Kisah Para Pejuang Demokrasi di Pelosok Tanah Air

Panitia pemilu di pelosok masih dipandang sebelah mata

Jakarta, IDN Times - Hasil pemungutan suara Pilkada Serentak 2020 di desa terjauh Pegunungan Meratus, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, akhirnya sampai kepada Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kecamatan Batang Alai Timur.

"Alhamdulillah rombongan pembawa kotak suara berisi surat suara hasil pilkada di Desa Juhu dan Desa Aing Bantai telah tiba dengan selamat," kata Kabid Humas Polda Kalsel Kombes Pol Mochamad Rifa'i di Banjarmasin, dilansir kantor berita ANTARA, Sabtu,12 Desember 2020.

Tak mudah mengantar sekaligus mengamankan surat suara dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) di desa-desa terpencil ke panitia pemilu tingkat kecamatan. Perjuangan para pejuang demokrasi ini tak hanya usai pemungutan suara, tapi sejak awal tahapan pilkada, ketika proses verifikasi faktual calon pendukung pasangan calon.

Mereka harus berjuang melintasi medan yang berat, dan juga cuaca yang tidak menentu. Belum lagi masalah komunikasi, mereka juga harus mengalami kendala ini karena sulitnya sinyal. Di sisi lain, honor mereka masih jauh dari cukup. Dan masalah ini terus-menerus terjadi setiap pemilu tiba.

Baca Juga: KPU: 79.241 Petugas KPPS Reaktif COVID-19, Baru 10.087 yang Diisolasi

1. Pengambilan surat suara memakan waktu tiga hari dengan berjalan kaki

Kisah Para Pejuang Demokrasi di Pelosok Tanah AirApara NI-Polri mengawal sura suara di Pegunungan Meratus, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. (ANTARA/Firman/aa.)

Petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) dibantu masyarakat dan dikawal prajurit TNI-Polri, harus menempuh perjalanan tiga hari dengan berjalan kaki dari lokasi TPS hingga kembali ke kecamatan.

Medan yang berat di Pegunungan Meratus dilintasi rombongan dengan melewati perbukitan. Mereka harus berjalan menanjak dan turunan, hingga aliran sungai di tengah belantara, menuntut kekuatan fisik dan stamina.

"Pada malam hari, rombongan bermalam di hutan sembari beristirahat. Hujan yang mengguyur menjadi tantangan tersendiri, sehingga perjalanan semakin berat. Namun alhamdulillah semua bisa dilalui baik saat berangkat sebelum pilkada maupun kembali dengan selamat," tutur Rifa'i.

2. Butuh personel Polri-TNI berpengalaman yang memahami medan

Kisah Para Pejuang Demokrasi di Pelosok Tanah AirApara NI-Polri mengawal sura suara di Pegunungan Meratus, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. (ANTARA/Firman/aa.)

Penugasan pengamanan surat suara ini membutuhkan personel Polri-TNI berpengalaman dan memahami medan. Mereka adalah Aiptu M Padlullah, Aipda Sugianoor, Bripka M Akhyadi dan Briptu M Hermansyah.

Dalam melaksanakan pengamanan distribusi logistik pilkada di desa terpencil ini, setiap regu dibekali multivitamin dan telepon satelit, untuk melaporkan setiap satu jam sekali perkembangan situasi dan kesehatan anggota pengamanan TPS.

Atas tugas pengabdian yang telah dilaksanakan dalam menyukseskan pilkada, Kapolda Kalsel Irjen Pol Rikwanto pun mengapresiasi kepada seluruh anggotanya.

3. Warga di perbatasan Indonesia-Malaysia antusias salurkan hak pilih di Pilkada Bengkayang

Kisah Para Pejuang Demokrasi di Pelosok Tanah AirPemungutan suara Pilkada 2020 di TPS 009 Kelurahan Bumi Emas, Kabupaten Bengkayang, Rabu (9/12/2020). (ANTARA/Istimewa)

Sementara, warga di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, tetap antusias menggunakan hak pilihnya untuk pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bengkayang 2020 yang digelar di tengah pandemik COVID-19

“Kami tidak takut datang ke TPS dan tetap antusias memilih pemimpin untuk Bengkayang lebih baik. Penerapan protokol kesehatan (prokes) di tempat saya memilih sangat disiplin,” ujar Andi, warga setempat, dilansir ANTARA, Rabu, 9 Desember 2020.

Andi mengapresiasi penyelenggara pilkada yang mendorong dan mewajibkan pemakaian masker, cuci tangan, cek suhu tubuh. Menurut dia protokol kesehatan (prokes) selain menjaga kesehatan juga memberi rasa aman kepada pemilih.

“Logistik datang dari luar dan ditakutkan tersentuh orang yang kena virus, kan khawatir juga. Jadi, dengan kita diminta cuci tangan, pakai masker, dan sebagainya kita merasa aman,” ujar dia.

Hal senada juga diungkapkan Febrianti, yang turut merasa aman dengan pelaksanaan pilkada yang dibarengi pelaksanaan prokes yang ketat. Dia mengaku tidak keberatan dengan kewajiban prokes, selama hal tersebut berdampak baik bagi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya.

“Untuk kerepotan, tidak. Malah ini bagus demi kebaikan dan keamanan kita sebagai pemilih,” ujar dia.

Sebelum menggunakan hak pilihnya, warga diarahkan mencuci tangan terlebih dahulu oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), memakai sarung tangan, menggunakan masker dan cek suhu tubuh.

Ketua KPPS TPS 16, Kelurahan Sebalo Angelina Wiwin menyebutkan antusias pemilih cukup tinggi menyambut pilkada 2020. Sejauh ini menurutnya pemilihan berjalan dengan lancar dan dan kondusif.

"Kami harap semua berjalan dengan baik, lancar dan aman hingga proses perhitungan suara serta tahap lainnya. Tugas bersama kita menyukseskan pilkada dan penanganan COVID-19 ini,” kata Angelina.

4. Perjuangan petugas pemilu sudah dimulai sejak tahapan verifikasi faktual

Kisah Para Pejuang Demokrasi di Pelosok Tanah AirTiga anggota PPS sedang mengikuti pelantikan secara virual di bawah bukit oleh KPU Tana Taroja, Sulsel, Senin (15/6/2020). (ANTARA/HO-KPU Tator/am)

Alfred, seorang Panitia Pemungutan Suara (PPS) di Desa Banggaiba, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, saban hari harus menyeberangi dua sungai untuk memverifikasi pendukung bakal calon kepala daerah perseorangan di kabupaten itu.

Satu sungai sudah bisa diseberangi dengan mulus karena sudah ada jembatan, tapi satu sungai lagi harus diseberangi dengan melawan arus air. Jika hujan deras, air sungai ini meluap hingga sama sekali tak bisa dilintasi.

Alfred sudah beberapa kali terjebak banjir hingga harus menunggu air surut baru bisa kembali ke rumahnya, berkumpul bersama istri dan dua anaknya.

Dua sungai itu berada di antara Dusun I dan Dusun II di Banggaiba. Jarak antardusun ini sekitar dua kilometer. Alfred bersama istri dan dua anaknya bermukim di Dusun II.

"Sementara calon pendukung yang mau diverifikasi faktual, itu hanya ada di Dusun I," kata ujar pria 48 tahun itu.

Desa Banggaiba, desa paling jauh di kecamatan itu, didiami sekitar 400 wajib pilih pada Pemilu 2019. Untuk kepentingan verifikasi faktual dukungan bakal calon perseorangan pilkada 2020, PPS hanya memverifikasi 31 orang.

Sejak verifikasi dilakukan 24 Juni 2020, Alfred baru bisa memverifikasi 25 calon pendukung untuk satu bakal calon bupati perseorangan. Enam sisanya sebagian alamatnya sudah ditemukan, namun belum bisa bertemu orangnya karena tidak ada di tempat.

"Kemarin saya pergi verifikasi satu orang, tapi sepeda motor tidak bisa sampai di rumah warga itu. Akhirnya saya jalan kaki sekitar 500 meter. Jalannya setapak," tutur Alfred.

Untuk menembus desa ini butuh perjuangan keras, karena tidak bisa dilalui dengan kendaraan roda empat, kecuali sepeda motor yang sudah dimodifikasi menyerupai motor trail.

Jarak menuju desa dan antar rumah yang jauh, menjadi tantangan sendiri bagi pemilih menuju TPS pada hari pemungutan suara. Kondisi itu sudah berlangsung dari pemilu ke pemilu.

Untuk menuju TPS, pemilih butuh waktu satu hingga dua jam dengan berjalan kaki. Solusinya, TPS harus ditambah sehingga mendekatkan pemilih untuk menyalurkan hak politiknya.

Usulan perubahan TPS tersebut, tidak bisa langsung diputuskan saat itu juga. Alfred harus bersurat dulu ke PPK. Urusan mengantar surat ke ibu kota kecamatan, ia juga harus menghadapi lagi tantangan alam.

Selama melaksanakan tugasnya sebagai PPS, Alfred belum tahu berapa honor yang ia terima. Ia mengaku baru terima honor operasional untuk kepentingan verifikasi. Dia enggan menyebut jumlah honor yang ia terima.

"Saya tidak tahu berapa honornya, saya hanya kerja saja apa yang bisa saya kerja," kata dia.

Selain Banggaiba, empat desa tetangganya juga mengalami nasib yang sama yakni Winatu, Rantewulu, Towulu, dan Desa Siwongi. Dari lima desa itu, hanya Banggaiba yang bisa untuk berkomunikasi melalui jaringan telepon genggam.

Di Kabupaten Sigi, tidak hanya di Kulawi yang terdapat desa terpencil, tetapi juga di Kecamatan Pipokoro dan Lindu. Di sini sebagian desanya hanya bisa dilalui sepeda motor dengan kondisi medan yang terjal, sempit, dan bebatuan.

Besarnya tantangan yang dihadapi petugas PPS justru menjadi kebanggaan bagi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), karena tidak semua orang bisa menaklukkan medan yang sulit untuk kepentingan pembangunan demokrasi di tanah air.

"Berjuang untuk sukseskan pilkada itu yang bikin bangga. Kita diajak bekerja sama untuk menghadapi tantangan yang ada. Ini yang bikin kami bangga," kata Fadly, anggota PPK Kecamatan Kulawi.

Bagi Fadly dan sahabatnya, komisioner PPK dan PPS bertugas sebagai panitia penyelanggara pemilu tidak semua orang bisa melakukan itu dengan sungguh-sungguh, apalagi bekerja di desa dengan medan yang berat.

Soal honor, Fadly juga enggan membicarakan. Tapi menurut dia, PPS yang setiap desa tiga orang mendapat honor setiap bulan sampai nanti berakhirnya pilkada serentak.

Sampai hari ke-11 verifikasi faktual, PPS di wilayah itu telah memverifikasi 77 persen dari 1.467 calon pendukung yang harus diverifikasi.

Rezim pilkada butuh komunikasi yang lancar dan cepat, tidak saja untuk kepentingan verifikasi, tetapi juga pelaporan hasil pemungutan suara. Desa-desa yang tidak memiliki jaringan telepon juga ikut menghambat kelancaran kegiatan.

Menurut Fadly, untuk mendapatkan laporan harian dari PPS yang tidak bisa terhubung dengan jaringan telepon, kerjanya cukup berat. Mereka harus menyeberang ke desa tetangga lagi dengan melintasi medan jalan yang rusak, sempit, dan terjal.

"Mereka harus ke desa yang ada jaringan teleponnya baru bisa menyampaikan laporan ke PPK, selanjutnya baru kami laporkan ke KPU," kata Fadly.

Komisioner KPU Sigi, Anhar Lasingki mengakui sejumlah kendala yang dihadapi tim verifikasi faktual dukungan calon perseorangan untuk menembus desa-desa terpencil. Selain kondisi medan yang berat, faktor cuaca juga ikut menentukan.

"Kalau COVID-19 tidak ada kendala, semua bisa kita lakukan sesuai standar kesehatan COVID-19, tapi justru curah hujan tinggi menjadi kendala utama kami," kata Anhar.

Setelah lolos dari medan jalan yang sulit dan menerobos cuaca buruk, kendala petugas PPS berikutnya tidak ditemukannya calon pendukung yang akan diverifikasi. Ada yang pergi ke kebun, pindah alamat, bahkan ada yang sudah meninggalkan desanya.

Di wilayah-wilayah berbasis pertanian, para petugas PPS melakukan verifikasi pada sore hari, bahkan pada malam hari. Karena pada siang harinya, warga banyak berada di ladang atau sawah.

Di Sigi terdapat satu pasang bakal calon dari perseorangan. Selain di Sigi juga terdapat satu bakal pasangan calon di Poso, Tojo Unauna, dan di Kabupaten Banggai dua pasang bakal calon.

Kabupaten Sigi yang sebagian besar wilayahnya berada di pegunungan seperti di Kulawi, Kulawi Selatan, dan Lindu semakin menambah berat proses verifikasi.

"Sudah cuaca buruk, kadang orang yang diverifikasi tidak ada di rumah. Terpaksa kita harus menunggu lagi sore atau bahkan ada yang ditemui malam hari," kata Anhar.

5. Para pejuang demokrasi sudah sepantasnya mendapat penghargaan dari negara

Kisah Para Pejuang Demokrasi di Pelosok Tanah AirIlustrasi Pilkada (ANTARA FOTO/Irfan Anshori/rwa.)

Pakar politik dari Universitas Tadulako Palu Dr Darwis MSi mengatakan para petugas PPS merupakan ujung tombak sekaligus tulang punggung sukses tidaknya pelaksanaan pemilihan umum, karena merekalah yang bersentuhan langsung dengan pemilih.

Mereka pantas mendapat apresiasi dari negara dalam penyelenggaraan proses demokrasi di Tanah Air. Mereka tidak saja bergelut dengan data-data pemilih dan hasil suara, tetapi juga memikul risiko sosial karena bisa jadi sasaran amukan orang yang merasa dirugikan.

"Padahal mungkin karena dia lelah, sedikit terjadi kesalahan, maka mereka bisa jadi sasaran amukan orang, padahal mereka sudah bekerja siang malam dengan meninggalkan keluarga," kata Darwis, dilansir ANTARA.

Kasus Pemilu 2019, misalnya, yang menyebabkan banyak petugas pemilu meninggal dunia, mestinya jadi pelajaran berharga yang sampai kini belum diketahui pasti penyebabnya.

Para petugas di lapangan ini seharusnya mendapat fasilitas yang layak, jaminan kesehatan, asuransi dan gaji yang layak. Mestinya mereka mendapat hak istimewa. Ini yang mestinya menjadi perhatian serius dari penyelenggara dan pemerintah.

"Adakah anggota KPU yang meninggal pada Pemilu 2019 kemarin, kan tidak ada, justru yang meninggal itu mereka yang di TPS," kata Darwis.

Darwis berharap tetesan keringat para pekerja pemilu di tingkat desa sebagai tulang punggung pelaksanaan pemilu, sudah saatnya mendapat imbalan yang pantas, karena setiap proses demokrasi pilkada maupun pemilu sama saja tanggung jawabnya.

Baca Juga: Gibran-Bobby Unggul di Pilkada: Lahir Politik Dinasti Baru Klan Jokowi

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya