TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Etnis Rohingnya Siap Menerima Junta, Asal Diakui Sebagai Warga Negara

Mereka skeptis dengan rayuan manis NUG

Ilustrasi pengungsi etnis Rohingya berada di Pulau Idaman, pesisir Pantai Kuala Simpang Ulim, Aceh Timur, Aceh, Sabtu (5/6/2021). Sebanyak 81 orang pengungsi etnis Rohingya dengan tujuan Malaysia yang terdampar di Aceh pada 4 Juni 2021. (ANTARA FOTO/Irwansyah)

Jakarta, IDN Times - Sejumlah etnis muslim Rohingnya mengaku tidak keberatan bekerja sama dengan siapa saja, termasuk junta militer, asalkan mereka menjamin hak-hak warga negaranya.

Etnis Rohingnya terlanjur skeptis dengan tawaran Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), yang berjanji akan memberikan hak kewarganegaraan jika mereka bergandengan tangan melawan rezim yang saat ini dipimpin oleh Min Aung Hlaing.

"Jika mereka akan memberikan hak kami, kami akan bekerja sama dengan militer, NLD atau NUG. Kami akan bekerja sama dengan siapa pun yang memberikan hak kami,” kata Ko Tun Hla, penduduk Rohingnya yang saat ini berada di kamp pengungsian, dikutip dari The Straits Times.

Baca Juga: Ratusan Pengungsi Rohingya akan Dideportasi India ke Myanmar

1. Rohingnya takut dijadikan sebagai tameng untuk menggalang dukungan internasional

Para pengungsi Rohingnya terdampar di Aceh setelah berbulan-bulan di tengah laut (twitter.com/AJ+)

NUG sedang menggalang kekuatan dan dukungan dari masyarakat lokal serta internasional untuk melawan rezim junta, yang didukung secara tidak langsung oleh Tiongkok dan Rusia. Sejumlah etnis Rohingnya merasa, mereka hanya dijadikan sebagai objek penarik simpati dari komunitas internasional.

"Memberi janji dan kemudian mendapat dukungan dari luar negeri, itu seperti memberi umpan untuk ikan," kata Wai Mar, yang telah tinggal di kamp pengungsian selama hampir satu dekade.

Ungkapan Wai Mar merupakan respons atas pemerintahan Aung San Suu Kyi, sebelum dikudeta, yang ternyata gagal memberikan perlindungan kepada etnis Rohingnya. Alih-alih menghukum militer atas pelanggaran kemanusiaan dan upaya genosida, Suu Kyi justru membela para jenderal di hadapan Mahkamah Internasional.

"Kami khawatir kami ada hanya untuk menjadi tameng manusia atau kambing hitam," tambah Wai Mar.

2. Rohingnya juga putus asa dengan pemerintahan sipil

Pengunjuk rasa memprotes kudeta militer di Yangon, Myanmar, Rabu (17/2/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer

Etnis Rohingnya mengalami berbagai perlakuan diskriminatif, mulai dari tidak diakui sebagai warga negara hingga tidak memperoleh akses terhadap kesehatan dan pendidikan. Mereka lebih disebut sebagai “muslim yang tinggal di Rakhine” daripada etnis Rohingnya, sebagai penegasan bahwa pemerintah melihat mereka sebagai pengungsi dari Bengali, Bangladesh.

Di sisi lain, masyarakat Myanmar yang mayoritas beragama Buddha juga seperti tidak peduli dengan penderitaan yang dirasakan etnis Rohingnya selama ini.

"Kami tidak bisa menaruh semua kepercayaan dan harapan kami pada mereka karena kami telah ditindas begitu lama,” kata San Yee, ibu empat anak yang berada di pengungsian dan hidup dari uang kiriman suaminya yang bekerja di Malaysia.

“Kami mengerti bahwa kami tidak akan mendapatkan semuanya dalam semalam. Tapi kami bahkan tidak mendapatkan hak asasi manusia, seperti menjadi warga negara atau kembali ke rumah asal kami,” ujar pengungsi lainnya, Ko Tun Hla.

Baca Juga: Pengungsi Rohingnya: Kami Takut Disiksa jika Kembali ke Myanmar

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya