Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Gugatan di MK, One Man One Vote Harus Berlaku Saat DPR Sahkan RUU

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Intinya sih...
  • Pemohon gugat UU MD3 agar sistem one man one vote berlaku dalam pengesahan RUU di DPR.
  • Pemohon juga menguji Pasal 171 ayat (1) huruf b dan Pasal 229 UU MD3 terkait pelaksanaan rapat di DPR.
  • Sistem one man one vote dianggap penting untuk memastikan representasi rakyat yang plural dalam proses legislasi.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Pemohon dalam gugatan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) meminta agar sistem mekanisme one man one vote harus berlaku dalam pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) di DPR.

Pihak Pemohon dalam Perkara Nomor 42/PUU-XXIII/2025 ini, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak mengatakan, pengambilan suara untuk menyatakan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota DPR secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna tidak efektif.

Sebab, menurut dia, anggota DPR wajib untuk menggunakan hak suara selaku wakil rakyat ketika pembicaraan tingkat II dalam rangka pengambilan keputusan oleh DPR dan Pemerintah dalam rapat paripurna DPR.

1. Pasal 171 ayat (1) huruf b UU MD3 diuji

Sejumlah polisi berjaga saat berlangsung unjuk rasa terkait Revisi UU TNI di depan kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (20/3/2025). (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S)
Sejumlah polisi berjaga saat berlangsung unjuk rasa terkait Revisi UU TNI di depan kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (20/3/2025). (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S)

Zico yang berprofesi sebagai advokat menambahkan mahasiswa Universitas Jenderal Achmad Yani Zidane Azharian Kemal Pasha sebagai Pemohon lainnya dalam perkara ini. Dalam perbaikan permohonan ini, Pemohon pun mengubah pasal yang diuji.

Pemohon menguji Pasal 171 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang berbunyi, “(1) Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan oleh DPR dan Pemerintah dalam rapat paripurna DPR dengan kegiatan: pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiaptiap fraksi dan anggota DPR secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan.”

Menurut para Pemohon, sistem pengambilan keputusan sebagaimana diatur pasal tersebut yang memberikan kewenangan kepada fraksi untuk menyatakan persetujuan terhadap RUU seharusnya diarahkan para penerapan prinsip one man one vote. Di mana setiap anggota DPR memiliki dan diwajibkan menggunakan suara secara individu sebagai wakil rakyat.

Prinsip ini mencerminkan asas perwakilan yang demokratis dan bertanggung jawab. Sebab, anggota DPR tidak semata-mata menjadi perpanjangan tangan fraksi atau partai politik, melainkan bertindak atas mandat rakyat yang memilihnya secara langsung dalam pemilihan umum (pemilu).

2. Sistem kolektif berbasis fraksi lebih dominan dianggap menciptakan jarak dengan rakyat

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia (IDN Times/ Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia (IDN Times/ Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Sistem one man one vote dalam lembaga legislatif adalah prasyarat utama untuk menjamin suara yang dihasilkan dalam proses legislasi benar-benar mencerminkan representasi rakyat yang plural. Ketika sistem kolektif berbasis fraksi lebih dominan, maka terjadi pemusatan kewenangan dalam struktur internal partai yang mengabaikan dinamika dan keberagaman pandangan dalam parlemen.

Dominasi fraksi dalam mekanisme pengambilan keputusan legislatif menciptakan jarak antara anggota DPR dengan pemilihnya. Akibatnya, anggota legislatif tidak lagi merasa bertanggung jawab secara langsung kepada rakyat, tetapi lebih loyal kepada kepentingan partai atau elite fraksi. Hal ini sangat berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi substansial karena memperlemah prinsip akuntabilitas dan keterwakilan.

Untuk itu dalam petitumnya Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 171 ayat (1) huruf b UU MD3 sepanjang frasa “pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota DPR” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai tiap-tiap fraksi dapat memberikan pandangan fraksi, sedangkan persetujuan dan penolakan wajib diberikan oleh masing-masing anggota DPR melalu voting (one man one vote) dalam Rapar Paripurna Pembahasan Rancangan Undang-Undang.

3. Pasal 229 UU MD3 juga diuji, DPR wajib rapat di Gedung DPR

Sejumlah polisi berjaga saat berlangsung unjuk rasa terkait Revisi UU TNI di depan kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (20/3/2025). (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S)
Sejumlah polisi berjaga saat berlangsung unjuk rasa terkait Revisi UU TNI di depan kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (20/3/2025). (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S)

Selain itu, para Pemohon juga menguji Pasal 229 UU MD3 agar norma tersebut dimaknai semua rapat di DPR wajib dilakukan di Gedung DPR, kecuali terdapat keadaan tertentu yang menyebabkan fasilitas di seluruh ruang rapat di gedung DPR tidak dapat digunakan atau berfungsi dengan baik dan apabila dilakukan untuk kepentingan rapat dengar pendapat di daerah-daerah tertentu demi kepentingan partisipasi yang bermakna dan dalam pelaksanaan Rapat di Luar Gedung DPR tersebut, DPR wajib memberi informasi ke hadapan publik alasan pelaksanaan rapat tersebut.

Permohonan tersebut berawal dari kontroversi pembahasan TNI yang dibahas DPR di hotel mewah beberapa waktu lalu, alih-alih di gedung DPR yang telah juga telah dilengkapi berbagai fasilitas. Banyaknya fasilitas yang sudah diberikan kepada DPR dengan dibangun menggunakan uang rakyat nyatanya tidak mampu membuat DPR untuk berfokus melaksanakan rapat di gedung DPR yang menjadi rumahnya.

Di sisi lain, Pemohon juga menguji Pasal 347 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sepanjang frasa “secara serentak” agar dimaknai pemungutan suara Pemilu diselenggarakan secara serentak menurut jenis pemilunya, yaitu pemilu legislatif dan pemilu eksekutif, yang masing-masing diselenggarakan setiap lima tahun sekali, dan pelaksanaannya dilakukan dalam waktu yang berbeda dengan jarak waktu 2,5 (dua setengah) tahun antara pemilu legislatif dan pemilu eksekutif. Menurut para Pemohon konsep keserentakan tidak harus dipahami secara simultan dalam hari dan tanggal yang sama melainkan dapat dimaknai sebagai keserentakan dalam siklus kekuasaan yang seimbang.

Perkara ini disidangkan Majelis Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Menurut Guntur, penambahan Pemohon akan dilaporkan kepada para hakim konstitusi lainnya dalam Rapat Permusyawaratan Hakim.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Agustiar
Yosafat Diva Bayu Wisesa
Dwi Agustiar
EditorDwi Agustiar
Follow Us