Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi bendera Amerika Serikat. (unsplash.com/Brandon Mowinkel)
ilustrasi bendera Amerika Serikat. (unsplash.com/Brandon Mowinkel)

Intinya sih...

  • Delapan warga asing dideportasi ke Sudan Selatan.

  • Mereka berasal dari enam negara berbeda dan memiliki catatan kriminal berat di AS.

  • Pemerintah AS mengklaim Sudan Selatan setuju menerima mereka dengan status imigrasi sementara.

Jakarta, IDN Times - Pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah pimpinan Presiden Donald Trump telah menyelesaikan proses deportasi terhadap delapan orang warga negara asing ke Sudan Selatan. Deportasi dilaksanakan tepat pada Hari Kemerdekaan AS, Jumat, (4/7/2025), dan menjadi sorotan internasional.

Langkah ini menuai kontroversi karena kedelapan pria tersebut bukanlah warga negara Sudan Selatan, melainkan berasal dari sejumlah negara di Asia dan Amerika Latin. Mereka dikirim ke negara yang oleh Kementerian Luar Negeri AS sendiri dikategorikan sebagai zona berbahaya akibat maraknya konflik bersenjata, kejahatan, dan penculikan.

Pesawat yang membawa rombongan tersebut dilaporkan mendarat di Juba, ibu kota Sudan Selatan, pada Sabtu (5/7/2025) pagi waktu setempat. Sebelum diterbangkan, mereka sempat ditahan selama berminggu-minggu di Camp Lemonnier, sebuah pangkalan militer AS yang berlokasi di Djibouti, Afrika.

1. Berasal dari enam negara berbeda

Para pria yang dideportasi berasal dari enam negara berbeda, yaitu Kuba, Laos, Meksiko, Myanmar, Sudan, dan Vietnam. Semuanya dipulangkan setelah selesai menjalani masa hukuman di berbagai penjara di AS atas tindak pidana berat yang mereka lakukan.

Kementerian Keamanan Dalam Negeri AS (DHS) merinci bahwa catatan kriminal mereka mencakup kasus pembunuhan, perampokan, perdagangan narkoba, hingga kekerasan seksual. Sebuah foto yang dirilis oleh DHS kepada media menunjukkan para deportan duduk di dalam pesawat dengan kondisi tangan dan kaki terborgol selama perjalanan.

Pemerintah AS mengklaim bahwa otoritas Sudan Selatan telah setuju untuk menerima kedelapan pria itu dan akan memberikan mereka status imigrasi sementara. Pihak AS juga menyatakan tidak mengajukan permintaan agar mereka ditahan atau dipenjara setibanya di negara tersebut, dilansir Al Jazeera.

2. Pengacara berjuang hingga menit akhir untuk batalkan deportasi

Deportasi ini terwujud setelah melalui pertarungan hukum yang panjang dan alot antara pemerintah dengan tim pengacara para tahanan. Pada hari deportasi, para pengacara sempat melakukan upaya terakhir untuk menghentikan penerbangan dengan alasan tindakan itu melanggar Konstitusi AS.

Mereka berargumen, mengirim para tahanan ke zona konflik yang berbahaya merupakan hukuman kejam dan tidak biasa. Namun, upaya hukum tersebut ditolak oleh Hakim federal Brian E. Murphy dari pengadilan Massachusetts.

Hakim Murphy menyatakan bahwa keputusannya terikat oleh perintah yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung AS sehari sebelumnya. MA telah dua kali turun tangan dan memihak pemerintah dengan memberi lampu hijau untuk deportasi ini. Seorang hakim federal lain yang sempat menangani kasus ini, Randolph Moss, mengaku prihatin atas keselamatan para pria tersebut.

"Saya percaya para pengacara telah melakukan yang terbaik untuk mencegah ini. Tampaknya, menempatkan orang di Sudan Selatan memang akan menimbulkan risiko signifikan terhadap keselamatan mereka," kata Moss, dikutip dari CNN.

3. Deportasi menuai kritik

Deportasi ini menuai kecaman dari berbagai kelompok hak asasi manusia dan para advokat imigrasi. Mereka menuduh pemerintah AS secara sengaja menempatkan nyawa kedelapan pria tersebut dalam bahaya sebagai bentuk hukuman tambahan.

Para advokat berpendapat bahwa para pria tersebut telah menjalani hukuman sesuai kejahatan mereka dan tidak sepantasnya dibuang ke negara berbahaya. Trina Realmuto, seorang pengacara dari National Immigration Litigation Alliance, menyebut tindakan ini ilegal.

"Kementerian Luar Negeri melarang warga AS ke Sudan Selatan, namun tetap mendeportasi para pria ini ke sana tanpa proses hukum memadai," ujar Realmuto, dilansir CBS.

Di sisi lain, pemerintah AS membela keputusannya dan menganggapnya kemenangan bagi supremasi hukum. DHS melabeli para pria yang dideportasi sebagai penjahat barbar sebagai justifikasi keamanan nasional mereka.

"Seorang hakim distrik tidak bisa mendikte keamanan nasional dan kebijakan luar negeri AS. Hari Kemerdekaan ini menandai kemenangan lain bagi keselamatan dan keamanan rakyat Amerika," ujar juru bicara DHS, Tricia McLaughlin.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team