Kemenkes: Kasus TBC pada Anak Naik 200 Persen 

Banyak orang tua yang tidak sadar gejala TBC

Jakarta, IDN Times - Kementerian Kesehatan RI melaporkan adanya kenaikan signifikan terkait penyakit tuberkulosis (TBC) pada anak di Indonesia. Prosentasenya pun melebihi 200 persen.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes RI, Imran Pambudi, menuturkan, kenaikan ini terjadi karena banyak orang tua yang tidak menyadari gejala TBC sehingga menular ke anak-anak.

“Tahun 2021, kasus TBC mencapai 42.187. Tahun 2022 ketemu 100.726 kasus. Saat ini naik menjadi 200 persen lebih,” kata Imran Pambudi, dalam acara peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia 2023, Jumat (17/3/2023).

Dari Januari hingga Maret 2023, Kemenkes mendapatkan laporan sudah ada 118.438 kasus TBC di Indonesia.

Baca Juga: TBC Laten dan TBC Aktif, Apa Saja Perbedaannya?

1. Mayoritas diidap oleh kelompok usia produktif

Kemenkes: Kasus TBC pada Anak Naik 200 Persen Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes Imran Pambudi. (IDN Times/Fatmawati)

Dikutip dari laman Kemenkes RI, Sabtu (18/3/2023), berdasarkan Global TB Report tahun 2022, jumlah kasus TBC terbanyak terjadi pada kelompok usia produktif terutama pada usia 25 sampai 34 tahun. Di Indonesia, jumlah kasus TBC terbanyak yaitu pada kelompok usia produktif terutama usia 45 sampai 54 tahun.

Usia tersebut merupakan usia mayoritas orang-orang bekerja. Pemerintah memfokuskan pengendalian TBC bagi para pekerja melalui Permenkes Nomor 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan TBC dan Permenaker Nomor 13 Tahun 2002 tentang Penanggulangan TBC di Tempat Kerja.

“Jumlah kasus TBC sensitif obat berdasarkan jenis pekerjaan tahun 2022 paling banyak dialami oleh buruh sebanyak 54.800 orang, petani 51.900 orang, dan wiraswasta 44.200 orang,” ucap Imran.

Baca Juga: Kemenkes Bantah BPJS Kesehatan di Bawah Menkes dalam RUU Kesehatan

2. Edukasi dan fasilitas kesehatan sangat penting

Kemenkes: Kasus TBC pada Anak Naik 200 Persen ilustrasi penyakit TBC (pexels.com/Monstera)

Imran mengatakan, edukasi sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan penyakit yang masih menjadi momok di Indonesia.

“Edukasi itu sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan TBC karena pengobatannya lama. Kalau TB SO itu 6 bulan minimal, kalau TB RO itu minimal 1 tahun,” tuturnya.

Berdasarkan data kependudukan BPS 2022, lebih dari 80 persen pekerja informal tidak mendapatkan akses ke fasilitas kesehatan. Menurut Imran, ini jadi tantangan bersama bagaimana membuat mereka mempunyai akses yang baik.

Baca Juga: Beda Diagnosa soal Autoimun, Kemenkes: Maaf Dokter Juga Manusia

3. Strategi penanganan TBC di Indonesia

Kemenkes: Kasus TBC pada Anak Naik 200 Persen masker bisa mencegah penularan kuman TBC (unsplash.com/Myriam Zilles)

Dalam Strategi Nasional Eliminasi TBC yang tertuang pada Perpres Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis ada sejumlah strategi mengatasi TBC di Indonesia.

Mulai dari penguatan komitmen, peningkatan akses layanan TBC, optimalisasi upaya promosi dan pencegahan TBC, pengobatan TBC dan pengendalian infeksi, kemudian pemanfaatan hasil riset dan teknologi.

Beberapa kondisi yang meningkatkan risiko infeksi TBC adalah penyakit yang memperburuk imunitas tubuh seperti HIV/ AIDS, diabetes, gangguan gizi, gagal ginjal, alkohol, perokok.

Ventilasi di tempat kerja kurang baik, pencegahan infeksi di tempat kerja yang tidak berjalan, dan APD yang tidak digunakan optimal sampai kebiasaan merokok akan berisiko tinggi terinfeksi TBC.

Gejala seseorang terinfeksi TBC adalah batuk-batuk berdahak, batuk berdarah, sesak napas, lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, berkeringat malam hari, dan demam meriang.

Baca Juga: Dokter di Papua Tewas Kondisi Mulut Berbusa, Menkes Akan Temui Kapolri

Topik:

  • Deti Mega Purnamasari

Berita Terkini Lainnya