Mahfud: Wacana Amandemen UUD 1945 Boleh Saja, Asal Komit Mematuhinya

Bamsoet usulkan MPR kembali jadi lembaga negara tertinggi

Jakarta, IDN Times - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, wacana untuk mengubah isi UUD 1945 adalah sesuatu yang sah dan dibolehkan dalam aturan. Sebab, menurut teori, UUD 1945 diubah berdasarkan hasil dari situasi politik, sosial, ekonomi dan lingkungan global. Sejak dibuat pada 1945, UUD telah mengalami isi perubahan sebanyak empat kali. 

"Itu (wacana mengubah UUD 1945) boleh saja. Jika situasi berubah, konstitusi memang bisa saja diubah. Cuma saya mengingatkan kepada seluruh politisi, pimpinan negara bahwa kita sudah berkali-kali mengubah konstitusi," ungkap Mahfud usai memimpin upacara HUT ke-78 di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat pada Kamis (17/8/2023). 

Indonesia, kata Mahfud, pernah membuat konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949. Konstitusi itu berlaku pada 27 Desember 1949. Lalu, diamandemen lagi menjadi UUDS 1950 pada 17 Agustus 1950. 

"Kemudian ada dekrit presiden pada 5 Juli 1959. Diputuskan kembali ke UUD. Kemudian ada reformasi pada tahun 1999-2002. Itu kita sudah lakukan beberapa kali amandemen," tutur dia. 

Namun, menurutnya tiap kali UUD diubah, tetap saja dalam implementasinya malah terjadi penyimpangan. Maka, Mahfud menggaris bawahi seandainya menginginkan lagi amandemen UUD 1945 maka harus diikuti dengan komitmen isi UUD tersebut harus dipatuhi sepenuhnya. 

"Kalau kita tidak punya komitmen menegakan konstitusi, menjaga ideologi, maka amandemen apapun seperti yang sudah-sudah, begitu selesai diamandemen maka akan dikritik lagi. Selesai diamandemen, dikritik lagi," ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu. 

1. Amandemen UUD 1945 bukan hal tabu karena dibolehkan dalam konstitusi

Mahfud: Wacana Amandemen UUD 1945 Boleh Saja, Asal Komit MematuhinyaMenko Polhukam, Mahfud MD (ANTARA FOTO/Reno Esnir)

Lebih lanjut, Mahfud kembali menyebut bahwa wacana amandemen UUD 1945 bukan lah hal yang tabu karena hal tersebut disahkan di dalam konstitusi dan ilmu pengetahuan. "Karena kan ada perkembangan di dalam masyarakat," kata dia. 

Sementara, wacana amandemen UUD 1945 sudah digaungkan sejak beberapa tahun lalu. Salah satu yang mendorong adalah Ketua MPR Bambang Soesatyo. Ia mengatakan perlu dimasukan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai arah pembangunan negara dalam jangka panjang.  

Namun, wacana amandemen UUD 1945 beberapa tahun jelang pemilu justru menimbulkan kecurigaan lain. Publik ketika itu mencurigai niat amandemen UUD 1945 untuk menambah periode presiden sehingga menunda Pemilu 2024.

Wacana tersebut mendapat penolakan luas dari publik. PDI Perjuangan yang semula mendukung perlunya PPHN belakangan menarik diri dari pembahasan. Alhasil, dalam sidang tahunan MPR RI 2023, Bamsoet mengatakan wacana amandemen UUD 1945 akan dibahas usai Pemilu 2024. 

Baca Juga: Bamsoet Dorong Perlunya Pokok-Pokok Haluan Negara Usai Pemilu 2024

2. Bamsoet usul agar MPR kembali jadi lembaga tertinggi negara

Mahfud: Wacana Amandemen UUD 1945 Boleh Saja, Asal Komit MematuhinyaKetua MPR RI Bambang Soesatyo (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Sementara, Bamsoet dalam sidang tahunan MPR RI kembali menyinggung peluang bahwa pemilu bisa ditunda bila terjadi keadaan yang darurat. Salah satunya terjadi bencana alam yang massif. 

"Yang menjadi persoalan adalah, bagaimana sekiranya menjelang pemilihan umum terjadi sesuatu yang di luar dugaan kita bersama, seperti bencana alam yang dahsyat berskala besar, peperangan, pemberontakan, atau pandemik yang tidak segera dapat diatasi, atau keadaan darurat negara yang menyebabkan pelaksanaan pemilihan umum tidak dapat diselenggarakan sebagaimana mestinya, tepat pada waktunya, sesuai perintah konstitusi? Maka secara hukum, tentunya tidak ada Presiden dan/atau Wakil Presiden yang terpilih sebagai produk Pemilu," ujar Bamsoet di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat pada Rabu kemarin. 

Ia menambahkan, masalah itu belum ditemukan jalan keluarnya secara konstitusional setelah dilakukan amandemen UUD 1945.  "Sesuai amanat ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, sebagai representasi dari prinsip daulat rakyat, maka MPR dapat diatribusikan dengan kewenangan subyektif superlatif dan kewajiban hukum, untuk mengambil keputusan atau penetapan-penetapan yang bersifat pengaturan guna mengatasi dampak dari suatu keadaan kahar fiskal maupun kahar politik yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar," tutur dia. 

Politisi Partai Golkar itu juga menyinggung agar MPR RI seharusnya dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara. Artinya, presiden seharusnya dipilih dan dilantik oleh MPR. Bamsoet mengaku setuju dengan ide Megawati Soekarnoputri ketika disampaikan di hari jadi Lemhanas pada Mei 2023 lalu. 

"Idealnya memang, MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri, saat Hari Jadi ke-58 Lemhannas," katanya. 

Bamsoet mengatakan, dengan kedudukannya saat ini, MPR tak dapat membuat ketetapan untuk melengkapi kekosongan dalam konstitusi. Padahal, ada persoalan-persoalan negara yang belum mampu terjawab oleh Undang-Undang Dasar 1945.

3. Pakar hukum sebut usulan amandemen UUD 1945 dari politisi, bukan keinginan rakyat

Mahfud: Wacana Amandemen UUD 1945 Boleh Saja, Asal Komit MematuhinyaAhli di bidang tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti (www.pshk.or.id)

Sementara, pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, sudah sejak lama mempertanyakan urgensi amandemen terbatas UUD 1945. Menurut dia, usulan ini muncul secara tiba-tiba dari kalangan partai politik saja.

Padahal, peristiwa amandemen UUD 1945 terdahulu dilakukan berdasarkan tuntutan rakyat, bukan kepentingan partai politik. "Dulu '97 dan '98, salah satu tuntutan mahasiswa dan banyaknya elemen rakyat salah satunya amendemen konstitusi. Jadi ada tuntutan dari rakyat untuk amendemen," ujar Bivtri di Jakarta pada Agustus 2019 lalu. 

Ia mengatakan, apabila UUD 1945 saat ini hendak diamandemen, sudah seharusnya didasarkan pada kepentingan rakyat.

Selain itu, amandemen UUD 1945, kata dia, seharusnya memberikan implikasi konkret bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedangkan, dari usulan amandemen UUD 1945 yang muncul, justru ia tak melihat bakal ada implikasi yang besar jika GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) dihidupkan kembali saat ini.

Sebab, pada era Orde Baru, GBHN diberlakukan untuk mengontrol kinerja presiden. Saat itu, presiden dipilih oleh MPR sehingga secara tidak langsung GBHN menjadi alat kontrol dari MPR kepada presiden.

Namun sekarang, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga, presiden tidak lagi bertanggung jawab secara langsung kepada MPR.

https://www.youtube.com/embed/_-OnLj0kmf4

Baca Juga: Bamsoet Sebut Skema Pemilu Bisa Ditunda jika Terjadi Keadaan Darurat

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya