Komisi III DPR Rapat Lanjutan dengan Mahfud-Sri Mulyani pada 11 April

Surat sudah dikirim ke PPATK, Kemkeu dan Polhukam hari Senin

Jakarta, IDN Times - Rapat lanjutan komisi III DPR dengan Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sudah ditentukan jadwalnya. Rapat tersebut bakal digelar pada Selasa (11/4/2023) pukul 14:00 WIB di Gedung Nusantara II Senayan, Jakarta Pusat.

Jadwal tersebut diketahui dari surat undangan yang beredar dan diteken oleh Wakil Ketua DPR, Lodewijck F Paulus. Jadwal itu pun dikonfirmasi Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni.

"Benar sekali, rapat lanjutan digelar 11 April 2023," ungkap Sahroni melalui pesan pendek kepada IDN Times, Selasa (4/4/2023). "Surat sudah dikirimkan kepada ketiga instansi itu Senin kemarin," lanjut Politisi Nasional Demokrat itu. 

Rapat tersebut rencananya bakal dihadiri oleh Ketua Komite Nasional Pencegahan TPPU, Mahfud MD, Sekretaris Komite Nasional, Ivan Yustiavandana dan anggota Komite Nasional, Sri Mulyani. Rapat kali ini akan melanjutkan pembahasan terkait transaksi mencurigakan senilai Rp349 triliun. 

Berdasarkan rapat komisi III pada 29 Maret 2023 lalu, hanya dihadiri oleh Mahfud dan Ivan. Sri Mulyani melayangkan permohonan izin lantaran harus membuka rapat Menteri Keuangan se-ASEAN di Bali yang berlangsung selama satu pekan.

Namun, perempuan yang akrab disapa Ani itu juga tak mengirimkan perwakilan dari Kementerian Keuangan untuk mewakili dirinya di dalam rapat. Padahal, Polri ikut diwakili langsung oleh Kabareskrim, Komjen (Pol) Agus Andrianto. 

Lalu, apa saja yang terungkap dalam rapat pada akhir Maret 2023?

Baca Juga: Beda Data Mahfud MD dan Sri Mulyani soal Transaksi Janggal di Kemenkeu

1. Data yang disampaikan Mahfud ke ruang publik adalah data-data umum, bukan nama orang

Komisi III DPR Rapat Lanjutan dengan Mahfud-Sri Mulyani pada 11 AprilMenteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD ketika berceramah di Masjid UGM (www.instagram.com/@mohmahfudmd)

Sejak rapat komisi III DPR dibuka pukul 15:15 pada pekan lalu, Mahfud sudah merasa 'dikeroyok' oleh anggota parlemen. Sebab, ia sudah dihujani interupsi saat memulai pemaparan. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu pun memprotes dan ogah menjawab interupsi di tengah-tengah pemaparannya.

Dalam rapat itu, Mahfud membantah telah membocorkan laporan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) ke ruang publik. Ia mengatakan, yang disampaikan hanya data umum dan tak merujuk satu identitas tertentu.

"Saya mengumumkan kasus itu, sifatnya agregat. Jadi, perputaran uang. Saya tidak menyebut nama orang atau nama akun. Itu tidak boleh. Agregat. Bahwa perputaran uang dari sekian orang itu Rp349 triliun," ungkap pria yang juga menjabat sebagai Menko Polhukam.

Ia menambahkan bahwa nama-nama individu yang disebut hanya yang telah bergeser menjadi kasus hukum. Contohnya, Rafael Alun Trisambodo dan Angin Prayitno. Itu pun, kata Mahfud, hanya kasus pidana dari dua individu tersebut.

"Kasus pencucian uangnya tidak," kata dia.

Ia mengatakan, yang menyebut nama dan inisial terduga pelaku TPPU adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ia pun mempersilakan Komisi III untuk melakukan klarifikasi kepada Sri Mulyani secara langsung.

Ia pun mengatakan tidak semua data PPATK bisa dibuka ke publik. Tetapi, ia memiliki semua data-data tersebut.

"Kalau mau buka-bukaan, ayok! Tapi ada yang agregat dan gak menyebut nama. Kalau menyebut nama, jangan-jangan ada yang di sini (ruang rapat ini) juga," tuturnya.

Baca Juga: 5 Poin Penting Pemaparan Mahfud soal Rp349 T di Rapat Komisi III DPR

2. Mahfud temukan dugaan transaksi mencurigakan yang langsung terkait pegawai Kemenkeu capai Rp35 triliun

Komisi III DPR Rapat Lanjutan dengan Mahfud-Sri Mulyani pada 11 April
Komisi III DPR Rapat Lanjutan dengan Mahfud-Sri Mulyani pada 11 AprilData mengenai transaksi keuangan Rp349 triliun yang dipaparkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. (IDN Times/Aditya Pratama)

Poin penting lainnya yang diungkap oleh Mahfud yakni adanya perbedaan data yang disampaikan ke ruang publik. Perbedaan tersebut yakni menyangkut data dugaan transaksi yang melibatkan Kemenkeu. 

Bila dalam rapat kerja Komisi XI, Sri Mulyani menyebut nilai transaksinya mencapai Rp3,3 triliun, maka dalam hitung-hitungan Mahfud, angka tersebut membengkak Rp35 triliun. Laporan itu masuk ke dalam klasifikasi tiga kelompok Laporan Hasil Analisis (LHA). 

"Data agregat transaksi keuangan yang Rp349 triliun itu dibagi ke dalam tiga kelompok. Satu transaksi keuangan mencurigakan di pegawai Kementerian Keuangan. Kemarin Ibu Sri Mulyani di Komisi 11 menyebut hanya Rp3 triliun, yang benar Rp35 triliun. Datanya ini nanti Anda ambil," ujar Mahfud.

Yang kedua, transaksi keuangan mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kementerian Keuangan dan pihak lain sebesar Rp53 triliun. Ketiga, transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan Kementerian sebagai penyidik TPA dan TPPU yang belum diperoleh data keterlibatan pegawai Kemenkeu sebesar Rp260 triliun sehingga jumlahnya Rp 349 triliun.

"Kemudian transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan kementerian sebagai penyidik TPA dan TPPU yang belum diperoleh data keterlibatan pegawai Kemenkeu sebesar Rp260 triliun, sehingga jumlahnya Rp349 triliun fix! Nanti kita tunjukkan suratnya," kata dia.

3. Informasi yang diterima oleh Menkeu Sri Mulyani diduga disumbat dari bawah

Komisi III DPR Rapat Lanjutan dengan Mahfud-Sri Mulyani pada 11 AprilMenteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD usai mengikuti rapat kerja dengan komisi III DPR pada 29 Maret 2023. (IDN Times/Santi Dewi)

Hal lain yang diungkap oleh Mahfud yakni ada pihak yang mencoba menutupi akses informasi kepada Menkeu Sri Mulyani, terkait dugaan transaksi mencurigakan di lingkungan Kemenkeu. Itu sebabnya, sejak awal data yang dimiliki Mahfud dan Sri Mulyani terkesan berbeda.

Mahfud mengatakan, salah satu data yang diduga tak dilaporkan ke Sri Mulyani terkait transaksi janggal senilai Rp189 triliun. Padahal, data tersebut, kata Mahfud, sudah pernah disampaikan PPATK sejak 2020. Namun, pejabat eselon I di Kemenkeu, kata Mahfud, malah menyebut laporan tersebut tak pernah diterima Kemenkeu. 

"Ini apa kok, ada uang Rp189 triliun. Lalu, pejabat tingginya yang eselon I bilang tidak pernah ada. Oh, ndak pernah ada Bu di sini (data senilai Rp189 triliun)," ujar Mahfud menirukan pernyataan Sri di ruang rapat Komisi III dan dikutip dari YouTube IDN Times

"Ini 2020. Lalu dijawab oleh pejabat eselon I itu surat itu tidak pernah ada," katanya. 

Lalu, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menunjukkan daftar surat yang pernah dikirim ke Kemenkeu. Laporan 2020 tersebut sudah tercatat di data PPATK. 

"Setelah melihat data Pak Ivan, baru dia (pejabat eselon I) bilang akan mencari (surat). Itu menyangkut transaksi Rp189 triliun," kata dia. 

Mahfud juga menyebut, transaksi senilai Rp189 triliun merupakan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang melibatkan 15 entitas. "Tetapi laporannya (dari anak buah Sri Mulyani) menjadi (transaksi) pajak. Akhirnya, setelah diteliti 'oh ini perusahaannya banyak, hartanya banyak, pajaknya kurang'. Padahal, laporan ini menyangkut transaksi cukai," kata dia. 

Transaksi cukai yang dirujuk Mahfud adalah impor emas. "Jadi, ini menyangkut impor emas yang batangan dan harganya mahal-mahal itu, tapi di dalam surat cukainya itu emas mentah. Diperiksa oleh PPATK tetapi gak diselidiki. Kok emas sudah jadi dilaporkannya emas mentah," ujarnya. 

Ia menambahkan, dalam surat tersebut tertulis emas mentah itu dicetak di Surabaya. Saat diverifikasi PPATK ke Surabaya tak ditemukan pabriknya.

"Dan itu gak diperiksa, padahal menyangkut uang miliaran. Laporan itu diberikan ke Kemenkeu 2017 oleh PPATK, bukan 2020," katanya. 

Pada 2017, kata Mahfud, laporan tersebut diserahkan PPATK tanpa surat secara langsung. Ketika itu, tutur dia, penerima laporannya adalah Dirjen Bea Cukai, Irjen Kemenkeu, dan dua orang lainnya.

Baca Juga: Perbedaan Data Rp349 T, Mahfud Menduga Ada yang Tutup Akses ke Menkeu

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya