KSP: Istana Tidak Terlibat dalam Putusan PN Jakpus Menunda Pemilu

"Kami menghormati putusan PN Jakarta Pusat"

Jakarta, IDN Times - Tenaga ahli dari Kantor Staf Presiden (KSP), Ade Irfan Pulungan membantah dengan tegas soal dugaan keterlibatan Istana dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat soal penundaan pemilu 2024. Irfan mengatakan pemerintah sejak awal sudah menetapkan bahwa pemilu tetap diselenggarakan pada 2024 mendatang.

Pernyataan Irfan itu untuk menanggapi kalimat yang disampaikan oleh peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Noory Okthariza. Dalam media briefing yang digelar pada 3 Maret 2023 lalu, Noory tegas mengatakan ada kelompok yang terorganisasi untuk membuat pemilu 2024 ditunda. 

"Tidak ada kepentingan, keinginan, atau apapun namanya keterlibatan Istana. Itu harus dicatat oleh semua. Jadi, jangan ada pretensi-pretensi dari kekuatan besar. Aduh, kita ini jangan seperti orang yang tidak berpendidikan," ungkap Irfan ketika berbicara di program 'Polemik' dan dikutip dari YouTube pada Minggu, (5/3/2023). 

Ia mendorong agar publik terus diberikan edukasi terkait putusan PN Jakpus yang meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyetop sisa tahapan pemilu yang ada. Lalu, tahapan pemilu 2024 diulang kembali dari awal. 

Lebih lanjut, Irfan juga menyebut bahwa Istana menghormati keputusan dari PN Jakpus yang meminta agar pemilu 2024 ditunda. Sikap serupa, katanya, juga ditunjukkan ketika Mahkamah Konstitusi (MK) tak mengabulkan gugatan masa jabatan presiden dapat diperpanjang. 

Ia juga menyebut bahwa Partai Prima selaku pihak penggugat memiliki hak untuk mengajukan gugatan ke PN Jakpus. Sehingga, menurutnya tidak ada yang salah dengan langkah Partai Prima mengajukan gugatan pada 8 Desember 2022 lalu. 

Apa isi gugatan Partai Prima pada akhir tahun 2022 lalu? Mengapa mereka memilih melayangkan gugatan ke PN Jakpus dan bukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)?

Baca Juga: Putusan PN Jakpus Tunda Pemilu, Wapres: Pemerintah Akan Bersikap

1. Partai Prima tidak mengajukan gugatan ke PN Jakpus agar jadi partai peserta pemilu 2024

KSP: Istana Tidak Terlibat dalam Putusan PN Jakpus Menunda PemiluIlustrasi logo Partai Rakyat Adil Makmur (Partai Prima). (Dokumentasi Istimewa)

Sementara, di dalam dokumen putusan setebal 100 halaman yang telah beredar di publik, tidak tertulis bahwa Partai Prima menuntut agar ditetapkan oleh KPU sebagai partai peserta pemilu 2024. Di dalam petitum gugatannya, Partai Prima justru menggugat secara eksplisit agar sisa tahapan pemilu 2024 disetop. 

Berikut isi petitum gugatan Partai Prima:

  1. Menerima gugatan penggugat (Partai Prima) untuk seluruhnya
  2. Menyatakan penggugat adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh pihak tergugat (KPU)
  3. Menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum
  4. Menghukum tergugat membayar ganti rugi materiil sebesar Rp500 juta kepada penggugat
  5. Menghukum tergugat untuk memulihkan kerugian immateriil penggugat dengan mewajibkan tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 selama kurang lebih dua tahun, empat bulan, dan tujuh hari sejak putusan ini dibacakan dan kemudian melaksanakan tahapan Pemilu 2024 dari awal untuk selama lebih kurang dua tahun, empat bulan dan tujuh hari
  6. Menyatakan putusan pekara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta
  7. Menetapkan biaya perkara berdasarkan hukum atau jika Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya

Padahal, menurut Wakil Ketua Umum Partai Prima, Ahmad Suluh Rifai, mengatakan mereka memilih melayangkan gugatan ke PN Jakpus lantaran gugatan serupa yang diajukan ke Badan Pengawas Pemilu dan PTUN kandas. 

Baca Juga: CSIS Desak Jokowi Respons Putusan PN Jakpus Tunda Pemilu 2024

2. PN Jakpus seharusnya sejak awal tidak menerima gugatan Partai Prima

KSP: Istana Tidak Terlibat dalam Putusan PN Jakpus Menunda Pemilu(Ilustrasi hakim) IDN Times/Sukma Shakti

Sementara, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, juga mengakui terkejut dengan putusan majelis hakim di PN Jakpus. Feri menjelaskan putusan majelis hakim itu dianggap melanggar sejumlah aturan. Salah satunya Peraturan Mahkamah Agung (MA) tahun 2019 pasal 10 dan 11. 

"Isinya mengubah yurisdiksi perbuatan melanggar hukum (PMH) dari semula di pengadilan negeri ke PTUN. Di dalam ketentuan itu berbunyi jika ada yang melakukan PMH ke pengadilan negeri maka PN akan melimpahkannya ke PTUN. Jika pun PN sudah menjalankan perkara tersebut karena luput atau khilaf, maka harus diputus NO atau tidak dapat diterima," ungkap Feri di acara diskusi yang sama. 

Artinya, kata Feri, putusan tersebut tidak memenuhi sejumlah syarat dan gugatan tersebut kabur. Ia juga menyebut tradisi tersebut sudah berlaku sejak 2019 lalu. 

"Dalam catatan yang saya pegang, rata-rata perbuatan melawan hukum (PMH) ditolak ketika dialihkan ke PTUN. Makanya aneh kenapa tiba-tiba PMH ini, diajukan ke PN Jakpus lalu dijalankan, bahkan perkaranya diputuskan," tutur dia. 

Poin lain yang dilanggar oleh majelis hakim PN Jakpus adalah UUD 1945 pasal 22E ayat (1). Di sana, kata Feri, tertulis bahwa pemilu dilakukan secara bebas, langsung, jujur, dan adil serta dilaksanakan tiap 5 tahun sekali. 

"Bila dilihat lebih lanjut, kasus ini kan keperdataan yang sifatnya PMH. Keperdataan itu kalau memang masalahnya ada tiga yakni verifikasi administrasi, verifikasi faktual dan gagal jadi peserta pemilu, maka peradilan cukup memperbaiki putusan itu," ujarnya. 

Tetapi, yang terjadi, pengadilan justru lompat ke hukum publik dan meminta penundaan tahapan pemilu. "Itu gimana ceritanya dari hukum privat ke hukum publik, saya juga gak ngerti," katanya lagi. 

3. Menko Mahfud sebut tidak ada sanksi bagi hakim yang putus perkara Partai Prima

KSP: Istana Tidak Terlibat dalam Putusan PN Jakpus Menunda PemiluMenko Polhukam, Mahfud MD (ANTARA FOTO/Reno Esnir)

Sementara, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD mengatakan tidak ada sanksi bagi tiga hakim PN Jakpus yang sudah memutus perkara Partai Prima. "Sanksinya ya kita saja, gebuki rame-rame melalui opini bahwa hakim ini tidak capable. Itu kan sudah sanksi sosial yang tidak main-main. Lalu, kemudian uji," ungkap Mahfud ketika berbicara di stasiun Metro TV dan dikutip pada Minggu, (5/3/2023). 

Ia menambahkan perbedaan opini dari mayoritas ahli hukum akan menjatuhkan kredibilitas para hakim di PN Jakpus itu. Mahfud juga menyebut tidak ada di dalam putusan soal mengapa harus mereka yang mengadili. 

"Isinya hanya bahwa perkara itu dianggap perbuatan melawan hukum (PMH). Apalagi sebelumnya sudah dinyatakan kalah di Bawaslu dan PTUN," kata dia. 

Mantan Ketua MK itu juga menyebut bahwa putusan PN Jakpus tersebut tidak mengikat terhadap KPU. 

Baca Juga: Peneliti CSIS Ungkap Ada Kelompok Terorganisir Tunda Pemilu 2024

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya