Mungkinkah Pilkada Serentak 2020 Ditunda Lagi Akibat Pandemik?

Penundaan Pilkada 2020 masih menjadi perdebatan

Jakarta, IDN Times - Desakan penundaan penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 terus menguat, mulai dari pakar epidemiologi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), pimpinan MPR RI, pimpinan DPD RI, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, hingga mantan Wakil Presiden Yusuf Kalla.

Jika usulan ini terwujud, maka ini penundaan Pilkada 2020 yang kedua kalinya. Sebab, semula pilkada akan digelar pada 23 September 2020, namun diundur hingga 9 Desember 2020. Alasan penundaan yang pertama jelas, karena sekarang masih dalam masa pandemik COVID-19 atau virus corona.

Lantas apa alasan penundaan Pilkada 2020 yang sekarang ini? Antara lain karena pandemik belum mereda. Apalagi vaksin virus corona juga belum ditemukan. Bahkan, jumlah penularan COVID-19 belakangan ini terus meningkat. Dalam sehari saja rata-rata penambahan kasus nasional bisa tembus 4 ribu kasus baru.

Selain itu, tidak ada jaminan tidak ada klaster baru pilkada. Aturan sanksi kepada pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan pencegahan COVID-19 juga belum jelas. Hanya sebatas teguran dan sanksi administratif, serta ancaman penundaan pelantikan.

Aturan kampanye juga sampai sekarang masih rawan terjadi kerumunan massa. Misalnya saja menggelar konser musik, bazar, sepeda santai, hingga acara perayaan ulang tahun partai dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) masih diperbolehkan. 

Di lain pihak, seperti pemerintah dan beberapa partai politik ingin Pilkada 2020 dilanjutkan. Alasan mereka karena pandemik belum tahu kapan akan berakhir. Selain itu, anggaran pilkada jelas akan membengkak dengan adanya penundaan.

Pilkada 2020 sendiri akan diikuti 270 daerah yang terdiri dari pemilihan untuk tingkat provinsi sebanyak sembilan wilayah, 224 pemilihan tingkat kabupaten, dan 37 kota. Tahapan awal pilkada telah dilaksanakan dan saat ini akan memasuki tahap penetapan pasangan calon pada 23 September 2020.

1. Satgas Penanganan COVID-19 mengingatkan bahaya klaster Pilkada dan kerumunan saat kampanye

Mungkinkah Pilkada Serentak 2020 Ditunda Lagi Akibat Pandemik?Ketua Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo. (IDN Times/Debbie Sutrisno)

Ketua Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Doni Monardo mengingatkan risiko penularan dalam Pilkada Serentak 2020, jika tidak mematuhi protokol kesehatan pencegahan virus corona.

"Karena bagaimana pun juga masalah kesehatan ini masalah prioritas. Oleh karena itu, kegiatan pilkada itu penting, tetapi juga diingat bahwa ada risiko yang tentunya kita dapatkan manakala kita tidak patuh," kata Doni dalam jumpa pers virtual penanganan COVID-19 di delapan provinsi, Jumat, 18 September 2020.

Doni mengharapkan kerja sama dengan semua pihak, baik di pemerintah pusat maupun daerah, agar semua lapisan masyarakat tetap mengikuti dan menaati ketentuan yang ada. Seperti tidak berkerumun selama tahapan pilkada, guna menekan potensi penularan COVID-19.

Meski dalam pantauan pada masa pendaftaran calon kepala daerah awal 4-6 September lalu ada banyak kerumunan, menurut Doni, sejauh ini hal tersebut masih dalam batas pengendalian. Padahal, kenyataannya ada lebih dari 60 calon kepala daerah terpapar virus corona.

"Sejauh ini masih dalam batas-batas pengendalian walau pun pada 4 dan 6 (September) kita lihat banyak sekali kerumunan yang dilakukan oleh calon peserta pilkada," kata dia.

Doni mengatakan Satgas COVID-19 telah mendapatkan laporan terkait sejumlah penyelenggara pilkada yang positif COVID-19. Mereka tengah melakukan isolasi mandiri karena tanpa gejala. Namun jika seandainya ada perkembangan gejala, mereka akan dirujuk ke rumah sakit yang telah ditunjuk Kementerian Kesehatan.

Doni juga mengingatkan Satgas Penanganan COVID-19 menegaskan larangan seluruh kegiatan kampanye untuk Pilkada 2020 yang menyebabkan kerumunan.

Senada dengan Doni, Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito menyoroti polemik pagelaran konser musik, bazar, dan jalan santai sebagai medium berkampanye para calon kepala daerah pada Pilkada 2020. Dia mengingatkan agar jangan sampai ada kerumunan di setiap tahapan pilkada.

“Jangan ciptakan kerumunan karena kerumunan tersebut berisiko meningkatkan penularan (COVID-19). Dan semua kegiatan kampanye yang menimbulkan kerumunan dan potensi penularan, itu dilarang,” kata Wiku dalam konferensi pers daring dari Kantor Presiden Jakarta, Kamis, 17 September 2020.

Wiku menjelaskan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2020, yang merupakan perubahan dari Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2020, telah mengatur larangan kampanye yang menimbulkan kerumunan massa.

Para calon kepala daerah diimbau menggunakan cara-cara kampanye yang sesuai dengan protokol kesehatan pencegahan COVID-19. “Silakan berkampanye dengan cara lain supaya betul-betul bisa melindungi keselamatan masyarakat,” ujar Wiku.

Di tengah pandemik COVID-19, kata Wiku, tahapan Pilkada 2020 dapat tetap dilakukan, namun dengan tetap mengedepankan keselamatan masyarakat. “Prinsip solus populi suprema lex, artinya keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi. Itu yang harus kita jaga betul,” ujar pakar epidemiologi itu.

Baca Juga: [LINIMASA-4] Perkembangan Terkini Pandemik COVID-19 di Indonesia

Mungkinkah Pilkada Serentak 2020 Ditunda Lagi Akibat Pandemik?(IDN Times/Sukma Shakti)

2. Aturan konser hingga sepeda santai masih bisa direvisi

Mungkinkah Pilkada Serentak 2020 Ditunda Lagi Akibat Pandemik?Gedung KPU RI (IDN Times/Denisa Tristianty)

Komisioner KPU I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi sebelumnya menyatakan dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2020, terdapat ketentuan yang mengatur dapat diselenggarakannya kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye.

Kegiatan lain itu dapat dilaksanakan dalam bentuk rapat umum, kegiatan kebudayaan berupa pentas seni, panen raya, dan atau konser musik, kegiatan olahraga berupa gerak jalan santai, dan atau sepeda santai, serta perlombaan.

Kemudian, kegiatan sosial berupa bazar dan atau donor darah, peringatan hari ulang tahun partai politik, serta melalui media sosial.

Namun, menurut Dewa, kegiatan lain tersebut harus dilakukan dengan membatasi jumlah peserta maksimal 100 orang, menerapkan protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian COVID-19.

Untuk menyelenggarakan kegiatan itu, kata dia, calon kepala daerah juga harus berkoordinasi dengan perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan dan atau Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 setempat.

"Ada ketentuan dalam undang-undang dan dalam peraturan memang diatur demikian. Bagi KPU tentu tidak mudah juga menghapus bentuk-bentuk kampanye itu, karena undang-undangnya masih sama, dasar penyelenggaraan pilkada ini kan masih Undang-Undang 10 Tahun 2016," kata Dewa, seperti dilansir ANTARA, Jumat.

Sementara, Komisioner KPU Viryan Aziz mengatakan aturan Pilkada 2020 yang ada saat ini, termasuk yang menyebutkan konser musik saat pilkada diizinkan, masih belum final dan akan direvisi KPU.

"Poinnya adalah peraturan ini belum final dan kita masih melakukan harmonisasi peraturan tersebut," ujar Viryan dalam diskusi akhir pekan Radio Smart FM, Sabtu, 19 September 2020.

Aturan tersebut, kata Viryan, sebenarnya berasal dari aturan pilkada sebelumnya. Dia menyebutkan, rancangan PKPU yang belakangan ramai diperbincangkan masyarakat saat ini, berasal dari penyelenggaraan pilkada sebelumnya yang belum direvisi KPU.

"Belum (ada keputusan). Itu belum final. Masih bahas untuk kita sempurnakan," kata Viryan. Dia menyebutkan adanya masukan dari masyarakat kini menjadi pertimbangan bagi KPU. "Menjadi pertimbangan kita untuk memperhatikan atau menimbang kembali hal tersebut," sebut dia.

"Kerangkanya adalah, dalam masa kampanye semua hal yang bersifat tidak protokol COVID-19 dilakukan secara daring. Termasuk di antaranya konser musik," kata Viryan, lagi.

Dia mencontohkan, konser musik virtual yang pernah dilakukan almarhum musisi legendaris Indonesia, Didi Kempot, sebagai referensi untuk melakukan konser musik virtual.

Viryan menegaskan dalam PKPU No 6 Tahun 2020 telah jelas tertulis bahwa semua hal yang terkait dengan kegiatan yang berpotensi melanggar protokol COVID-19, seperti kerumunan, tidak dimungkinkan dan dilakukan secara daring.

"Peraturan kampanye akan mempertimbangkan masukan dan tanggapan dari masyarakat," kata Viryan. Kerumunan yang mungkin muncul, menurut dia, bukan hanya konser musik. Ada juga jalan sehat, bahkan rapat umum.

Hal senada juga ditegaskan Anggota KPU Ilham Saputra, yang mengatakan aturan soal diperbolehkannya konser saat kampanye Pilkada 2020 masih mungkin direvisi kembali.

Menurut Ilham, KPU hingga hari ini masih terus mendengarkan masukan dari masyarakat terkait bagaimana menyelenggarakan pilkada yang aman dan terbebas dari penyebaran COVID-19. Sebagai alternatif, kampanye tatap muka dan konser bisa dilakukan dengan menggunakan media sosial sebagai bentuk antisipasi penularan COVID-19.

“Jika itu jadi masukan masyarakat, mumpung kita mau melakukan revisi PKPU kampanye yang sudah kita sampaikan harmonisasi kepada Kemenkumham (Kementerian Hukum dan HAM), bisa aja kita masukan (konser daring) melihat situasi dan kondisi saat ini,” kata Ilham dalam sebuah diskusi daring Dialektika: Pilkada Tanpa Pengumpulan Massa, Mungkinkah? yang diselenggarakan oleh Media Indonesia, Jumat, 18 September 2020.

Kendati, Ilham mengingatkan bahwa KPU dalam membuat aturan juga merujuk pada kesetaraan. Pihaknya juga memikirkan kondisi geografis di 270 daerah penyelenggara Pilkada 2020 yang berbeda-beda.

Oleh sebab itu, jika konser dan pertemuan tatap muka diselenggarakan secara daring, apakah dapat dilakukan oleh seluruh daerah penyelenggara pilkada atau tidak. KPU, kata dia, masih terus mencari jalan tengah dari aturan tersebut.

“Di ujung Papua sana gimana caranya daring itu. Di Yahukimo, di Boven Digoel, kemudian di ujung NTT kalau nyari sinyal harus naik gunung dulu. Nah itu kan harus kita akomodir. Sekali lagi KPU membuat peraturan ini tentu dengan mempertimbangkan beberapa hal,” ujar dia, mencontohkan.

Ilham berharap, Presiden Joko “Jokowi” Widodo segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait penyelenggaraan pilkada di tengah pandemik, sebagai acuan KPU untuk menjalankan tugas mereka dalam setiap tahapan pesta demokrasi.

“Konon katanya akan ada Perppu terkait penyelenggaraan pilkada di masa pandemik. Itu akan lebih baik karena acuan kami ke Perppu yang perspektifnya adalah penyelenggara pilkada yang sehat di masa pandemik ini,” tuturnya.

Sementara, jika dilihat dalam aturan Pasal 63 ayat 1 PKPU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Perubahan atas PKPU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Nonalam COVID-19, terlihat jelas konser musik hingga acara ulang tahun partai masih diperbolehkan. 

“Kegiatan kebudayaan berupa pentas seni, panen raya, dan atau konser musik,” demikian aturan yang tertuang dalam Pasal 63 ayat 1 huruf b dikutip dari laman kpu.go.id, Kamis, 17 September 2020.

Masih pada pasal yang sama, kegiatan olahraga berupa gerak jalan santai dan sepeda santai juga diizinkan seperti tertuang dalam huruf c. "Kegiatan sosial berupa bazar dan/atau donor darah (diperbolehkan),” demikian bunyi Pasal 63 ayat 1 huruf e.

Dalam Pasal 63 ayat 1 huruf a sampai g yang tertuang dalam PKPU Nomor 10 Tahun 2020 juga disebutkan, kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf g dapat dilaksanakan dalam bentuk:

a. Rapat umum; 
b. Kegiatan kebudayaan berupa pentas seni, panen raya, dan atau konser musik;
c. Kegiatan olahraga berupa gerak jalan santai, dan/atau sepeda santai;
d. Perlombaan;
e. Kegiatan sosial berupa bazar dan atau donor darah;
f. Peringatan hari ulang tahun partai Politik; dan atau
g. Melalui media sosial.

Mungkinkah Pilkada Serentak 2020 Ditunda Lagi Akibat Pandemik?(IDN Times/Sukma Shakti)

3. Pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu sepakat Pilkada digelar 9 Desember 2020

Mungkinkah Pilkada Serentak 2020 Ditunda Lagi Akibat Pandemik?Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. (Dok. Kemenko Marves)

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan, tidak ada alasan yang cukup meyakinkan untuk melakukan penundaan Pilkada Serentak 2020, meskipun diselenggarakan di tengah pandemik COVID-19.

Dia mengatakan banyak pihak yang mengusulkan agar Pilkada Serentak 2020 ditunda terlebih dahulu. Namun, pemerintah sudah tegas menyatakan bahwa gelaran pesta demokrasi itu wajib dilakukan tahun ini, yaitu pada 9 Desember 2020.

“Pemerintah sudah menyatakan tidak akan ditunda, karena apa? karena sampai hari ini paling tidak, tidak ada alasan yang cukup meyakinkan (menunda Pilkada),” kata Mahfud, dalam diskusi daring bertema Memastikan Pilkada Sehat: Menjauhkan COVID-19 dan Korupsi yang diselenggarakan Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Jumat, 11 September 2020.

Dia menjelaskan, jika alasannya adalah karena pandemik COVID-19, maka tidak ada yang mengetahui sampai kapan wabah ini akan berakhir. Sehingga nantinya akan menjadi permasalahan bagi pemerintahan di sejumlah daerah.

“Karena kalau alasannya pandemik terus apa tidak ada pemerintahan, kalau ada pandemik. Semua mau bersembunyi itu kan tidak bisa juga, pemerintahan kan harus jalan,” ujar Mahfud.

Karena itu, ia mengimbau kepada seluruh calon kepala daerah dan penyelenggara pilkada untuk melaksanakan gelaran tersebut dengan mematuhi protokol kesehatan secara ketat. “Jadi pilkadanya di daerah pandemik itu, satu, menjaga protokol kesehatan seketat-ketatnya. Kedua, demokrasinya berkualitas. Ketiga, tidak boleh ada korupsi,” tuturnya.

Sementara, Menko Kemaritiman dan Investasi yang merangkap Wakil Ketua Komite Kebijakan Pengendalian COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pemerintah tidak ingin ada klaster baru penyebaran COVID-19 dalam kegiatan pilkada.

"Memang pada 23 September ini kan critical time karena pengumuman calon pasangan, jadi kita tidak mau itu jadi klaster baru. Nah, kita betul-betul melihat, apakah nanti kampanye itu hanya di ruangan saja dengan jumlah terbatas dan seterusnya. Saya pikir itu akan segera kami umumkan sebelum tanggal 23," kata Luhut, baru-baru ini.

Setali tiga uang dengan keinginan pemerintah, Ketua DPR RI Puan Maharani menegaskan, penyelenggaraan Pilkada 2020 tidak akan diundur dengan alasan pandemik COVID-19. Guna menghindari penyebaran virus corona saat pilkada, politisi PDI Perjuangan itu meminta agar penyelenggara pemilu memperketat penerapan protokol kesehatan selama tahapan pilkada.

“Saya meminta KPU, Bawaslu untuk segera menyosialisasikan aturan tersebut secara detail dan tentu saja bisa dipahami tidak hanya petugasnya, tapi juga masyarakat,” kata Puan di Kompleks Parlemen DPR RI, Jumat, 18 September 2020.

Puan menjelaskan, proses Pilkada 2020 sebenarnya telah diundur dari jadwal semestinya yakni 23 September, atas permintaan pemerintah menjadi 9 Desember 2020.

“Yang menjadi kekhawatiran yang menyampaikan ada penundaan, tentu juga saya memahami bahwa jangan sampai ada klaster pilkada di masa pandemik COVID-19,” ujar Puan.

Oleh karena itu, Puan mengimbau masyarakat mematuhi protokol kesehatan COVID-19. Dan ini harus menjadi perhatian untuk semua pihak, yaitu penyelenggara pemilu, kontestan pilkada, dan pendukung kontestan tersebut.

“Saya harapkan kita punya kesadaran dan kedisiplinan untuk tetap menjaga jarak, tetap memakai masker, mengikuti aturan yang ada yaitu membatasi kerumunan, tidak diperbolehkan melakukan mobilisasi massa, dan lainnya,” ujar Puan.

Selain meminta KPU dan Bawaslu memperketat penerapan protokol kesehatan, Puan juga meminta TNI-Polri dan Kejaksaan untuk segera melakukan rapat koordinasi pengamanan Pilkada 2020.

“Sehingga apa pun yang akan dilakukan di lapangan, memang bisa terkoordinasi dan tersinergi. Jadi, ayo kita jaga protokol kesehatan menuju pilkada yang sukses di tanggal 9 Desember,” seru Puan.

Di lain pihak, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) turut mendukung berlangsungnya Pilkada 2020 tetap berjalan. Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar mengatakan, penundaan pilkada karena adanya pandemik COVID-19 akan menimbulkan beragam permasalahan.

Ia menyebut, permasalahan yang muncul antara lain dalam aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah, pengelolaan anggaran, dan sebagainya. “Penundaan agenda nasional ini akan menimbulkan beragam permasalahan baru,” ujar Fritz dikutip ANTARA, Jumat 18 September 2020.

Lalu apa jaminan Bawaslu agar penyelenggaraan Pilkada 2020 tidak menyumbang penularan COVID-19? Meski pun berada dalam situasi pandemik, menurut Fritz, penyelenggaraan pilkada tetap dilaksanakan sebagai sebuah ikhtiar bangsa. Ikhtiar itu dilakukan untuk mendapatkan pemimpin-pemimpin di daerah yang mampu menggerakkan roda pemerintahan dengan baik, sehingga benar-benar dapat mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat.

Pelaksanaan Pilkada 2020 itu juga akan mengembangkan suatu konsep pembelajaran (Lesson Learned) dengan pola kecenderungan protokol COVID-19 dalam pemilu. Di antaranya seperti pelaksanaan pemilihan melalui kantor pos atau elektronik, menyiapkan Tempat Pemungutan Suara (TPS) khusus untuk kelompok usia berisiko, terutama kelompok umur di atas 60 tahun.

Kemudian, memberikan kesempatan melaksanakan pemilihan dari rumah atau rumah sakit bagi ODP dan PDP, dan juga penggunaan teknologi dalam perhitungan suara.

Fritz mengatakan, pada masa pendaftaran calon kepala daerah, yang baru selesai awal September lalu, memang masih terdapat banyak pelanggaran protokol kesehatan COVID-19 oleh pasangan calon. Untuk itu, kata dia, Bawaslu akan memberikan sanksi administratif kepada peserta pilkada, sedangkan untuk pelanggaran pidana akan diserahkan kepada pihak yang berwenang lainnya.

Sementara, anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus mengatakan sampai saat ini belum ada pemikiran untuk menunda Pilkada Serentak 2020.

Sebab, keputusan penyelenggaraan Pilkada pada 9 Desember 2020 telah disepakati antara DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu yakni KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2020. Apalagi, awalnya Pilkada 2020 akan digelar pada 23 September 2020.

“Sampai detik ini belum ada pemikiran dari kami Komisi II begitu juga pemerintah dan penyelenggara Pilkada memikirkan untuk melakukan penundaan Pilkada," kata Guspardi saat dihubungi, Jumat, 18 September 2020.

4. Penambahan kasus COVID-19 kian meningkat selama September

Mungkinkah Pilkada Serentak 2020 Ditunda Lagi Akibat Pandemik?Ilustrasi pemakaman korban COVID-19. (ANTARA FOTO/Jojon)

Satuan Tugas Penanganan COVID-19 sebelumnya telah mengungkapkan jumlah wilayah di zona merah atau wilayah risiko tinggi penularan COVID-19, hingga 13 September 2020 turun menjadi 41 kabupaten kota, dari sebelumnya 70 kabupaten kota.

“Ini kabar baik, dengan penurunan jumlah zona merah yang turun dari 70 menjadi 41 kabupaten-kota,” kata Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito dalam konferensi pers daring dari Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa, 15 September 2020.

Satgas Penanganan COVID-19 mencatat pada awal pekan kedua September 2020 terjadi penurunan risiko penularan COVID-19 di 34 kabupaten kota, yang sebelumnya adalah zona merah, kini berubah menjadi zona oranye atau wilayah risiko penularan sedang.

Karena itu pula, jumlah wilayah zona oranye pada pekan ini meningkat menjadi 293 kabupaten kota, dari sebelumnya 267 kabupaten kota. Meningkatnya zona oranye juga merupakan indikasi terjadi peningkatan risiko dari wilayah yang sebelumnya zona hijau.

“Zona oranye mohon betul-betul untuk memperhatikan agar pengendalian kasusnya diperhatikan, dan protokol kesehatan dijalankan agar zonanya menjadi zona ringan dan tidak ada kasus baru lagi,” ujar Wiku.

Satgas Penanganan COVID-19 juga mencatat peningkatan jumlah zona kuning atau wilayah risiko rendah. Sedangkan, untuk zona hijau yang merupakan wilayah dengan tidak ada kasus baru dan tidak terdampak telah menurun.

“Zona hijau (wilayah tidak terdampak) dari 25 sekarang tinggal 22 yang tidak ada kasusnya. Kami mohon daerah-daerah 22 kabupaten-kota betul-betul dijalankan protokolnya,” ujar Wiku.

Sementara, dalam sepekan terakhir penambahan kasus baru COVID-19 secara nasional terus meningkat. Bahkan, dalam sehari penambahan rata-rata hampir mencapai 4 ribu kasus. Sebut saja mulai 13 September, penambahan pasien positif COVID-19 ada 3.636 kasus.

Kemudian pada 14 September sebanyak 3.141 kasus, 15 September 3.507 kasus, 16 September 3.963 kasus, 17 September 3.635 kasus, 18 September 3.891 kasus, 19 September 4.168 kasus, dan 20 September 3.989 kasus.

Sementara kondisi nyata lainnya, selain 60 calon kepala daerah dinyatakan positif COVID-19, sebanyak 96 petugas Bawaslu Boyolali, Jawa Tengah, juga dinyatakan terpapar virus corona, setelah melaksanakan tahapan Pilkada Serentak 2020.

“Sampai hari ini ditemukan 96 jajaran penyelenggara Bawaslu (di Boyolali) dinyatakan positif berdasarkan swab," kata Ketua Bawaslu RI Abhan Misbah dikutip ANTARA, Selasa, 8 September 2020.

Tak hanya itu, sejumlah penyelenggara pemilu lainnya juga terpapar COVID-19. Jumat, 18 September 2020 lalu, Ketua KPU Arief Budiman dinyatakan positif virus corona. Selang sehari, Anggota KPU Pramono Ubaid Tanthowi juga dinyatakan terpapar virus corona. Anggota KPU Evi Novida Ginting juga lebih dulu mengalami hal sama, bahkan kini masih menjalani isolasi.

Lebih mengerikan lagi, penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemik bisa menjadi bom waktu yang memunculkan jutaan kasus. Seperti disampaikan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Makassar, yang sejak awal pandemik menyuarakan agar Pilkada 2020 diundur setidaknya sampai situasi kasus melandai.

Pada awal September 2020 lalu, IDI Makassar memberi peringatan keras kepada para bakal pasangan calon kepala daerah, KPU serta Bawaslu untuk mewaspadai klaster Pilkada 2020, khususnya di daerah tersebut.

"Namun tetap KPU tidak bergeming, malah kesannya melonggarkan dengan mengizinkan adanya keramaian pesta musik walau dengan catatan 100 orang. Tapi kenyataannya lautan massa yang hadir saat pendaftaran calon kepala daerah," kata Humas IDI Makassar dr Wachyudi Muchsin, melalui keterangan tertulis, Minggu, 20 September 2020.

Alasan IDI terus mengingatkan bahaya klaster Pilkada 2020 memang berdasar. Saat ini, ada 1.468 orang bakal calon kepala daerah di seluruh Indonesia. Jika dikalikan 10 titik selama masa kampanye yakni 71 hari, maka akan menciptakan 1.042.280 titik penyebaran COVID-19 dalam rentang 26 September - 5 Desember 2020.

Jika massa yang terlibat di 1.042.280 titik kampanye berjumlah 100 orang sesuai aturan PKPU, maka ada 104 juta lebih orang yang bakal terlibat. Jika positivity rate Indonesia dihitung 10 persen, maka 10 dari 100 orang yang hadir berpotensi positif orang tanpa gejala. Jika 10x1.042.280 titik maka terdapat 10.422.800 orang yang berpotensi OTG COVID-19 berkeliaran dalam 71 hari kampanye. 

"Wow, ini bom waktu dahsyatnya lebih dari bom Hiroshima dan Nagasaki," kata Yudi, sapaan karib Wachyudi Muchsin.

Menurut Yudi, peringatan IDI ini sudah terbukti dengan adanya lebih dari 60 bakal calon kepala daerah yang positif terinfeksi COVID-19 berdasarkan hasil pemeriksaan tes swab. 

"Belum lagi banyaknya komisioner KPU baik pusat serta daerah yang terpapar virus mematikan ini. Terakhir Ketua KPU Sulsel Faisal Amir terpapar, habis mendampingi Ketua KPU RI, Arief Budiman," kata Yudi.

Arief Budiman dinyatakan positif COVID-19 hanya berselang tiga hari setelah kunjungannya ke Makassar pada 15 September lalu. Dia dinyatakan positif pada 18 September. Lalu Faisal Amir dinyatakan positif pada 19 September. 

IDI Makassar juga meminta Menteri Dalam Negeri memberi sanksi tegas bagi pihak yang tak mematuhi protokol kesehatan COVID-19, khususnya dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2020, baik itu bakal pasangan calon kepala daerah hingga KPU serta Bawaslu.

Soal ketidakpatuhan terhadap protokol kesehatan ilkada ini tertuang dalam Pasal 11 PKPU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pilkada dalam Kondisi Bencana Non-alam, yakni pandemik virus COVID-19.

Khusus Bawaslu, bisa memakai pPasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2008 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular yang memiliki sanksi pidana 1 tahun penjara bagi yang melanggar.

"Penggunaan UU tersebut sangat dimungkinkan mengingat Bawaslu memiliki fungsi penegakan terhadap UU pemilu, pelanggaran etika, pelanggaran administrasi serta pelanggaran undang-undang dalam proses Pilkada di tengah pandemik COVID-19," kata Yudi.

5. Komnas HAM, MPR, PBNU, hingga JK usul agar Pilkada 2020 ditunda kembali

Mungkinkah Pilkada Serentak 2020 Ditunda Lagi Akibat Pandemik?Ketua Umum PMI Jusuf Kalla dan pengurus bertemu dengan pemimpin redaksi media massa di Jakarta, 5 Februari 2020 (IDN Times/Umi Kalsum)

Desakan agar Pilkada Serentak 2020 ditunda datang dari berbagai kalangan. Mulai dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang meminta KPU, pemerintah, dan DPR RI menunda pelaksanaan tahapan pilkada lanjutan hingga pandemik COVID-19 berakhir. Atau setidaknya mampu dikendalikan berdasarkan data epidemologi yang dipercaya.

“Seluruh proses yang telah berjalan tetap dinyatakan sah dan berlaku untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi para peserta Pilkada,” kata Anggota Tim Pemantau Pilkada 2020 Komnas HAM Amiruddin dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 11 September 2020.

“Sedangkan pada sisi lain, kondisi penyebaran COVID-19 belum dapat dikendalikan dan mengalami tren yang terus meningkat terutama di hampir semua wilayah penyelenggara Pilkada,” ujar dia.

Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK yang juga Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) juga menyarankan agar Pilkada Serentak 2020 ditunda. JK beralasan, akan ada potensi pelanggaran kampanye yang membatasi jumlah massa kampanye akbar maksimal 50 orang.

"Saya sarankan ditunda dulu sampai beberapa bulan, sampai vaksin ditemukan nanti langsung menurun itu (kasus COVID-19)," kata JK di Balai Pertemuan Metro Jaya (BPMJ), Jakarta Selatan, Sabtu, 19 September 2020.

Menurut JK, keputusan menunda pelaksanaan pilkada tidak akan mempengaruhi kerja Pemerintahan Indonesia. Menurut dia, wali kota dan bupati kerap diganti pada tahun-tahun berikutnya. "Jadi sebenarnya tidak apa-apa dari segi pemerintahan," ujar JK.

JK juga mengimbau agar KPU membuat syarat-syarat perkumpulan orang, jika nantinya pilkada sulit ditunda. "Kalau terjadi pelanggaran, syarat-syarat katakanlah kampanye hanya 50 tapi terjadi 200 (orang), kalau terjadi kecenderungan itu ya lebih baik dipertimbangkan kembali waktunya," kata dia.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj juga sama, mendesak KPU, Ppemerintah, dan DPR RI menunda tahapan Pilkada 2020. Said menjelaskan, lazimnya perhelatan politik, momentum pesta demokrasi selalu identik dengan mobilisasi massa.

Kendati ada pengetatan regulasi terkait pengerahan massa, telah terbukti dalam pendaftaran paslon terjadi konsentrasi massa yang rawan menjadi klaster penularan.

“Meminta kepada Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk menunda pelaksanaan tahapan Pilkada serentak tahun 2020 hingga tahap darurat kesehatan terlewati,” kata Said melalui keterangan tertulisnya, Minggu, 20 September 2020.

Said menjelaskan, penundaan tahapan Pilkada juga dalam upaya mendukung pengetatan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tanpa mengabaikan ikhtiar menjaga kelangsungan kehidupan ekonomi masyarakat.

“Nahdlatul Ulama berpendapat bahwa melindungi kelangsungan hidup (hifdz al-nafs) dengan protokol kesehatan sama pentingnya dengan menjaga kelangsungan ekonomi (hifdz al-mâl) masyarakat. Namun karena penularan COVID-19 telah mencapai tingkat darurat, maka prioritas utama kebijakan negara dan pemerintah selayaknya diorientasikan untuk mengentaskan krisis kesehatan,” ujarnya.

Sebelumnya, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo juga mengusulkan pemerintah dan KPU perlu mempertimbangkan untuk menunda pelaksanaan Pilkada Serentak 2020, apabila kasus pandemik COVID-19 terus meningkat.

"Langkah itu apabila situasi pandemik masih terus mengalami peningkatan, perlu dipertimbangkan secara matang mengenai pengunduran jadwal pelaksanaan Pilkada 2020," kata pria yang akrab disapa Bamsoet ini, seperti dikutip dari ANTARA, Sabtu, 12 September 2020.

Terkait pelaksanaan Pilkada 2020, Bamsoet meminta pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) agar terus memantau perkembangan kasus COVID-19, terutama di 45 daerah yang masuk zona merah. Dia juga meminta agar pemerintah daerah terus melakukan disiplin protokol kesehatan, terutama di 45 daerah yang masuk zona merah.

"Saya mendorong pihak penyelenggara pilkada dan Satgas Penanganan COVID-19 meminta Pemda dari 45 daerah yang berzona merah itu, memastikan seluruh pihak yang terlibat dalam Pilkada 2020 meningkatkan disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan, guna mencegah penularan COVID-19 dan menghindari terbentuknya klaster di dalam pilkada," ujarnya.

Selain itu, Bamsoet juga meminta pemerintah mengevaluasi seluruh perkembangan tahapan Pilkada 2020 yang sudah dilaksanakan, karena masih banyak pelanggaran terhadap protokol kesehatan yang terjadi.

"Perlu diambil sikap tegas dari awal, apabila pelanggaran masih berpotensi banyak dilakukan dalam berbagai tahapan pilkada ke depannya," tutur Bamsoet.

Mungkinkah Pilkada Serentak 2020 akan ditunda? Jawabannya tentu ada kemungkinan dilanjutkan dan bisa juga ditunda. Tapi pertanyaan yang jauh lebih penting adalah, apakah ada jaminan jika pilkada dilanjutkan tidak terjadi klaster baru COVID-19?   

Mungkinkah Pilkada Serentak 2020 Ditunda Lagi Akibat Pandemik?(IDN Times/Sukma Shakti)

Baca Juga: [LINIMASA] Pilkada Serentak 2020 di Tengah Pandemik COVID-19

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya