Jakarta, IDN Times - Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU Perampasan Aset) termasuk salah satu tuntutan jangka panjang dalam inisiatif "17+8 Tuntutan Rakyat" yang diinisiasi sejumlah pegiat media sosial dan masyarakat.
Tuntutan yang disampaikan saat demonstrasi besar-besaran akhir Agustus lalu ini bersifat sistematis, dan ditujukan untuk ditagih kepada pemerintahan dan DPR, dengan tujuan memperkuat pemberantasan korupsi, serta memulihkan aset hasil tindak pidana secara transparan dan profesional.
Dalam perjalanannya, RUU ini menempuh jalan politik berliku, sejak pertama kali diusulkan lebih dari satu dekade lalu. Dari tarik-menarik kepentingan politik, resistensi lembaga, hingga janji reformasi hukum, nasib rancangan undang-undang ini terus digantung tanpa kepastian nyata.
RUU Perampasan Aset jadi rancangan beleid terpanjang yang belum disahkan, mandek 17 tahun. RUU ini sejatinya sudah dimulai sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2003. Kemudian pada era Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada 2020, RUU ini masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR, namun hingga berganti ke pemerintahan Prabowo Subianto, RUU ini belum juga disahkan.
Belakangan, demonstrasi yang terjadi akhir Agustus lalu di Gedung DPR, juga menyuarakan soal pengesahan RUU Perampasan Aset. Secara substansi, beleid ini punya kekuatan sebagai alat negara untuk mengembalikan kerugian yang ada atau recovery asset yang berdampak pada meminimalisasi kerugian negara akibat tindak pidana korupsi.
Berikut adalah rangkuman perjalanan panjang RUU Perampasan Aset yang hingga saat ini belum juga disahkan sebagai undang-undang, namun hanya bolak-balik masuk ruang rapat parlemen.