MK Bersama DPR dan Presiden Bahas Gugatan Proporsional Terbuka

Persidangan lanjutan digelar pekan depan

Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) RI memastikan akan menggelar sidang lanjutan terkait gugatan terhadap sejumlah pasal, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), khususnya pembahasan soal proporsional terbuka.

Juru Bicara MK, Fajar Laksono, memastikan sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan keterangan dari DPR, Presiden Joko "Jokowi" Widodo, dan KPU.

Baca Juga: Perludem: Gugatan Sistem Proporsional Tertutup Bukan Ranah MK 

1. Sidang digelar pada pekan depan

MK Bersama DPR dan Presiden Bahas Gugatan Proporsional TerbukaIDN Times/Muhamad Iqbal

Fajar memastikan sidang tersebut direncanakan akan digelar pada pekan depan, tepatnya pada Selasa, 17 Januari 2022.

"Sidang ketiga dengan agenda mendengarkan keterangan DPR, Presiden, dan pihak terkait (KPU) digelar Selasa, 17 Januari 2023 pukul 11.00 WIB," ucap dia.

Baca Juga: 8 Parpol yang Tolak Pemilu Proporsional Tertutup Bakal Bertemu Besok

2. Pendapat sejumlah pihak jadi masukan MK

MK Bersama DPR dan Presiden Bahas Gugatan Proporsional TerbukaGedung Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia (IDN Times/ Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Fajar juga menuturkan, pendapat dari sejumlah pihak tersebut jadi pertimbangan dan masukan MK dalam mengambil putusan uji materiil.

"Ya pastinya, ini kan sudah memasuki sidang pemeriksaan perkara," ujar dia.

Baca Juga: Tolak Pemilu Proporsional Tertutup, AHY: Hak Rakyat Jangan Dirampas!

3. Diterima atau dimentahkannya gugatan tergantung dinamika persidangan

MK Bersama DPR dan Presiden Bahas Gugatan Proporsional TerbukaIlustrasi Pemilu (IDN Times/Arief Rahmat)

Saat ditanya kapan batas waktu persidangan selesai hingga MK menerbitkan putusan, Fajar menjelaskan hal itu bergantung pada dinamika persidangan.

"Penyelesaian atau lama tidaknya persidangan bergantung pada dinamika persidangan," imbuh dia.

Sebagaimana diketahui, aturan mengenai sistem pemilihan umum sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 diuji secara materiil ke MK. Gugatan yang dilakukan oleh sekelompok orang itu tercatat menjadi Pemohon Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 tersebut. 

Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini disampaikan Sururudin selaku kuasa hukum dalam sidang perdana perkara tersebut pada Rabu (23/11/2022).

Para Pemohon menilai berlakunya norma-norma pasal tersebut berkenaan dengan sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak, seperti dibajak caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis kepada partai politik.

Akibatnya, pemohon menganggap saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri. Oleh karena itu, pihaknya menyarankan seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.

Selain itu, menurut pemohon bahwa pasal-pasal a quo telah menimbulkan individualisme para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan. Sebab, proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik atau persangan bebas dengan penempatkan kemenangan individual total dalam pemilu.

Meskinya kompetisi terjadi antarpartai politik di area pemilu. Sebab, peserta pemilu adalah partai politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.

“Sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak akan melemahkan pelembagaan sistem kepartaian. Dalam praktiknya, calon anggota legislatif yang terpilih dalam pemilu berdasaekan sistem suara terbayak tidak memiliki perilaku dan sikap yang terpola untuk menghormati lembaga kepartaian, lemahnya loyalitas pada partai politik dan tidak tertib pada garis komando kepengurusan partai politik. Hal ini akan berakibat pada krisis kelembagaan partai politik dalam berbangsa dan bernegara,” kata Sururudin dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra tersebut.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya