Presiden Jokowi Didesak Tepati Janji Segera Revisi UU ITE

Selama 4 tahun, hampir 700 orang dipenjara karena UU ITE

Jakarta, IDN Times - Presiden Joko "Jokowi" Widodo diminta segera menepati janji segera merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Desakan itu muncul setelah UU ITE tak masuk ke dalam daftar prioritas prolegnas 2021. 

Dalam rapat kerja dengan Baleg DPR pada Selasa (9/3/2021), Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly beralasan revisi UU ITE tak masuk ke dalam daftar prioritas prolegnas karena pemerintah masih melakukan kajian dengan berbagai pihak. 

"Soal UU ITE, Pak Ketua (Baleg), ini lagi dibahas dan dilakukan public hearing," ujar Yasonna. 

Ia mengatakan UU ITE ada kaitannya dengan RUU KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang juga sedang dibahas di tingkat parlemen. Saat ini, RUU KUHP disebut sedang dibahas secara mendalam. Menteri dari PDI Perjuangan itu meminta agar publik tak berkecil hati karena tahu revisi UU ITE belum masuk di daftar prioritas prolegnas 2021. 

"Saya kira kita sudah punya semacam preseden dan kan kita memiliki kebijakan prolegnas bisa dievaluasi kembali per semester. Sehingga, nanti kita lihat perkembangan-perkembangan berikutnya," katanya lagi. 

Tetapi, dalam pandangan Aliansi Nasional Reformasi KUHP justru langkah menunda revisi UU ITE menandakan pemerintah tak serius dengan ucapannya. Mengapa demikian?

1. Revisi UU ITE dan pembahasan RKUHP bisa dilakukan bersamaan

Presiden Jokowi Didesak Tepati Janji Segera Revisi UU ITEIDN Times/Arief Rahmat Sumber : Berbagai Sumber

Direktur Eksekutif Institut for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, menilai tidak ada lagi alasan bagi pemerintah menunda revisi UU ITE. Apalagi. berdasarkan data dari perkumpulan pembela kebebasan berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet), pada periode 2016-2020, sekitar 700 orang dibui karena pasal karet di dalam UU ITE. 

"Kami mendorong agar pembahasan revisi UU ITE dan RKUHP bisa dilakukan berbarengan. Hal ini pernah terjadi pada 2016 lalu. Saat itu, DPR dan pemerintah tengah melakukan revisi UU ITE, pembahasan RKUHP pun juga tetap berjalan," ujar Erasmus dalam keterangan tertulis pada Jumat (12/3/2021).

Pemerintah, kata dia, ketika itu tidak mencabut muatan tindak pidana di dalam UU ITE yang juga diatur di dalam RKUHP, lalu memindahkan ke RKUHP. 

"UU ITE 2016 tetap disahkan dan RKUHP malah kandas pada 2019 karena substansi yang bermasalah," kata dia lagi. 

Tak mau lagi terjadi peristiwa serupa, ICJR mengusulkan kepada pemerintah dan DPR agar membuat peraturan peralihan di RKUHP. Di sana, dibuat aturan mengenai ketentuan pencabutan delik-delik yang ada di dalam UU ITE usai direvisi. Pemerintah dan DPR kemudian tinggal merujuk ke RKUHP mengenai delik-delik tersebut. 

"Ini adalah hal yang sederhana dan dapat dilakukan oleh pemerintah tanpa mengorbankan urgensi RUU ITE," ungkapnya. 

Baca Juga: Revisi UU ITE Tak Masuk Daftar Prioritas Prolegnas 2021, Kenapa?

2. Sejak awal pemerintah dinilai tak serius ingin revisi UU ITE

Presiden Jokowi Didesak Tepati Janji Segera Revisi UU ITEDandhy Dwi Laksono (IDN Times/Margith Juita Damanik)

Sementara, saat ini pemerintah masih melakukan kajian dengan mendengarkan masukan dari beberapa pihak terkait pemberlakuan UU ITE. Salah satu yang diundang Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) adalah aktivis dan pendiri Watchdoc, Dandhy Laksono. 

Pada 2019, Dandhy pernah ditangkap polisi dan dijadikan tersangka karena melanggar UU ITE. Mantan jurnalis itu dianggap polisi menebarkan kebencian berdasarkan SARA terkait kasus Papua. 

"Status saya sampai saat ini masih menjadi tersangka," kata Dandhy ketika dihubungi IDN Times pada 1 Maret 2021. 

Dalam pertemuan virtual dengan Deputi III Kemenkopolhukam Sugeng Purnomo, Dandhy mengatakan yang bermasalah bukan sekadar pemahaman terhadap UU ITE. Namun, sejumlah pasal dinilai karet dan multitafsir. 

Dandhy secara tegas meminta agar masukannya tidak dialihkan ke tim interpretasi UU ITE. Sebab, yang ia inginkan supaya isi UU tersebut segera diperbaiki. 

"Kalau sampai mereka tetap melempar masukan saya ke tim interpretasi, berarti itikadnya buruk dan forum itu jadi akal-akalan banget. Jumlah yang jadi korban kan sudah mencapai 700 orang, gak mungkin itu karena cara penggunaan UU-nya," ujar Dandhy. 

Ia kemudian memberi tiga parameter apabila pemerintah benar-benar serius ingin merevisi UU ITE. Pertama, pemerintah melakukan moratorium penggunaan UU ITE di kepolisian. Kedua, semua proses hukum yang sedang berjalan terkait UU ITE dihentikan. Ketiga, selama proses hearing berjalan, pemerintah didorong sudah mulai buat draf revisi UU ITE. 

3. Menkopolhukam bentuk dua tim, revisi UU ITE dan interpretasi UU ITE

Presiden Jokowi Didesak Tepati Janji Segera Revisi UU ITEIDN Times/Galih Persiana

Tetapi, alih-alih melakukan revisi, Menkopolhukam Mahfud MD malah membentuk dua tim menindaklanjuti wacana revisi UU ITE. Tim itu sudah bekerja sejak 22 Februari 2021. 

"Tim pertama yang bertugas untuk membuat intrepretasi yang lebih teknis dan memuat kriteria implementasi dari pasal-pasal yang selama ini sering dianggap pasal karet. Ini akan dilakukan oleh Kemenkominfo," ujar Mahfud dalam keterangan pers yang direkam dalam video dan tayang di YouTube pada 19 Februari 2021.

Tim kedua, kata Mahfud, adalah rencana revisi UU ITE. Ia menjelaskan tim itu dibentuk untuk mengakomodasi respons bahwa UU tersebut mengandung pasal karet dan diskriminatif. 

Keputusan itu untuk menindaklanjuti instruksi Jokowi soal apakah UU tersebut lebih banyak merugikan rakyat atau tidak. Pembentukan dua tim itu diharapkan bisa mencari titik terang pasal-pasal mana saja yang dianggap multitafsir. 

"Tim ini akan mendengar masukan dari semua ahli, LSM, gerakan pro demokrasi untuk mendiskusikan apakah UU ini benar-benar perlu untuk direvisi," tutur pria yang pernah menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu. 

Baca Juga: Menko Mahfud MD Bentuk 2 Tim Perumusan Revisi UU ITE

Topik:

  • Jihad Akbar

Berita Terkini Lainnya