Aktivis Pro-Palestina Gugat Pemerintahan Trump Rp324 Miliar

Jakarta, IDN Times - Mahmoud Khalil, aktivis mahasiswa pro-Palestina, melayangkan tuntutan ganti rugi sebesar 20 juta dolar AS (sekitar Rp324 miliar) kepada pemerintahan Presiden Donald Trump. Tuntutan tersebut menargetkan tiga lembaga federal, yaitu Kementerian Keamanan Dalam Negeri (DHS), Imigrasi dan Bea Cukai (ICE), serta Kementerian Luar Negeri AS.
Khalil merupakan mahasiswa pascasarjana di Universitas Columbia yang sempat ditahan otoritas AS. Ia menjadi salah satu figur utama dalam protes mahasiswa yang menentang perang Israel di Gaza.
Pengajuan tuntutan ini menjadi langkah awal wajib sebelum gugatan resmi. Pihak Khalil mengklaim penahanannya tidak sah dan disertai niat jahat serta pencemaran nama baik.
Menurut Khalil, tujuan tuntutan ini bukanlah kompensasi finansial, melainkan untuk mencari pertanggungjawaban dari pemerintah. Khalil bahkan menyatakan bersedia menerima permintaan maaf resmi dan perubahan kebijakan deportasi sebagai ganti kompensasi finansial, dilansir The Guardian pada Jumat (11/7/2025).
1. Khalil tuntut pertanggungjawaban pemerintah AS
Khalil mengatakan, gugatan ini adalah cara untuk memastikan pemerintah tidak bisa bertindak sewenang-wenang tanpa konsekuensi.
"Pemerintah menyalahgunakan kekuasaan mereka karena berpikir tidak akan tersentuh hukum. Selama tidak ada pertanggungjawaban, tindakan seperti ini akan terus terjadi tanpa ada yang mengawasi," kata Khalil, dikutip dari Al Jazeera.
Ia juga berencana mendedikasikan dana yang mungkin diterimanya untuk membantu sesama aktivis. Uang tersebut akan disalurkan kepada individu lain yang turut menjadi sasaran karena menyuarakan pendapat mereka.
Pendukungnya menilai, Khalil ditangkap hanya karena aktivisme dan kebebasan berbicaranya yang seharusnya dilindungi konstitusi.
2. Ditahan 104 hari, Khalil lewatkan kelahiran anak pertama
Rangkaian peristiwa ini dimulai pada 8 Maret 2025, saat agen federal berpakaian sipil menangkap Khalil di apartemennya di New York. Setelah ditangkap, ia segera dipindahkan secara diam-diam ke fasilitas penahanan imigrasi di Jena, Louisiana, yang lokasinya sempat tidak diketahui oleh pihak keluarga.
Ia ditahan di LaSalle Detention Center selama 104 hari tanpa pernah menerima dakwaan resmi apa pun. Akibat penahanan ini, Khalil terpaksa melewatkan kelahiran anak pertamanya.
"Saya tidak bisa menggambarkan rasa sakit pada malam itu. Ini adalah sesuatu yang tidak akan pernah saya maafkan," tutur Khalil, dilansir NBC.
Khalil juga mengeluhkan kondisi penahanannya yang dianggap tidak layak. Ia mengaku tidak diberi obat maag dan terpaksa mengonsumsi makanan berkualitas buruk hingga kehilangan berat badan.
3. Khalil dianggap berbahaya bagi kepentingan AS
Penangkapan Khalil didasarkan perintah eksekutif Presiden Trump yang menargetkan imigran dengan sikap bermusuhan. Selain itu, Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, menggunakan Undang-Undang Imigrasi tahun 1952 untuk memproses deportasinya.
Menurut Rubio, pandangan politik Khalil dapat merugikan kebijakan luar negeri AS.
"Keyakinan saya adalah menolak uang pajak atau biaya kuliah saya digunakan untuk berinvestasi pada produsen senjata yang dipakai untuk genosida. Sesederhana itu," jelas Khalil membela pandangannya, dilansir dari CNN.
Meskipun pemerintah bersikeras, seorang hakim federal pada akhirnya tidak setuju dengan dasar hukum tersebut. Pada 20 Juni 2025, hakim memerintahkan pembebasan Khalil dan menyatakan upaya pemerintah untuk menahannya tidak konstitusional.
Walaupun Khalil telah dibebaskan, pertarungan hukumnya belum berakhir. Ia masih harus melawan upaya pemerintah AS untuk menderpotasinya.