Polemik Babi dalam AstraZeneca, Epidemiolog: Pemerintah Harus Jujur
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Pakar epidemiologi Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono, angkat bicara terkait polemik kehalalan vaksin AstraZeneca. Menurut dia, pemerintah harus mensosialisasikan dan terbuka kepada publik mengenai komposisi vaksin.
Kunci utama untuk mensukseskan program vaksinasi nasional adalah transparansi pemerintah, termasuk masyarakat harus diberi tahu bila salah satu kandungan AstraZeneca adalah tripsin babi. Hal itu tentu menjadi masalah karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam.
“Pemerintah sudah mengirim AstraZeneca ke Indonesia Timur, yang sebagian besar bukan muslim. Ini juga untuk mengurangi keragu-raguan soal kehalalan. Tapi kalau ada muslim, pemerintah harus jujur, yang sebelah sini vaksin Sinovac, yang sebelah sini AstraZeneca, silakan memilih (vaksinnya) dan itu dimungkinkan,” kata Pandu dalam rilis hasil survei Indikator Politik Indonesia terkait Suara Anak Muda tentang Isu-Isu Sosial Politik Bangsa, Minggu (21/3/2021).
1. Keamanan dan manfaat vaksin paling penting
Sebagai praktisi kesehatan, alumni University of California Los Angeles itu menyampaikan, perkara yang paling penting dalam penggunaan vaksin adalah kebermanfaatan dan keamanan.
Pernyataan itu diutarakan sebagai tanggapan atas kasus kematian di Denmark, akibat penggumpalan darah setelah disuntikkan vaksin AstraZeneca. Namun, setalah dilakukan investigasi lebih lanjut, termasuk oleh World Health Organization (WHO), pembekuan darah sama sekali tidak terkait dengan vaksin buatan Inggris-Swedia.
“Ini masalah (vaksin AstraZeneca) halal dan tayyib, jadi semacam keamanan dan kehalalan. Kehalalan itu tidak mudah memang dalam teknologi pembuatan vaksin. Tapi kebanyakan negara bukan melihat kehalalannya, tapi keamanannya. Kalau sudah aman pasti bermanfaat,” ujar dia.
Baca Juga: IDAI: Pada Hasil Akhir Proses Vaksin, Enzim Babi Sudah Tak Ditemukan
2. Isu halal dan haram mempengaruhi keinginan masyarakat untuk divaksinasi
Editor’s picks
Pada survei kali ini yang melibatkan 1.200 Generasi Z di seluruh Indonesia, Indikator tidak mengajukan pertanyaan seputar apakah isu kehalalan vaksin mempengaruhi keinginan generasi muda untuk divaksinasi.
Namun, berkaca dari survei bulan lalu, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi berasumsi, keinginan generasi muda untuk divaksinasi juga sangat bergantung pada kehalalan vaksin.
“Kami tidak data punya untuk anak muda. Tapi kami asumsikan 81 persen menganggap kehalalan penting, dan itu ditanyakan kepada masyarakat umum, baik muda dan tua, kemunginan besar juga buat anak muda di Indonesia Ini jadi krusial,” ungkap Burhan.
3. Generasi muda relatif lebih ingin divaksinasi
Temuan lain dari survei yang dilakukan pada periode 4-10 Maret 2021 adalah Generasi Z yang berusia 17-21 tahun ternyata lebih percaya terhadap vaksin daripada masyarakat umum. Persentase mereka yang ingin divaksinasi juga tinggi.
Diketahui bahwa 73,2 persen Generasi Z bersedia divaksinasi. Angkanya cukup timpang dengan masyarakat umum berdasarkan survei bulan lalu, yaitu 54,1 persen. Selanjutnya, 73,7 persen responden mengaku percaya dengan efikasi vaksin corona. Adapun perbandingan dengan masyarakat umum pada bulan lalu adalah 53,5 persen.
“Jadi ini kabar baik buat kita, bahwa Generasi Z lebih percaya dengan sains dan vaksin,” ujar Burhan, menambahkan keterangan survei dengan tingkat kepercayaan 95 persen itu.
Baca Juga: AstraZeneca Tanggapi MUI soal Vaksinnya Mengandung Produk Turunan Babi