KPA: Ada 2.498 Konflik Agraria Selama Pemerintahan Jokowi 

Pembebasan lahan paksa membuat perempuan dan anak trauma

Jakarta, IDN Times - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang 2021 terdapat 207 konflik agraria di 32 provinsi. Selama masa pemerintahan Presiden Joko "Jokowi" Widodo tercatat ada 2.498 konflik agraria dan lahan, serta yang terdampak menjadi 198.859 keluarga.

Laporan ini menunjukkan konflik menyasar lokasi padat penduduk dan kampung-kampung serta wilayah adat.

"Konflik agraria adalah permasalahan struktural, dari presiden, menteri, dan walikota serta pihak-pihak yang terlibat ini bertanggung jawab," ujar Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, dalam forum Solidaritas Nasional untuk Rempang, di Yayasan Lembaga Badan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Selasa, 12 September 2023.

"Apapun alasan yang dikeluarkan pemerintah, menggusur masyarakat Rempang secara paksa itu pelanggaran hukum," sambungnya.

Baca Juga: Ada Konflik Rempang, PBNU Minta Pemerintah Utamakan Musyawarah

1. Perempuan alami beban ganda dalam hadapi konflik perampasan tanah, berjuang dan mengurus keluarga

KPA: Ada 2.498 Konflik Agraria Selama Pemerintahan Jokowi Solidaritas Nasional untuk Rempang (IDN Times/Rachma Syifa Faiza Rachel)

Dewi menjelaskan, penyebab konflik agraria tertinggi menurut data KPA dalam 10 tahun terakhir, disebabkan sektor perkebunan. 

"Kalau kita buka data konflik agraria itu akan terlihat bentuk-bentuk perampasan tanah dalam skala besar, yang mengatasnamakan pertumbuhan ekonomi. Seolah-olah hukum melegitimasi pemerintah dalam merampas tanah rakyat," kata dia.

"Saya menyoroti perempuan, sering kali mereka mengalami beban ganda ketika ada konflik. Perempuan tak hanya turun langsung untuk berjuang, tetapi harus menjadi kuat untuk keluarga mereka," sambung Dewi.

2. Pembebasan lahan dengan intimidasi sebabkan perempuan dan anak-anak trauma

KPA: Ada 2.498 Konflik Agraria Selama Pemerintahan Jokowi Suasana di Rempang (IDN Times/Indah Permata Sari)

Serupa dengan pernyataan Dewi Kartika, seorang tokoh masyarakat dan warga Pulau Rempang, Suwardi, menegaskan rakyat Rempang menolak relokasi.

"Kenapa kami melawan, ya karena ketertindasan itu. Dari awal pemerintah sudah tahu penolakan ini, kami tidak mau relokasi, apalagi tanpa koordinasi," ujar dia.

"Saya waktu kejadian ada di sana, melihat langsung aparat bertindak represif. Mereka bahkan tidak segan-segan menyasar perempuan dan anak-anak, sehingga membuat mereka trauma," sambung Suwardi.

Dia menjelaskan, pada 7 September 2023, lokasi kericuhan di Rempang dekat dengan sekolahan, sehingga anak-anak dan perempuan banyak terdampak. Pelemparan batu, penembakan, serta gas air mata dapat dilihat dengan kepala dan mata mereka sendiri.

"Cucu saya bahkan trauma, tidak lagi mau sekolah. Banyak anak-anak Rempang dan perempuan yang takut, mereka takut ditembak, sehingga memilih tidak sekolah dan ke luar rumah," kata Suwardi.

Baca Juga: Aksi Kamisan ke-787, Massa Kecam Tindakan Represif Aparat di Rempang

3. Aparat represif, anak-anak di Wadas pilih tak masuk sekolah kerena takut

KPA: Ada 2.498 Konflik Agraria Selama Pemerintahan Jokowi Wadas Lestari Tanpa Quarry (IDN Times/Rachma Syifa Faiza Rachel)

Pengalaman serupa dialami Aura, seorang anak berusia 13 tahun yang berasal dari Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Aura bercerita, saat dia pulang dari sekolah di depan rumahnya bukan kedua orang tuanya yang menyambut, melainkan puluhan aparat kepolisian dan anjing-anjing pelacaknya.

"Aku takut lihat bendera-bendera disobekin semua, bendera-bendera Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa)," ujar Aura, Sabtu, 12 Februari 2022.

Karena rasa takut, Aura berlari ke rumah temannya sambil menangis. Sesampainya di sana, ia dipersilakan masuk dan pintu ditutup. Dia juga diberitahu ibu dan ayahnya dibawa ke Polres Purworejo.

"Aku sampai tidak masuk sekolah beberapa hari, karena takut ke luar rumah, melihat sikap represif aparat ke warga desa membuat aku dan teman-teman trauma," ucap Aura.

Kondisi saat itu, warga Wadas, terutama perempuan dan anak-anak, memilih berdiam diri di dalam rumah lantaran masih banyak aparat yang menduduki desa mereka. Tak hanya itu, anak-anak juga akan menangis apabila melihat orang-orang berpakaian serba hitam.

4. KemenPPPA prihatin konflik agraria menyasar anak-anak, dampak psikologis nyata adanya

KPA: Ada 2.498 Konflik Agraria Selama Pemerintahan Jokowi ilustrasi trauma (pexels.com/ Polina Zimmerman)

Sementara, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan, terjadinya bentrokan aparat gabungan dengan warga di Pulau Rempang, pada Kamis, 7 Septemer 2023 menyebabkan 11 anak mengalami perih mata dan pusing, sehingga dilarikan ke RSUD di Kota Batam.

"Sangat disayangkan, bentrokan tersebut masuk ke lingkungan sekolah, di mana anak sedang belajar dan menciptakan situasi mencekam ,sehingga anak-anak harus dievakuasi," ujar Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar, dilansir dari KemenPPPA, Selasa, 12 September 2023.

"Jika melihat yang terjadi kemarin, tidak menutup kemungkinan anak-anak dapat mengalami trauma dan kecemasan. Oleh karena itu perlu ada pendampingan psikologis," sambungnya.

Menurut Nahar, perubahan sikap perempuan dan anak-anak pasca-konflik agraria nyata adanya, mereka akan lebih memilih berdiam diri di rumah karena merasa tidak ada tempat aman di luar. Selain itu, mereka mudah curiga terhadap orang asing, ini merupakan dampak psikologis
 

Baca Juga: Jokowi Bentuk Tim untuk Atasi Konflik Agraria, Airlangga Ketuanya

5. Jokowi bentuk tim untuk atasi konflik agraria yang dipimpin Airlangga

KPA: Ada 2.498 Konflik Agraria Selama Pemerintahan Jokowi (IDN Times/Ardiansyah Fajar)

Presiden Joko "Jokowi" Widodo telah membentuk tim koordinasi penyelesaian ketidaksesuaian tata ruang, kawasan hutan, izin konsesi, hak atas tanah dan atau hak pengelolaan. Hal itu tertuang dalam Perpres Nomor 127 Tahun 2022 yang diteken pada 31 Oktober 2022. 

Dalam Perpres tersebut, tim koordinasi itu dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Sementara, Wakil Ketua I dijabat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi dan Wakil Ketua II diisi oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan. 

Perpres itu juga menjabarkan tugas dari tim tersebut. Pertama, menetapkan kebijakan dan langkah-langkah strategis dalam rangka penyelesaian ketidaksesuaian. Kedua, memberikan arahan strategis terhadap rencana aksi penyelesaian ketidaksesuaian yang disusun kementerian atau lembaga dan pemerintah daerah. Ketiga, memberikan arahan dan langkah-langkah strategis terhadap hasil pemantauan dan evaluasi pelaksanaan penyelesaian ketidaksesuaian. 

Tim ini dibentuk karena banyaknya permasalahan tumpang tindih pemanfaatan ruang dan konflik agraria. Dikutip dari kantor berita ANTARA, konflik agraria itu dianggap dapat menghambat pembangunan infrastruktur dan pemerataan ekonomi di Indonesia.

Dalam Perpres itu, tim diminta melakukan tahapan-tahapan pelaksanaan penyelesaian ketidaksesuaian. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 3. Dimulai dari pengumpulan data pembentuk PITTI (Peta Indikatif Tumpang Tindih antar Informasi Geospatial Tematik) hingga pelaporan penyelesaian ketidaksesuaian. 

Sementara, Airlangga mengatakan penyelesaian tumpang tindih pemanfaatan ruang dapat menggunakan Kebijakan Satu Peta (KSP). "Kebijakan Satu Peta adalah program yang bertujuan menciptakan satu standar referensi sebagai basis tata geo-portal untuk mendukung percepatan pelaksanaan pembangunan nasional," ungkap Airlangga pada 4 Oktober 2022. 

Ia juga pernah menyebut KSP dapat dimanfaatkan sebagai acuan perencanaan dan pemanfaatan ruang yang terintegrasi dalam tata ruang di darat, laut, dalam bumi dan udara. Airlangga menargetkan KSP akan rampung pada 2023. 

Kebijakan tersebut, kata Airlangga, dimanfaatkan untuk mendukung kebijakan turunan dari UU Cipta Kerja, yaitu aplikasi online single submission (OSS). Selain itu, terdapat konsolidasi data untuk penyesuaian tumpang tindih pemanfaatan termasuk untuk beberapa sektor, seperti sektor kelapa sawit.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya