Lima Indikasi Kasus Novel Tidak Diusut dengan Serius
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan sejak awal sudah mengatakan kasus tindak kekerasannya tidak diungkap secara serius. Hal tersebut dikonfirmasi oleh Koalisi Masyarakat Sipil yang melakukan pemantauan pada periode Februari 2018 - Desember 2018.
Metodologi penyusunan laporan yang digunakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil dilakukan dengan cara melakukan pengumpulan dan penelusuran terhadap informasi penanganan perkara yang diperoleh dari delapan sumber. Koalisi yang terdiri dari beberapa LSM itu mendapatkan data dan informasi dengan mewawancarai saksi-saksi terkait hingga menelusuri berbagai pernyataan yang disampaikan oleh Presiden dan polisi.
Hasil dari laporan pemantauan setebal tujuh halaman itu akhirnya diserahkan kepada beberapa pihak termasuk pimpinan lembaga antirasuah. Penyerahan laporan ke pimpinan KPK dilakukan pada Selasa (15/1).
Di dalam laporan yang dibaca oleh IDN Times, ada tujuh poin yang mengindikasikan pernyataan Novel bukan sekedar isapan jempol belaka. Bahkan, ada barang bukti yang diduga memang sengaja dihapus untuk mengaburkan perkara. Apa saja indikasi tersebut?
1. Polisi sudah mengetahui Novel akan diserang dan sempat menawarkan perlindungan
Di dalam laporan itu tertulis polisi sudah mengetahui adanya rencana untuk menyerang Novel sejak awal. Namun, mereka tidak bisa mencegah serangan terhadap mantan Kasatreskrim Polres Bengkulu itu karena diduga kuat ada keterlibatan petinggi Polri.
"Kapolda Metro Jaya waktu itu, M. Iriawan, sudah sempat memperingatkan Novel bahwa ia akan mendapat serangan dan menawarkan pengawalan. Namun, Novel menyarankan agar tawaran pengamanan tersebut disampaikan secara langsung ke pimpinan KPK," demikian isi laporan tersebut ketika dibacakan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati di depan gedung KPK.
Namun, menurut tim koalisi masyarakat sipil, tidak diketahui apakah ada tindakan pencegahan yang sempat dilakukan oleh Polda. Toh, serangan air keras terhadap Novel tetap terjadi pada 11 April 2017 lalu.
Baca Juga: Moeldoko: Kasus Novel Baswedan Bukan Pelanggaran HAM Berat
2. Sidik jari di cangkir untuk menyiramkan air keras hilang
Di laporan pemantauan itu, turut disebut bukti penting untuk bisa menemukan aktor lapangan yakni berupa sidik jari di gelas yang menampung air keras malah hilang. Hal itu turut diakui oleh Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes (Pol) Argo Yuwono. Ia beralasan yang membuat sidik jari di gelas hilang adalah saksi di peristiwa itu.
Ia mengamankan gelas itu menggunakan kain dan tidak diawasi oleh pihak kepolisian.
"Pengamanan untuk mug (cangkir) itu oleh saksi agar masyarakat tidak melihat atau melintas. Mug kemudian diletakan di teras untuk diamankan," ujar Argo pada 23 Agustus 2017 lalu.
Karena keteledoran itu lah, maka sidik jari di bukti penting tersebut hilang dan tidak bisa dilacak oleh petugas forensik.
"Iya (sidik jari) hilang," kata dia lagi.
Editor’s picks
3. Polisi melepas tiga orang yang diduga beperan sebagai pengintai Novel Baswedan
Di laporan itu, disebut tiga orang berinisial AL, H dan M yang diduga sebagai pelaku di lapangan. Mereka patut diduga berperan sebagai pengintai, eksekutor atau penyiram air keras ke wajah Novel.
"Mereka sudah pernah ditangkap dan diperiksa oleh polisi, namun kemudian dibebaskan dengan alasan mereka adalah 'mata elang' yang tidak berhubungan dengan serangan kepada Novel," demikian isi laporan tersebut ketika dibacakan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati di depan gedung KPK.
4. Informasi yang disampaikan oleh Mabes Polri mengenai kasus Novel berbeda dengan Polda Metro Jaya
Ada informasi yang tidak sinkron dan disampaikan ke publik oleh Polda Metro Jaya dengan Mabes Polri. Di saat Kapolri menyatakan bahwa mereka sudah mengantongi identitas pelaku dan bahkan menangkapnya, informasi berbeda malah disampaikan oleh Polda Metro Jaya.
"Tim Polda Metro Jaya malah mengatakan orang yang ditangkap bukanlah pelaku," demikian isi laporan itu ketika dibacakan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati di depan gedung KPK.
Hal lain yang menunjukkan inkonsistensi laporan yakni soal sketsa wajah terduga pelaku. Menurut tim koalisi masyarakat sipil, ada dua versi sketsa wajah yang dirilis ke publik.
"Sketsa wajah yang dirilis oleh Kapolri di Istana Negara pada 31 Juli 2017 berbeda dengan sketsa wajah yang ditunjukkan oleh Kapolda Metro Jaya di Gedung KPK pada 24 November 2017. Namun, kedua pejabat itu tidak menyampaikan sketsa wajah mana yang lebih valid," kata dia lagi.
5. Kredibilitas Novel sebagai korban coba dihancurkan
Hal lain yang begitu mencolok terlihat akhir-akhir ini yaitu ada upaya untuk menghancurkan kredibilitas Novel sebagai korban penyiraman air keras. Novel yang sudah menjadi korban seolah tertimpa tangga dituduh telah menghalangi proses penyelidikan. Penyebabnya, karena ia tidak bersedia menyebut oknum jenderal polisi yang diduga kuat menjadi aktor di balik teror air keras.
"Salah satu komisioner Ombudsman cenderung menyalahkan korban dan menyebarkan informasi yang tidak benar mengenai pemeriksaan Novel," kata Asfina.
Polisi pun membangun narasi Novel seolah mempersulit proses pengungkapan kasusnya sendiri. Aparat penegak hukum juga mengaku sulit mengungkap kasus Novel karena kurangnya alat bukti.
Kalian setuju, guys dengan temuan koalisi masyarakat sipil?
Baca Juga: Kapolda Metro Jaya Akui Kasus Novel Baswedan Masih Jadi Utang