 disebut bukan angka yang diperoleh secara murni dari hasil investigasi, melainkan angka hasil kompromi. Fakta ini diungkap oleh Hermawan Sulistyo, salah satu anggota TGPF yang turut menyelidiki secara menyeluruh peristiwa 13–15 Mei 1998. Hermawan merupakan Ketua Tim Asistensi yang bertugas mengumpulkan data investigasi.
“Tadinya tidak ada. Kenapa ada angka seperti itu? Itu angka kompromi. Jadi yang menyerang, bilang angkanya lebih dari 100. Yang diserang bilang gak. Nol, gak ada! Berdebat-debat, terus angkanya bergeser dari 2, sudah bikin 2 sajalah! Oh, tidak boleh, 60! Saya menonton saja. Saya tidak ikut pertarungan. Tidak, tidak ditanya. Saya tidak mau bercakap. Kenapa? Kalau bercakap, nanti buyar perjuangan teman-teman itu. Jadi, ya, saya cuma menonton saja. Pertarungan itu sudah menjadi pertarungan politik,” ujar Hermawan dalam wawancara bersama Pemimpin Redaksi IDN Times, Uni Lubis dalam program Real Talk Uni Lubis pada Kamis (20/6/2025).
Ia menjelaskan, tim asistensi yang ia pimpin menggunakan pendekatan protokol Denver, yakni metode medis forensik yang melibatkan data dari rumah sakit dan tenaga medis. Namun, dari investigasi yang mereka lakukan, tidak ditemukan bukti langsung mengenai kekerasan seksual.
“Kemungkinan ada, tim lain. Kalau tim saya tidak menemukan,” kata dia.
Protokol Denver merupakan prosedur standar dari Denver, Colorado, AS, dalam menangani kasus kekerasan seksual. Protokol ini berbasis pada kerangka kerja SART (Sexual Assault Response Team) yang mengintegrasikan layanan medis, aparat penegak hukum, dan pendampingan terhadap korban.
Lebih lanjut, Hermawan mengatakan, perdebatan tentang angka korban menjadi bagian dari tarik-menarik politik di tubuh TGPF yang kala itu terdiri dari berbagai unsur. Ia menegaskan, ruang lingkup tugasnya tidak terbatas pada isu kekerasan seksual saja, melainkan menyeluruh terhadap seluruh kejadian dalam kerusuhan Mei 1998.
Hermawan juga membagikan pengalaman saat diminta oleh seorang tokoh hak asasi manusia asal New York untuk membuka data investigasinya. Saat ia menanyakan alasan permintaan itu, tokoh tersebut memberikan penjelasan yang pernyataannya ditirukan oleh Hermawan:
“Kiki, saya membiayai mereka untuk ke New York dan memberikan kesaksian di PBB. Tapi sampai di sini, gak ada yang mau ngomong atau bisa ngomong dan semua alasannya sama. Mereka trauma, mereka ketakutan, mereka ini,” kata Hermawan.
Walaupun memiliki hasil investigasi sendiri, Hermawan tetap menunjukkan penghormatan terhadap kerja para aktivis yang terus memperjuangkan pengakuan dan perlindungan terhadap para penyintas. Ia memandang upaya tersebut sebagai langkah penting untuk memutus rantai impunitas.
Diketahui, dalam dokumen resmi Komnas Perempuan berjudul 'Seri Dokumen Kunci Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Μei 1998,' dijelaskan Hermawan menjabat sebagai ketua Tim Asistensi dan memimpin 11 anggota, termasuk satu wakil. Disebutkan pula, dalam proses investigasi, terdapat tiga Subtim TGPF, salah satunya adalah subtim verifikasi yang bertugas memverifikasi dan mengolah data korban.
Tim ini menghimpun keterangan dari berbagai pihak, seperti saksi mata, ahli, korban, keluarga korban, serta pendampingnya. Secara keseluruhan, mereka memintai keterangan terhadap 24 orang di Jakarta dan lebih dari 100 orang lainnya di berbagai lokasi lapangan, baik oleh TGPF maupun tim asistensi.