TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

KTT G20 Bali Jadi Momen Perdana Joe Biden dan Xi Jinping Bertatap Muka

Ada sejumlah hal yang akan dibicarakan

Xi Jinping dan Joe Biden (Instagram.com/chinaxinhuanews/facebook.com/Joe Biden)

Jakarta, IDN Times - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden akan bertemu Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G20 minggu depan, menurut keterangan Gedung Putih. 

Ini akan menjadi yang pertama kalinya kedua kepala negara bertemu secara langsung atau tatap muka sejak Biden menjabat presiden pada awal 2021.

Dilansir Aljazeera, Jumat (11/11/2022), Gedung Putih mengatakan Biden akan berbicara dengan Xi pada 14 November di Bali, Indonesia. Keduanya akan membahas upaya untuk mempertahankan dan memperdalam jalur komunikasi antara kedua negara pada saat ketegangan meningkat.

Baca Juga: Vladimir Putin Absen di G20, Zelenskyy Belum Pasti Hadir Juga 

1. Hubungan AS dan China sedang tegang

Presiden China Xi Jinping (ANTARA FOTO/REUTERS/Thomas Peter)

Pertemuan kedua pimpinan negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ini terjadi di tengah meningkatnya ketegangan antara pemerintah AS dan China atas isu-isu seperti kebijakan perdagangan, invasi Rusia ke Ukraina, dan provokasi di Taiwan.

Kantor berita Associated Press melaporkan, Gedung Putih bekerja dengan pejabat China selama beberapa minggu untuk mengatur pembicaraan ini.

Meskipun KTT G20 di Bali nanti menjadi momen pertama keduanya bertemu secara langsung, Biden dan Xi sudah pernah mengadakan beberapa pertemuan virtual.

2. Komitmen kedua kepala negara untuk berdamai hadapi banyak ujian

Presiden China Xi Jinping dan Presiden Amerika Serikat Joe Biden (www.china-embassy.org)

Baru beberapa minggu berlalu setelah masa jabatan Xi Jinping sebagai pemimpin China diperpanjang, dia mengatakan dalam sebuah surat bahwa AS dan China harus menemukan cara untuk bergaul di era baru. Biden juga memperjelas bahwa pihaknya tidak mencari konflik.

Komitmen itu telah diuji atas sejumlah masalah. AS mengkritisi pendekatan China atas Taiwan, yang dipandang sebagai bagian dari wilayahnya. Sementara, AS juga tampak ingin melemahkan industri manufaktur chip semikonduktor China.

Dalam beberapa tahun terakhir, AS juga telah mengkritik catatan hak asasi manusia China, terutama yang menyangkut minoritas muslim Uighur di provinsi barat Xinjiang.

Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan, setidaknya 1 juta orang Uighur dan minoritas lainnya ditahan di jaringan pusat-pusat penahanan, yang menurut kantor hak asasi manusia PBB pada September dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

China mengatakan langkah-langkah itu diperlukan untuk melawan ekstremisme, dan menolak kritik internasional sebagai disinformasi.

Baca Juga: Kanada Sebut Kehadiran China Semakin Mengganggu di Indo-Pasifik

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya