TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Andrew Yang, Capres Dambaan Para Pekerja di Sektor Teknologi

Orang-orang Silicon Valey menyebut diri mereka #YangGang

instagram.com/andrewyang2020

San Francisco, IDN Times - Keruntuhan pakem politik dan ekonomi white, anglo saxon, protestant (WASP) yang selama berdekade-dekade mendominasi Amerika Serikat membuka jalan bagi orang-orang dari kelompok minoritas untuk menggunakan hak mereka. Hak tersebut adalah, salah satunya, untuk mencalonkan diri dalam pemilihan presiden.

Inilah jalan yang sedang ditempuh Andrew Yang. Laki-laki yang lahir dari orangtua imigran asal Taiwan tersebut adalah satu dari sedikit minoritas yang menjadi capres untuk Pilpres 2020. Yang terbilang unik karena meski menggunakan Partai Demokrat sebagai kendaraan politik, ia sanggup menarik simpati dari para pendukung Donald Trump.

1. Yang menggunakan masalah di sektor teknologi sebagai platform utama

instagram.com/andrewyang2020

Di antara 25 kandidat presiden dari Demokrat, Yang dianggap publik dan media Amerika Serikat sebagai terunik. Politico menulis sebenarnya laki-laki 44 tahun itu punya kesamaan dengan Donald Trump di ekstrem kanan dan Bernie Sanders (capres Demokrat lainnya) di ekstrem kiri.

Mereka bertiga sama-sama menggunakan kekecewaan terhadap ekonomi sebagai modal kampanye. Bedanya Yang secara spesifik menyebut teknologi menjadi sumber masalahnya. Salah satu fokus Yang adalah dampak otomasi dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) terhadap lapangan pekerjaan.

Baca Juga: Howard Schultz, Mantan CEO Starbucks yang Jadi Capres Independen

2. Ia menyerang perusahaan teknologi raksasa

instagram.com/andrewyang2020

Amazon, perusahaan teknologi raksasa Amerika Serikat, jadi sasaran Yang dalam sejumlah kampanye. Dilansir dari The Verge, ketika berkampanye di Boston Yang berkata kepada 500-an pendukungnya,"Sayangnya, pekerjaan paling umum di Amerika Serikat adalah retail."

Ia menambahkan bahwa rata-rata pekerja retail menerima gaji kurang dari USD11 atau setara Rp153 ribu per jam. Saat ini, DPR sedang membahas untuk menaikkan gaji minimum USD15 atau Rp208 ribu per jam. "Jadi, ketika 30 persen pusat perbelanjaan atau toko tutup dalam empat tahun ke depan, apa yang akan terjadi?"

Yang menilai perusahaan teknologi bertanggung jawab dalam potensi hilangnya banyak lapangan kerja. Di waktu lain, ia menyinggung Tesla. Menurutnya, ada 3,5 juta sopir truk yang takkan bisa lagi bekerja karena perusahaan milik Elon Musk tersebut akan mengganti truk manual dengan yang otomatis.

3. Yang ingin membedakan diri dengan Trump

instagram.com/andrewyang2020

Yang sendiri banyak berkecimpung di sektor teknologi. Ia juga pernah menjadi CEO dari sebuah startup. Sama-sama datang dengan latar belakang pengusaha dan belum pernah menjadi pejabat publik, Yang ingin membedakan dirinya dari Trump.

Dalam sebuah video kampanye, ia mengklaim Trump "bukan pengusaha" karena profesi ini "membangun tim" sedangkan presiden Amerika Serikat itu justru memecah-belah.

"Saya adalah orang yang tepat untuk pekerjaan ini [presiden] sebab lawan dari Donald Trump adalah seorang laki-laki Asia yang menyukai matematika," ujar laki-laki lulusan Brown University itu yang disambut tawa oleh para pendukungnya.

Ketika menyebut matematika (atau math dalam bahasa Inggris), Yang juga menyerempet ke slogan kampanyenya. MATH atau Makes America Think Harder (Buat Amerika Berpikir Lebih Keras) ia anggap sebagai antitesis dari MAGA atau Makes America Great Again (Buat Amerika Berjaya Lagi) yang dipakai Trump.

Ia menilai penolakan Trump terhadap ilmu pengetahuan, termasuk krisis iklim, cukup meyakinkan publik untuk bisa membedakan keduanya. Yang pun berpendapat tak ada politisi di Washington yang paham ancaman teknologi terhadap perekonomian.

4. Pendukung Trump menyukai Yang

instagram.com/andrewyang2020

Beberapa pekerja di Silicon Valley yang menyebut diri mereka #YangGang mengaku mendukung Yang karena ia memahami cara berpikir dan kegelisahan mereka. Yang, kata mereka, memakai pendekatan data dan menolak retorika ideologis dalam menyampaikan agenda kampanyenya. 

Dalam beberapa acara, keberadaan seorang pembuat robot yang membawa tulisan "Kemanusiaan yang Pertama" atau "Tidak Kiri, Tidak Kanan, tapi Maju" jadi pemandangan umum. Begitu juga dengan kemunculan pendukung Trump yang sebagian besar laki-laki berkulit putih, neo-Nazi, dan kerap bersikap rasis.

Dalam wawancara podcast dengan jurnalis Mehdi Hasan, Yang berpendapat dukungan dari kelompok supremasi kulit putih datang karena ia memahami "kegelisahan ekonomi" yang "berhubungan dengan ideologi mereka". Dengan kata lain, Yang menilai orang-orang itu rasis karena sumber pendapatan mereka sedang terancam.

Baca Juga: Ilhan Omar Sebut Trump 'Fasis' Usai Jadi Target Serangan Rasisnya

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya