Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Jakarta, IDN Times - Majelis Panel Hakim yang dipimpin Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra didampingi Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani kembali menggelar sidang gabungan tiga perkara mengenai pengujian formil dan/atau materil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).

Tiga perkara dimaksud yakni Perkara Nomor 45/PUU-XXIII/2025, Perkara Nomor 55/PUU-XXIII/2025, Perkara Nomor 69/PUU-XXIII/2025, dan Perkara Nomor 79/PUU-XXIII/2025. Dalam sidang kedua ini, para Pemohon masing-masing perkara menyampaikan perbaikan permohonan. Para Pemohon kompak mempermasalahkan proses legislasi pengesahan UU TNI.

1. Tidak menggunakan mekanisme carry over

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia (IDN Times/ Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Terdapat perubahan Pemohon dalam Perkara Nomor 45/PUU-XXIII/2025 menjadi Muhammad Alif Ramadhan, Kelvin Oktariano, Mohammad Syaddad Sumartadinata, Fiqhi Firmansyah, dan Imam Morezki Bastanta Manihuruk. Para Pemohon menyebut pembentukan UU 3/2025 tentang Perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tidak menggunakan mekanisme carry over.

“Karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar salah satu kuasa hukum Pemohon, Nicholas Indra di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.

Mekanisme carry over diatur Pasal 71A UU 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Dalam hal pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) telah memasuki pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pada periode masa keanggotaan DPR saat itu, hasil pembahasan RUU tersebut disampaikan kepada DPR periode berikutnya dan berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden, dan/atau DPD, RUU tersebut dapat dimasukkan kembali ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka menengah dan/atau Prolegnas prioritas tahunan.

Pemohon menjelaskan, tahapan pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam UU P3 harus diikuti secara utuh untuk menjamin legalitas dan legitimasi produk hukum yang dihasilkan, sehingga apabila mekanisme carry over tidak dapat diterapkan akibat ketiadaan informasi dan kesepakatan sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 71A UU P3, maka proses legislasi harus dimulai dari tahapan awal seperti perencanaan melalui Prolegnas dan penyusunan ulang Draf RUU TNI.

2. Pembentukan UU TNI tidak dilandasi kebutuhan hukum masyarakat

Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto ketika mengikuti rapat komisi I DPR. (www.instagram.com/@sjafrie.sjamsoeddin)

Kemudian, Perkara Nomor 55/PUU-XXIII/2025 dimohonkan karyawan swasta Christian Adrianus Sihite, Noverianus Samosir, dan Pemohon tambahan seorang mahasiswa Agam Firdaus. Para Pemohon mengatakan, pembentukan UU 3/2025 bukan dilandasi kebutuhan hukum masyarakat dan bukan juga untuk mengatasi kekosongan hukum.

Para Pemohon menilai proses penyusunan RUU TNI tergesa-gesa karena DPR tidak mengutamakan sejumlah RUU yang lebih berpihak kepada rakyat seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Masyarakat Adat, dan RUU Perampasan Aset. Sejumlah RUU tersebut justru terbengkalai selama bertahun-tahun, berbeda dengan RUU TNI yang di mana DPR merespons dengan sangat cepat dan menyetujui usulan RUU TNI hanya dalam jangka waktu lima hari.

Kedua perkara tersebut, termasuk Perkara Nomor 69/PUU-XXIII/2025 yang dimohonkan para mahasiswa di antaranya Moch Rasyid Gumilar, Kartika Eka Pertiwi, Akmal Muhammad Abdullah, Fadhil Wirdiyan Ihsan, dan Riyan Fernando memiliki petitum yang serupa. Para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan UU TNI tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

3. Pemohon juga gugat sejumlah pasal di UU TNI

14 kementerian atau lembaga yang bisa diisi oleh prajurit TNI aktif sesuai di dalam UU baru TNI. (IDN Times/Aditya Pratama)

Sementara itu, selain pengujian formil, Perkara Nomor 79/PUU-XXIII/2025 yang dimohonkan mahasiswa yakni Endrianto Bayu Setiawan, Raditya Nur Syabani, Felix Rafiansyah Affandi, Dinda Rahmalia, Muhamad Teguh Pebrian, dan Andrean Agus Budiyanto juga mengajukan permohonan pengujian materi sejumlah pasal dalam UU TNI. Pemohon mengubah pasal-pasal yang diuji menjadi Pasal 7 ayat (4), Pasal 47 ayat (1), dan Pasal 47 ayat (3) UU TNI.

Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 7 ayat (4) UU TNI bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "Pelaksanaan operasi militer selain perang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur lebih lanjut dengan undang-undang"; menyatakan Pasal 47 ayat (1) UU TNI bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "Prajurit dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga yang membidangi kesekretariatan militer presiden, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung"; serta menyatakan Pasal 47 ayat (3) UU TNI bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "Prajurit yang menduduki jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas ketentuan undang-undang serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan kementerian dan lembaga".

Editorial Team