TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengapa Angka Kematian Akibat COVID-19 di India Bisa Tembus 100 Ribu?

Di bulan September, rata-rata 1.100 warga India meninggal

Ilustrasi relawan memeriksa denyut nadi warga di India ketika kampanye kesehatan (ANTARA FOTO/REUTERS/Francis Mascarenhas)

Jakarta, IDN Times - Angka kematian akibat COVID-19 di India masuk ke tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Situs World O Meter , Minggu (4/10/2020), mencatat angka kematian di negara penghasil film Bollywood itu mencapai 101.802. Sedangkan 6,5 juta orang telah terpapar COVID-19. 

Bila dilihat dari angka statistik, maka India berada di posisi ketiga dengan angka kematian tertinggi di dunia. Di atas India, ada Brasil dengan 146.011 pasien meninggal dan Amerika Serikat 214.277 orang. 

Stasiun berita BBC pada hari ini melaporkan, September menjadi bulan terburuk bagi India. Sebab, per harinya ada 1.100 warga yang meninggal akibat COVID-19. Beberapa ahli menyebut terjadi anomali di India, lantaran di beberapa negara bagian melaporkan tingkat kematian yang lebih tinggi dibandingkan negara bagian lainnya. 

Mengapa tingkat kematian di India begitu tinggi? India menjadi satu-satunya negara Asia yang masuk dalam peringkat tiga besar dunia dengan angka kematian terbesar akibat COVID-19. 

Baca Juga: India Jadi Negara dengan Kasus Covid-19 Terbesar Kedua di Dunia

1. Penyebaran COVID-19 secara massif terjadi di negara bagian yang paling kaya di India yakni Maharashtra

Pekerja migran di India membawa anaknya yang tidak dapat makanan karena kena lockdown ( ANTARA FOTO/REUTERS/Rupak De Chowdhuri)

Pandemik COVID-19 di India masuk dari negara bagian paling kaya dan luas yakni Maharashtra. Data yang dikutip dari stasiun berita BBC, di negara bagian itu ada 1,3 juta kasus COVID-19. Sedangkan angka kematian, sudah lebih dari 36 ribu. 

Pandemik menyebar di negara bagian Maharashtra begitu cepat dan terus bertambah. Angka harian kematian di negara bagian itu pada September rata-rata antara 300 hingga 500. Angka ini lebih buruk dibandingkan negara bagian lainnya, yang rata-rata melaporkan kurang dari 100 per harinya dalam satu bulan. 

Sedangkan, pandemik di negara bagian Mumbai, menurut para ahli sudah tidak terlalu mengkhawatirkan. Dr Aurnab Ghose yang merupakan bagian dari tim yang melakukan uji coba antibodi mengatakan, Mumbai justru menjadi pintu masuk COVID-19 menuju ke Maharashtra. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh tim Pemerintah India, sebagian warga di kota itu sudah mulai membentuk antibodi dalam melawan virus Sars-CoV-2. 

Area yang menjadi sorotan di Mumbai yakni Pune. Angka penyebaran COVID-19 di area ini begitu tinggi lantaran didukung aktivitas warga dari area pedesaan menuju kota. Selain itu, sistem kesehatan di Distrik Pune sudah kewalahan, sehingga menyebabkan kematian pada warga yang terpapar virus corona. 

2. Kemampuan tes COVID-19 di India masih belum merata

Ilustrasi seorang pria menutupi mulut dan hidungnya saat naik kereta di India (ANTARA FOTO/REUTERS/Adnan Abidi)

Berdasarkan data dari situs World O Meter, kemampuan tes di India menunjukkan 56.271 per 1 juta penduduk. Sedangkan jumlah penduduk yang telah menjalani tes COVID-19 mencapai 77,8 juta dari total angka penduduk 1,3 miliar.

BBC menulis,  kemampuan tes COVID-19 di India masih belum merata di semua wilayah. Pengajar di Institut Brooking, Washington DC, Dr Shamika Ravi mengatakan, salah satu wilayah yang tidak juga meningkatkan kemampuan tes adalah negara bagian Maharashtra. Padahal, tingkat positif hasil tes warga mencapai 6,2 persen. 

Di negara bagian itu, ketika warga dites lebih banyak yang kembali dengan hasil positif. Selain itu, angka kematian juga tinggi. Namun, pemerintah setempat tidak meningkatkan kemampuan untuk melakukan tes. 

"Bila Anda tidak melakukan tes lebih banyak dan tingkat positif (kasus COVID-19) masih tetap tinggi, itu berarti tingkat penularan virus masih tinggi. Artinya, Anda menangkap kasus sudah dalam kondisi terlambat," ungkap Ravi. 

Bila terlambat mengetahui kasus COVID-19 dikhawatirkan bisa membuat pasien telat memperoleh penanganan medis. Hal itu didukung oleh analisa ahli epidemiologi, Dr Jacob John. 

"Bila kapasitas tes lemah, maka berdampak pada lemahnya hasil penanganan. Seseorang harus mengasumsikan hasil tes akan mengubah cara pasien dirawat oleh tim medis," tutur John. 

Baca Juga: Sempat Positif COVID-19, Mantan Presiden India Pranab Mukherjee Wafat

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya