TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Menlu Retno: RI Tidak akan Korbankan Lingkungan Demi Kejar Ekonomi

Retno minta Uni Eropa tak diskriminasi kelapa sawit RI

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi ketika memberikan briefing pada 3 Desember 2020 (Dokumentasi Kementerian Luar Negeri)

Jakarta, IDN Times - Dorongan Pemerintah Indonesia kepada Uni Eropa agar berhenti mendiskriminasi komoditas kelapa sawit Tanah Air mulai membuahkan hasil. UE bersedia berdialog dalam format Joint Working Group (JWG) dengan Indonesia yang digelar pada Januari 2021. 

"Joint working group nanti akan membahas minyak nabati termasuk minyak sawit. Ini merupakan sebuah kemajuan yang besar," tutur Menteri Luar Negeri Retno Marsudi ketika memberikan keterangan pers pada Kamis, 3 Desember 2020. 

Menlu perempuan pertama di Indonesia itu mengatakan dialog JWG itu sudah diperjuangkan sejak Maret 2019 lalu. Tujuannya, kata dia, untuk mendorong kebijakan non-diskriminatif, adil dan seimbang terhadap komoditas yang menjadi komoditas strategis bagi ASEAN. Hal itu disampaikan oleh Retno ketika hadir dalam forum Pertemuan ke-23 Menlu ASEAN dengan Uni Eropa pada 1 Desember 2020 lalu. 

"Dengan adanya JWG maka terdapat forum tukar pandangan terkait kriteria keberlanjutan dan proses sertifikasi minyak nabati. Di sana juga bisa dibahas kerja sama untuk mendorong produksi minyak sawit yang ramah lingkungan, khususnya bagi petani kecil," kata dia lagi. 

Forum yang sama juga bisa dimanfaatkan untuk membahas penelitian mengenai kriteria keberlanjutan dan sertifikasi minyak nabati. Tudingan bahwa produk kelapa sawit didiskriminasi bermula dari adanya kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation.

Kebijakan itu memasukkan minyak kelapa sawit dalam kategori komoditas yang memiliki Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi. Akibatnya, biofuel berbahan baku minyak kelapa sawit tidak termasuk ke dalam target energi terbarukan UE, termasuk minyak kelapa sawit produksi Indonesia. 

Di sisi lain, Uni Eropa membantah memperlakukan produk kelapa sawit Indonesia secara diskriminatif. Apa kata mereka?

Baca Juga: Menlu Retno Minta Uni Eropa Hentikan Diskriminasi Produk Sawit RI

1. Uni Eropa tegaskan produk kelapa sawit RI tetap boleh diekspor ke sana

Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Brunei Darussalam dan Timor Leste, Vincent Piket (Tangkapan layar diskusi FPCI)

Dalam diskusi menuju Global Town Hall, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket, menepis adanya larangan ekspor produk kelapa sawit ke UE. Bahkan, menurutnya, berdasarkan data yang ada ekspor kelapa sawit ke UE angkanya tetap stabil. Piket tak membantah memang ada fluktuasi harga kelapa sawit.

"Kadang fluktuasi itu untuk produk kelapa sawit mentah (CPO) atau biodiesel yang terbuat dari sawit. Namun, nilai perdagangannya tetap stabil dan terjaga di angka 8 persen," ungkap Piket dalam diskusi yang digelar pada 18 November 2020 lalu. 

Piket juga menggarisbawahi media di Tanah Air kerap keliru menangkap isu yang sebenarnya terjadi di UE. Menurut dia, ini semua terkait penggunaan kelapa sawit untuk biodiesel. "Menurut anggota parlemen UE, biodiesel yang terbuat kelapa sawit tidak memenuhi kriteria kebijakan energi yang terbarukan," tutur dia. 

Piket mengatakan biodiesel yang terbuat dari kelapa sawit tetap boleh masuk ke UE, namun 28 negara anggota tidak bisa menggunakannya untuk memenuhi kewajiban mereka mengurangi karbon dioksida (CO2). 

"Indonesia dan Malaysia sebagai produsen kelapa sawit menilai data itu keliru. Dari sanalah muncul isu adanya diskriminasi terhadap produk itu dan dipicu oleh UE," kata dia. 

Sementara, menurut penilaian dua akademisi yakni Elizabeth Robinson dan Herry Purnomo, usulan parlemen UE akan berdampak pada penurunan permintaan kelapa sawit. UE menargetkan kebijakan penghapusan biodiesel yang terbuat dari kelapa sawit akan diterapkan pada 2030. 

Namun, Robinson dan Herry justru berpandangan bila produk kelapa sawit Indonesia tak bisa lagi digunakan untuk biodiesel, hal tersebut tidak berpengaruh banyak. Sebab, dari 2/3 ekspor produksi biodiesel Indonesia, hanya 1/5 yang ditujukan ke pasar UE. Mereka memprediksi bila akses pasar ke UE ditutup, maka pemerintah akan meningkatkan ekspor biodiesel ke Tiongkok dan India. 

2. Menlu Retno menegaskan RI tidak akan mengorbankan lingkungan untuk mengejar pembangunan ekonomi

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi ketika berbicara pada 3 Desember 2020 (Dokumentasi Kementerian Luar Negeri)

Salah satu alasan mengapa komoditas biodiesel dari kelapa sawit akan dihilangkan dari UE, lantaran dinilai tidak ramah lingkungan. Selain itu, banyak laporan yang menyebut hutan di Tanah Air dibuka tak sesuai prosedur untuk dibangun kebun kelapa sawit. 

Namun, Menlu Retno menegaskan Indonesia tidak akan mengorbankan kelestarian lingkungan hanya untuk mengejar pembangunan ekonomi. "Kami akan terus memegang prinsip di mana pemulihan ekonomi paskapandemik dalam konteks lingkungan hidup akan terus menjadi kepentingan dan komitmen Indonesia, ASEAN dan sudah seharusnya seluruh mitra kita memiliki komitmen yang sama," kata dia lagi. 

Tetapi, pernyataan Retno bertolak belakang dengan apa yang disampaikan oleh Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Asia Tenggara, Kiki Taufik. Kepada IDN Times, ia mengatakan, komitmen Indonesia dalam melindungi hutan dan alam jelas diragukan karena Undang-Undang Cipta Kerja yang baru disahkan Presiden Joko "Jokowi" Widodo malah membahayakan kelestarian alam. 

"Karena proses pengajuan Amdal (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) semakin lemah, strict liablity nya pun dicabut," ungkap Kiki pada 15 November 2020 lalu. 

Bila melihat ke dalam poin mengenai UU Cipta Kerja, maka aturan tersebut menghapus, mengubah, dan menetapkan aturan baru terkait perizinan berusaha yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 

Pemberian izin lingkungan kini menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak lagi dapat mengeluarkan rekomendasi izin apapun. Hal ini tercantum dalam Pasal 24 ayat 1 yang menyebut Amdal menjadi dasar uji kelayakan lingkungan hidup oleh tim dari lembaga uji kelayakan pemerintah pusat.

Hal ini bertolak belakang dengan aturan sebelumnya. Di dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 menyebutkan dokumen Amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangan. Bila tidak ada rekomendasi Amdal, maka izin lingkungan tak akan terbit.

Baca Juga: Perjuangkan Nasib Kelapa Sawit, Pemerintah RI Gugat Uni Eropa di WTO

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya