Yenti Garnasih: Jangan Ribut Soal Pansel, Musuh Kita Itu Koruptor!

Simak wawancara eksklusif IDN Times dengan Ketua Pansel KPK

Jakarta, IDN Times - Presiden Joko "Jokowi" Widodo akhirnya mempercayakan Yenti Garnasih sebagai ketua panitia seleksi (pansel) calon nahkoda Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023. Namanya diumumkan sebagai ketua pansel pada 17 Mei lalu.

Surat keputusan presiden atas penetapan dirinya dan 8 anggota lainnya diberikan oleh Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko pada (20/5) lalu di Kementerian Sekretariat Negara. Proses pendaftaran capim KPK dimulai pada 17 Juni - 4 Juli 2019. Sementara, pansel harus bisa segera mengajukan 10 nama ke Presiden Jokowi untuk kemudian diuji di DPR.

Kendati Yenti sudah pernah terlibat dalam pansel calon pimpinan KPK periode sebelumnya, namun ia mengaku tugasnya kali ini tidak mudah. Selain menjadi tumpuan harapan publik untuk memilih pimpinan KPK dengan rekam jejak yang bersih, Yenti juga dikritik oleh sebagian pihak, termasuk masyarakat sipil antikorupsi.

Mereka menilai pantia seleksi kali ini adalah yang terburuk yang pernah ada. Salah satunya karena ada tiga anggota yang dulunya juga pansel. Apalagi pansel periode sebelumnya diklaim menghasilkan pimpinan KPK yang paling lemah dalam sejarah institusi antirasuah.

Yenti pun mengaku kecewa karena belum tahap ke proses pemilihan saja, ia sudah dihujani kritik. Perempuan pertama peraih gelar doktor di bidang tindak pidana pencucian uang (TPPU) itu semakin kecewa karena disebut tak memiliki semangat pemberantasan korupsi. 

"Padahal, yang suka ke pengadilan dan dijadikan saksi ahli, lalu ngotot agar kasus korupsi juga dikenakan pasal TPPU lalu menang itu saya. Masak saya dibilang tidak memiliki semangat pemberantasan korupsi?," kata Yenti yang ditemui khusus oleh IDN Times di ruang kerjanya di lantai 10 ruang rektorat Universitas Trisakti pada (28/5) lalu. 

Menurut Yenti, tudingan tersebut tak hanya membuatnya kecewa tetapi juga dianggap telah merusak reputasinya yang sudah ia bangun selama puluhan tahun. Padahal, kritik tajam seperti itu tak pernah ia dengar ketika bergabung di pansel periode sebelumnya. Ketika itu, ia hanya sempat dicap sebagai geng ibu-ibu arisan yang tak paham soal hukum. 

Selain kritik yang bertubi-tubi, perempuan yang sering dijadikan ahli TPPU di persidangan itu juga berpacu dengan waktu. Ia dan 8 orang lainnya dipilih ketika bulan Ramadan yang dipotong waktu libur Idul Fitri. Padahal, tenggat waktunya di bulan Desember mendatang, pimpinan KPK yang baru sudah harus dilantik. 

Ia sempat khawatir dengan waktu yang mepet itu, jumlah peserta yang mengikuti proses seleksi sedikit. Atau justru sebaliknya yang daftar banyak tapi tidak ada yang memenuhi kualifikasi. "Kalau begitu caranya, maka tidak ada jalan lain selain menambah waktu pendaftaran dari yang semula 2 minggu," kata Yenti. 

Di bawah kepemimpinannya, Yenti membuka peluang selebar-lebarnya kepada siapa saja baik dari unsur masyarakat dan pemerintah. Termasuk dari institusi kepolisian dan kejaksaan. Kendati keterlibatan polisi dan jaksa di dalam tubuh KPK kerap dianggap sebagai benalu, namun di mata Yenti, insitusi antirasuah butuh kehadiran penegak hukum lainnya. 

"Boleh saja orang-orang di luar pemerintah menjadi pimpinan KPK, tapi kalau mereka tidak memahami hukum, mau ngapain nanti? Ini yang dilawan adalah koruptor yang luar biasa," kata dia. 

Lalu, apa gebrakan Yenti sebagai ketua pansel untuk dapat memilih pimpinan KPK yang memiliki rekam jejak baik dan kemampuan yang mumpuni? Apalagi KPK menjadi institusi hukum yang masih dipercayai oleh publik. Lantas, mengapa Yenti sangat berharap komposisi pimpinan KPK juga terdiri dari latar belakang Polri dan jaksa?

Simak perbincangan khusus IDN Times dengan Yenti Garnasih berikut:

1. Bisakah Anda ceritakan seperti apa awal mula ditawari oleh Pak Jokowi untuk menjadi pansel capim KPK? Sebelumnya Anda kan juga sudah pernah jadi pansel, mengapa mau bergabung kembali?

Yenti Garnasih: Jangan Ribut Soal Pansel, Musuh Kita Itu Koruptor!(Ketua pansel capim KPK periode 2019-2023 Yenti Garnasih) IDN Times/Santi Dewi

Ya, saya dihubungi oleh Kemensetneg itu seminggu sebelumnya (sebelum diumumkan jadi ketua pansel). Menghubunginya begini, "Nama Anda akan diusulkan ke Presiden, Anda kira-kira bersedia gak?"

Saya pikir dulu kan udah (pernah jadi pansel). Ini jadi keterlibatan kali kedua saya di pansel KPK. Saya juga pernah terlibat di pansel Kompolnas.

Tetapi, malah yang saya baca di beberapa media, malah ada suara yang menginginkan saya untuk menjadi pengganti Agus Rahardjo (Ketua KPK periode 2015-2019). Yang mendorong saya untuk melamar jadi komisioner KPK itu sudah banyak. Bahkan, sejak di periode pertama. Kan saya memiliki keahlian di bidang pencucian uang.

Kalau saya masuk di KPK atau instansi tertentu maka saya tidak bisa bersikap leluasa. Saya tetap ingin ngajar dan membagi keilmuan. Saya juga masih punya lah sedikit kiat untuk penegakan hukum dan keilmuwan terkait dengan korupsi serta pencucian uang. Saya berpikir akan lebih bermanfaat kalau ada di luar institusi tersebut.

Ketika saya ditawari jadi pansel, ya saya bersedia gitu saja. Tapi, itu kan seminggu sebelumnya. Pas hari diumumkan saya sudah lupa. Tiba-tiba salah satu media menanyakan ke saya soal tanggapan saya yang dipilih jadi ketua pansel. Saat itu, saya jawab, "Saya belum baca (pengumuman itu)". Apalagi masa sekarang kan banyak informasi hoaks. Saya santai saja, apalagi juga lupa. 

Lagipula pansel yang 5 tahun lalu dan sekarang itu ditetapkannya dengan Keppres dan ditunjuk langsung oleh Presiden. Artinya, dipercaya oleh Presiden. Sementara, pansel periode pertama dan kedua kan SK nya dibuat oleh Kementerian Hukum dan HAM. Karena dipercaya oleh Presiden, ya saya ingin berbakti kepada negara melalui pansel itu. 

Baca Juga: Dituding Punya Kepentingan, Pansel KPK: Kami Tetap Independen

2. Ketika Anda dicalonkan, Anda tidak tahu nanti akan bekerja dengan siapa saja?

Gak tahu. Posisinya nanti ditunjuk sebagai apa juga gak tahu. Apakah nanti akan ditunjuk sebagai anggota atau ketua, saya tidak tahu apa-apa.

Jadi, karena saya ingin membantu Pak Jokowi dan menghasilkan pimpinan KPK yang lebih baik. Meskipun ICW (Indonesia Corruption Watch) mengatakan komisioner KPK yang dihasilkan dari pansel sebelumnya paling lemah, sehingga tidak pantas anggota pansel sebelumnya dipilih lagi, ya tidak pantas juga berkata begitu. 

Lalu yang pantas siapa? ICW? Padahal, yang saya sayangkan kalau memang ingin mengkritik ya silakan, tapi jangan semua anggota pansel. Kalau menurut saya lebih baik mengkritiknya secara objektif. 

Kan memang yang ada masalah dan disorot 4 orang. Tetapi kan yang lainnya juga ada yang bisa. Tapi, yang dikritik malah semuanya. Sehingga, seolah-olah bagi masyarakat sipil antikorupsi ya saya dinilai tidak pantas (ada di pansel). Padahal saya dapat ucapan selamat banyak sekali. Mulai dari menteri, Ketua DPR, dari banyak sekali pihak. 

Alasan keberatan saya yang dipilih karena saya masuk ke dalam tim ahli RKUHP yang menyetujui UU Tipikor. Padahal tidak (begitu). Mereka juga keliru dengan menyebut saya tim dari pemerintah. Padahal, saya adalah counterpartnya pemerintah. Di situ saja mereka sudah salah. 

Dan mereka mengatakan saya tidak memiliki semangat pemberantasan korupsi. Padahal, yang suka ke pengadilan dan dijadikan saksi ahli, lalu ngotot agar kasus korupsi juga dikenakan pasal TPPU lalu menang, itu saya. Masak saya dibilang tidak memiliki semangat pemberantasan korupsi? 

Mereka juga mengatakan kalau tidak ada satu pun anggota di pansel yang tahu soal manajerial di KPK. Saya dan Bu Diani (Sadia Wati) masuk ke tim rencana aksi KPK sudah sejak zaman Pak SBY. Bagaimana badan KPK dibentuk itu, justru kami sudah ada di sana. Mereka malah belum ada waktu itu. 

Jadi, saya agak kecewa dengan cara menuduh dan menjatuhkan reputasi saya dengan menyebut saya tidak memiliki semangat pemberantasan korupsi. Rasanya semula saya ingin menuntut mereka (ke jalur hukum). 

3. Tapi kritik serupa kan juga sudah pernah Anda dengar ketika ada di pansel 5 tahun yang lalu kan?

Gak. Makanya aneh juga memang. Kalau kritik yang sebelumnya kan disebutnya kami ini kumpulan ibu-ibu arisan. Bias gender, yang penting perempuan. 

Ada juga sih anggota DPR yang mengatakan kalau saya sama sekali tidak tahu soal korupsi. Tapi, kan itu anggota DPR. Anehnya dari beberapa orang yang sekarang mengkritik, justru sebelumnya setuju kalau saya yang maju sebagai komisioner KPK. Kan aneh?

Kritik lain dari mereka adalah pansel kali ini adalah pansel paling buruk dan komisioner KPK yang dihasilkan adalah komisioner yang paling lemah. Itu menurut mereka. Sehingga, anggota pansel sebelumnya tidak layak terpilih lagi. Padahal, mereka lupa yang menentukan (anggota pansel) itu Presiden bukan mereka (masyarakat sipil antikorupsi).

Baca Juga: Pansel: Proses Pendaftaran Calon Pimpinan KPK Dimulai 17 Juni - 4 Juli

4. Apakah semua kritik itu menganggu kinerja Anda dan anggota pansel lainnya?

Gak, saya gak peduli lah (dengan kritik itu). Semoga tidak terpengaruh. Dengan adanya kritik-kritik ini, kami dalam bekerja kan akan jauh lebih hati-hati. 

Saya ingin sampaikan ke mereka yang dipilih oleh Presiden itu adalah pansel bukan komisioner. Sementara, dalam pandangan mereka seolah-olah persyaratan yang harus kami miliki seperti yang dimiliki oleh komisioner KPK. Itu kan berbeda.

Jadi, saya menilainya sebagai bagian dari kebebasan berekspresi mereka saja. Nyatanya kami tetap jalan. Tapi, harus saya akui kerjanya berat sekali karena waktunya mepet banget. Begitu lantik, puasa, kemudian ada cuti bersama. Kami kan berharapnya bisa mendapat calon-calon yang cukup banyak dan bagus. Jadi, butuh waktu yang cukup. 

5. Yang Anda maksud jumlah calon cukup banyak itu berapa? Apakah ada kuota tertentu yang harus dipenuhi?

Gak. Tapi, dari pengalaman di pansel sebelumnya karena yang lolos terlalu sedikit dan sebagian besar tidak bagus akhirnya kami perpanjang (waktu pendaftarannya) dan itu tidak dilarang oleh UU. Saya tidak berharap diperpanjang juga untuk proses pendaftaran kali ini. 

Tapi, kalau memang yang masuk (pendaftarnya) hanya sedikit, maka mau tidak mau harus diperpanjang (waktu pendaftarannya). 

6. Dalam pandangan Anda sebagai ketua pansel, mengapa orang tidak begitu tertarik untuk menjadi komisioner KPK? Padahal, isu korupsi menjadi kepentingan publik?

Yenti Garnasih: Jangan Ribut Soal Pansel, Musuh Kita Itu Koruptor!(Profil Yenti Garnasih) IDN Times/Rahmat Arief

Kalau yang mendaftar itu, kalau yang saya lihat, mohon maaf ya, hanya coba-coba. Job seeker banyak. Tapi, yang memahami, tahu itu kadang-kadang gak mau. 

7. Menurut Anda, mereka yang paham itu enggan mendaftar karena tahu risiko pekerjaannya besar atau ada hal yang lain?

Misalnya saya. Saya kan sudah sering didorong banget untuk ikut daftar. Tapi, saya khawatir ketika proses fit and proper test malah di BL (black list). 

Belum lagi kalau sebagai capim itu kan dicari-cari (celah dan kesalahan di masa lalu). Seleksi itu kan nanti banyak masukan, atau dicari kesalahan-kesalahan di masa lalu. 

8. Berarti, cara bekerja pansel memang begitu, mencari rekam jejak dan kalau ditemukan celah dibuka?

Ya, memang aturannya begitu. Jadi, harus membuka situs untuk menampung masukan dari masyarakat. Apa pun boleh disampaikan. Memang harus seperti itu kan. Track record-nya kan harus dibongkar.

9. Jadi, karena tidak semua orang merasa nyaman ketika rekam jejaknya harus diungkap semua ke publik?

Ya, itu bisa jadi salah satunya. Kemudian, kami merekrut seseorang untuk ditempatkan di status tinggi. Selain itu menjadi komisioner kan pekerjaannya berat sekali.

Tapi, saya pikir pasti banyak yang bisa (jadi komisioner KPK) dan mumpuni. Gak masalah lah. Kalau memang ada persyaratan seperti ini ya diikuti saja. 

10. Anda sendiri enggan mendaftar menjadi komisioner KPK apakah karena risiko keamanan, di mana pimpinan kerap mendapat tekanan dan ancaman?

Semua pekerjaan itu kan ada risikonya. Tapi, memang passion saya gak ke sana. Saya memang passion-nya lebih ke pengembangan ilmu. Bagaimana sih seharusnya pemberantasan, pencegahan korupsi di Indonesia. 

Bagaimana sih posisi KPK di suatu negara. Bagaimana memberdayakan penegak hukum yang ada di luar KPK. Jadi, saya merasa lebih nyaman ada di perguruan tinggi dan memberikan lebih banyak input. 

Saya kan tidak hanya mengajar di kampus, tetapi juga sering diminta inputnya oleh media sebagai bagian dari pengabdian masyarakat. Saya rasa passionnya di sana. 

Kalau dulu saya kan memang segan harus berhadapan dengan DPR. Tapi, mudah-mudahan sekarang gak. Mudah-mudahan di DPR lebih seneng kok. 

Tapi, kalau UU-nya diubah gak ada seleksi dan pimpinan KPK ditunjuk oleh Presiden, saya sih bersedia saja. Bukan berarti gak berani karena ada risiko (keamanan).

11. Tetapi Anda juga mendorong agar capim KPK tidak hanya berasal dari internal KPK saja?

Yenti Garnasih: Jangan Ribut Soal Pansel, Musuh Kita Itu Koruptor!(Daftar pimpinan KPK dari masa ke masa) IDN Times/Rahmat Arief

Ya, saya juga menyemangati mereka. Ayolah yang punya potensi bagus, dan sesuai dengan UU di dalam penjelasannya komisioner KPK itu harus ada unsur dari pemerintah dan masyarakat. Jadi, kan harus ada unsur dari pemerintah. Salah kalau mengatakan polisi yang terbaik sebaiknya gak ikut seleksi capim KPK dan sebaiknya hanya di Polri. Itu keliru. 

Kami justru membuat undangan meminta kepada beberapa lembaga untuk mengirimkan calon-calon terbaiknya. Kita bekerja sesuai dengan aturan hukum saja deh bukan semangat yang dimaui oleh mereka itu apa. 

12. Apa karena selama ini ada keluhan dari internal KPK bahwa kinerja mereka sering kali dihambat oleh pihak dari kepolisian?

Yang menghambat itu gimana? Gimana bisa dihambatnya? Kan penyidik KPK itu juga ada yang dari polisi. Sejak awal kan sudah ada penyidik dari polisi, lalu dibantu jaksa.

Jangan karena ada suatu pengalaman atau peristiwa lalu menginginkan aturan diubah. Itu malah salah dong. Peristiwanya yang kemudian gak boleh terjadi, bukan malah sistem di UU nya harus diubah, itu kan gak bisa seperti itu. 

13. Bagaimana dengan kekhawatiran lainnya, pimpinan KPK dari kepolisian justru malah loyal ke institusi sebelumnya, bukan ke KPK?

Gak lah. Saya pikir loyalitasnya pasti di situ. Karena kan mereka sama-sama melihat walaupun ini adalah lembaga independen, tetapi kan lembaga formal. Pembentukannya pun atas keputusan Presiden.

Jadi, sebetulnya saya yakin siapa pun yang bekerja di situ pasti bekerja untuk negara dan kepentingan pemberantasan korupsi di negara ini.

Baca Juga: Pansel Bantah Siapkan Jatah Kursi untuk Capim KPK dari Polri

14. Hal apa yang akan Anda buat sebagai ketua di pansel saat ini yang berbeda dengan 5 tahun lalu?

Kan agak beda, kalau dulu kan isi panselnya perempuan. Kalau sekarang diisi pria yang senior. Saya akui kerjanya lebih mudah dan saya memang membuat pola kerja yang berbeda. Saya ikuti aturan sesungguhnya gimana.

Kita kan sekretariatnya di Setneg dan anggarannya dari negara. Jadi, saya tanya anggaran berapa dan untuk kepentingan apa saja. Saya berusaha lebih efisien, efektif tanpa harus keluar dari jalur UU. Ya, minimal ada bagusnya juga sih kalau ada anggota pansel sebelumnya yang terlibat di pansel sekarang.

Selain sudah punya pengalaman, kan kita tahu dulu seperti ini, yang perlu diperbaiki itu ini. Termasuk kita bisa belajar dari kegagalan tertentu misalnya tentang evaluasi penilaian makalah. 

Kemudian, kami juga punya pengalaman buruk ketika seleksinya sudah mengerucut sekali tapi capim KPK nya malah dijadikan tersangka (oleh Bareskrim Mabes Polri). Jadi, kami mengevaluasi, di mana kok bisa kami sampai kebobolan?

15. Letak masalahnya di mana sampai pansel kebobolan? Apa karena tidak teliti melihat rekam jejaknya?

Di rekam jejak. Tapi, perasaan waktu itu (penelusuran) rekam jejak dari polisi tidak menunjukkan kalau yang bersangkutan ada kasus korupsi. Tapi, tiba-tiba ada. Jadi, saya gak tahu. 

Barang kali ketika di tahap penelusuran rekam jejak belum ada barang bukti untuk menentukan yang bersangkutan sebagai tersangka. Saya sebagai orang yang mempelajari hukum pidana saya sangat tahu kondisi itu memungkinkan. 

Jadi, saya berpikir untuk seleksi nanti meskipun ada capim yang belum jadi tersangka kalau sudah sudah ada bukti-bukti awal maka lebih enggak (diloloskan). Daripada mengulang situasi seperti kemarin. 

Seharusnya kan bisa diganti orang lain ketika sudah lolos di tahap tertentu. Dengan rekam jejak yang lebih bersih. Nah, itu jadi pengalaman kami. 

Kami kan juga harus sosialisasi ke daerah. Saya nanti akan membuatnya anggota pansel ke daerah di waktu yang bersamaan. 

16. Ke daeah mana saja pansel akan melakukan sosialisasi?

Yenti Garnasih: Jangan Ribut Soal Pansel, Musuh Kita Itu Koruptor!(Ketua Pansel Capim KPK Yenti Garnasih) IDN Times/Santi Dewi

Kami akan berkunjung ke 8 kota, antara lain ke Malang, Surabaya, Pekan Baru, Medan, Makassar. Tergantung yang mengundang. Jadi, saya buat masing-masing anggota pansel berkunjung ke 8 daerah itu di hari yang sama. Jadi, keesokan harinya laporannya masuk. 

Itu pola saya saja dan dalam rapat disetujui. Saya menerapkan demokrasi saja. Saya punya ide berdasarkan pengalaman di masa lalu tapi tetap saya tawarkan setuju atau tidak. Kebetulan ide itu disetujui. 

Tapi, permasalahannya kita berpacu dengan waktu. Karena kami dipilihnya ketika di bulan puasa setelah itu ada kericuhan, jadi tiga hari kami tidak bisa menembus ke Setneg karena masuk area ring 1. Jadi, kami gak bisa bekerja. 

Kemudian, kami harus sosialisasi 14 hari kerja dan itu perlu dihitung, persyaratan. Itu kan banyak yang harus disiapkan. 

Setelah libur Lebaran, orang kan harus ambil SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian), surat dokter. Itu harus perhitungkan itu supaya calon pelamar punya waktu yang cukup untuk menyiapkan itu semua, supaya animonya besar. Kalau kita mau nekat-nekatan malah jadi sedikit. Jadi, banyak yang harus kami pikirkan karena baru bekerja tapi sudah terpotong waktu libur. 

Jadi, kami atur mulai masa persiapan hingga belum diumumkan pendaftaran itu sekitar 3 minggu, kemudian untuk pendaftaran sendiri 2 minggu. Itu sudah satu bulan. Jadi, kami memikirkan supaya ada waktu yang cukup untuk memenuhi persyaratan dan itu sesuai UU. 

17. Apa yang Anda cari dari calon pimpinan KPK periode mendatang?

Kami ingin mencari calon pimpinan yang akan menggunakan pasal TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) nya lebih banyak dan lebih mau agar melakukan asset tracing. Jangan seperti sekarang di kasus BLBI, baru dilakukan pelacakan aset. 

18. Apa saja yang dilakukan oleh pansel sejak Keppres diserahkan oleh Moeldoko hingga sebelum dimulainya pendaftaran 17 Juni?

Kami menyiapkan surat, membuat pemberitahuan untuk media, sounding ke lembaga yang akan dikunjungi, lembaga untuk melakukan penelurusan rekam jejak, kami kan juga perlu menyiapkan untuk proses lelang lembaga yang melakukan profile assessment. Kan yang dipilih harus yang paling bagus tapi murah karena pakai uang negara.

Terutama proses yang penting itu sosialisasi, ngajak. Seperti saya di kampus mulai gencar untuk melakukan pendekatan. Kalau ada doktor yang bagus saya deketin untuk mau ikut mendaftar. 

Saya juga mendorong ke lembaga kejaksaan untuk mengirimkan calon-calon terbaiknya. Kalau periode kemarin kan gak ada yang daftar dari kejaksaan ya. Menurut saya justru itu malah jadi masalah. Karena untuk KPK yang merupakan lembaga penegak hukum yang isinya penyidik dan penuntut umum, paling tidak harusnya ada yang memenuhi syarat. 

Periode kemarin kan jaksanya tidak memenuhi persyaratan jadi gak terpilih. Kalau ada jaksa sebagai pimpinan, minimal ketika menyusun surat dakwaan dan tuntutan lebih kuat lah. Walaupun dibuat oleh para penyidik, tapi kan jam terbang juga penting. 

Kemarin yang mendaftar kan sudah beberapa kali ditugaskan di Kejati dan pengalaman seperti itu penting. Tapi, karena tidak ada yang memenuhi nilainya ya tidak ada. Lagipula UU mengharuskan ada unsur dari pemerintah itu kan lebih ideal. 

KPK itu kan lembaga yang berfungsi sebagai trigger mechanism atau pemicu supaya lebih maju. Tapi, pada kenyataannya yang ditangani oleh KPK malah kasus yang tinggi-tinggi (nilai kerugian keuangan negara). Seharusnya kalau memicu, justru bukan kasus yang tinggi nilai kerugian keuangan negaranya. Karena kan salah satu fungsinya sebagai pemicu. 

Sementara, UU KPK di pasal 6,7 dan 11 justru mengatakan kasus-kasus yang besar, sorotan publik malah mereka yang tangani. Itu kan bukan trigger mechanism

Mereka mengatakan tidak boleh ada jaksa dan polisi sebagai pimpinan KPK. Tapi, saya juga mengatakan tidak boleh dilarang apabila ada jaksa dan polisi yang hendak mengirimkan wakil terbaiknya. 

19. Apa pendapat Anda terhadap pendapat yang tidak mau Polri dan jaksa menjadi pimpinan KPK karena tidak ada lagi rasa kepercayaan kepada unsur pemerintah?

Gak bisa ya itu dilakukan karena kita kan tidak boleh emosional. Lagipula itu kan hanya persepsi segelintir orang saja, karena tak memahami betul aturannya. 

Boleh saja orang-orang di luar pemerintah menjadi pimpinan KPK, tapi kalau mereka tidak memahami hukum, mau ngapain nanti? Ini yang dilawan adalah koruptor yang luar biasa. Di mana proses hukumnya juga luar biasa sulit. Surat dakwaan disusun secara tepat kan sulit. Itu kan harus benar-benar dipikirkan. 

Ibarat membuat rumah sakit jantung kok tidak ada ahli jantungnya. Kita tidak boleh emosional. Masak sih tidak ada jaksa atau polisi yang lebih baik? Belum tentu juga capim dari unsur masyarakat justru lebih baik. 

UU mengatakan seperti ini (harus ada dari unsur masyarakat dan pemerintah) dan jangan salah ya kita pernah punya pimpinan KPK yang bagus seperti Antasari Azhar. Kasus hukum yang ia alami masih kontroversi, tapi sebagai Ketua KPK, Pak Antasari kan bagus. 

Kita juga sempet punya Pak Ruki (Taufiequrachman Ruki, pimpinan KPK periode pertama). Dia berlatar belakang polisi. Kita punya Bibit (Bibit Samad Riyanto, Wakil Ketua KPK) juga dari polisi. Tidak semua lah (polisi buruk). Tidak boleh menggeneralisasi seperti itu. 

Kalau saya yang memiliki latar belakang sebagai ahli di bidang hukum pidana ya wajar saja. Ini kan lembaga pemerintah, lembaga yang mengikuti anggaran di Bappenas, masak diserahkan begitu saja (ke unsur masyarakat). Mereka juga digaji layaknya ASN walaupun disebutnya khusus kan mereka tetap ASN juga. 

20. Sudah ada nama-nama yang santer terdengar untuk didorong maju jadi capim KPK?

Yenti Garnasih: Jangan Ribut Soal Pansel, Musuh Kita Itu Koruptor!(Wakil Ketua KPK menerima kunjungan pansel calon pimpinan) ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

Belum. Kalau teman-teman saya yang doktor pidana masih pikir-pikir. Mungkin kalau hidupnya terlalu hiruk pikuk juga gak mau. Kami lagi mendorong untuk meyakinkan. 

Belum kedengaran sih. Saya berharap karena di periode kemarin tidak ada jaksa yang lolos, yang sekarang mudah-mudahan ada jaksanya. 

Selain itu penegak hukum ini kan ukurannya sudah jelas dari segi karier dan pengalaman. Kalau yang dari jaksa pernah jadi Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati). Kalau dari kepolisian rata-rata bintang dua. 

Lagipula untuk transfer ilmu pengetahuan dari orang yang duduk di institusi penegak hukum lainnya gak semudah itu. Jadi komisioner apalagi masalah pidana tidak cukup hanya ilmu tapi juga pengalaman. Memerlukan jam terbang. Kalau nanti ada yang dari unsur masyarakat ya mbok jangan kelimanya lah. 

Pesan penting lainnya adalah jangan kita malah ribut sendiri, jangan ribut dengan saya soal pansel ini. Musuh kita itu adalah koruptor. Kita harus memikirkan koruptornya, mereka berafiliasi dengan jabatan-jabatan, para konglomerat yang sedemikian rupa. 

21. Tapi tidak khawatir kah Anda kalau ada capim KPK dari unsur kepolisian dan jaksa justru merupakan titipan lalu bisa melindungi koruptor?

Gak juga, karena kan nanti pengawasannya ketat. Saya kira gak seberani itu lah komisionernya. Justru partisiasi masyarakat untuk mengawasi KPK kan lebih terbuka ketimbang mengawasi polisi dan jaksa. 

Saya juga harus menyampaikan antar lembaga penegak hukum jangan saling curiga lah, terutama ketika memberantas korupsi karena saya sebagai akademisi turut mengikuti perkembangan penegakan kasus korupsi di berbagai lembaga. 

Anda tahu kisaran kasus korupsi di Indonesia per tahun mencapai 1.500 - 2.000 kasus. Korupsi saja setahun. Yang bisa ditangani oleh KPK di luar dari OTT (Operasi Tangkap Tangan) hanya 50 setiap tahun. 

Jadi, mereka (polisi dan jaksa) juga berpengalaman. Pernah tahun lalu 2.000 kasus di seluruh Indonesia yang ditangani polisi dan jaksa. Seharusnya di antara mereka saling menghormati karena punya pengalaman. 

Penyidik korupsi yang ada di kepolisian tidak langsung memulai kariernya dengan jadi penyidik menangani kasus korupsi. Kalau di kepolisian itu, sudah punya jam terbang dulu baru bisa jadi penyidik kasus korupsi. Awalnya mungkin menangani kasus pencurian jemuran dulu, maling-maling kecil. Gak pernah ujuk-ujuk begitu. 

Kita kan memiliki KPK tidak cukup hanya dengan semangat tetapi juga harus menyiapkan perangkat. Tolong fokus dari yang kita bicarakan ini, musuh utamanya adalah koruptor. Jadi, saling bahu membahu jangan ribut sendiri. Seperti misalnya ada masalah tempo hari di Wadah Pegawai. 

Lagipula yang kini bekerja menjadi penyidik di KPK kan dulunya juga ada yang bekerja di kepolisian. Kalau gak dari mana mereka memiliki pengalaman?

Kemudian istilah mengangkat penyelidik menjadi penyidik itu juga istilah yang sangat salah. Gak ada itu penyelidik menjadi penyidik. Mereka keliru ngomongnya. Penyelidik dan penyidik itu sama, gak berbeda. Kalau di luar negeri itu, semua disebut "investigator". KUHAP pun mengaturnya begitu. 

Tahapannya memang ada yang menyelidik (penyelidik), ada tahapan menyidik yang dikerjakan oleh penyidik. Jadi, satu orang bisa mengerjakan dua hal tadi. 

Baca Juga: Pansel Ingin Cari Capim KPK yang Gencar Berantas Tindak Pencucian Uang

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya