Eropa Diminta Setop Pendanaan ke Libya Usai Penemuan Kuburan Massal

Jakarta, IDN Times - Anggota Parlemen Eropa (MEP) dan kelompok masyarakat sipil mengungkapkan kekhawatiran mereka terkait penemuan dua kuburan massal di Libya tenggara bulan ini. Mereka mendesak agar Komisi Eropa menghentikan pendanaan dan program kerja samanya dengan negara Afrika tersebut
Sebanyak 19 jenazah ditemukan kuburan massal di kota Jakharrah, sementara 59 jenazah lainnya ditemukan di kuburan massal di distrik Kufra. Mereka diduga adalah orang-orang Sub-Sahara yang menjadi korban perdagangan manusia saat melintasi Libya. Laporan menyebutkan bahwa beberapa di antaranya tewas akibat ditembak.
“Di Libya, penyiksaan dan pembunuhan terhadap migran dalam tahanan, penelantaran mereka di laut atau gurun; ditahan dalam kondisi yang mirip dengan perbudakan; kelaparan dan pelanggaran hak asasi manusia serius lainnya telah didokumentasikan secara luas oleh Misi Pencari Fakta Independen PBB di Libya dan badan-badan lainnya,” kata mereka dalam sebuah pernyataan bersama, dikutip dari Middle East Eye.
“Jelas bahwa pendanaan migrasi Uni Eropa (UE) ke Libya, serta pendanaan dari negara-negara anggota UE seperti Italia dan Prancis, belum memenuhi janjinya untuk memperbaiki kondisi bagi mereka yang mencari perlindungan," tambahnya.
1. Kuburan massal berisi 65 jenazah juga ditemukan di Libya tahun lalu
Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mengatakan, polisi menemukan kuburan massal tersebut saat menggerebek pusat penyelundupan manusia. Ratusan orang yang menjadi korban perdagangan manusia berhasil dikeluarkan dari tempat itu.
Pihak berwenang Libya mengatakan bahwa tiga orang telah ditangkap, termasuk dua warga asing.
Penemuan kuburan massal berisi jenazah migran bukan hal baru di Libya. Pada 2024, pihak berwenang juga menemukan sedikitnya 65 jenazah di wilayah Shuayrif, sekitar 350 kilometer di selatan ibu kota, Tripoli.
“Penemuan kuburan massal ini merupakan satu lagi konfirmasi mengerikan atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang dihadapi para migran di Libya, yang dilakukan oleh pasukan keamanan negara dan kelompok milisi bersenjata,” kata MEP Tineke Strik.
2. UE sumbang Rp7,9 triliun untuk Libya pada 2015-2021
UE menyumbangkan dana sebesar 487 juta dolar AS (sekitar Rp7,9 triliun) untuk Libya melalui Emergency Trust Fund for Africa pada 2015–2021, dengan operasi yang diperkirakan berlanjut hingga akhir 2025. Pada 2023, Uni Eropa juga menyerahkan lima kapal kepada Penjaga Pantai Libya.
"Penemuan kuburan massal baru di Libya menjadi bukti nyata bahwa setelah lebih dari satu dekade dukungan UE terhadap pasukan keamanan Libya, kondisi mematikan dan tidak manusiawi bagi mereka yang mencari perlindungan masih terus terjadi," kata David Yambio dari Refugees in Libya.
Selama bertahun-tahun, kelompok hak asasi manusia dan badan-badan PBB telah mendokumentasikan penganiayaan sistematis terhadap migran di Libya, termasuk kerja paksa, pemukulan, pemerkosaan dan penyiksaan. Para penyelundup juga kerap memeras keluarga migran sebelum mengizinkan mereka meninggalkan negara tersebut dengan perahu.
Mereka yang dicegat dan dikembalikan ke Libya akan ditahan di pusat penahanan yang dikelola pemerintah. Di tempat itu, mereka menjadi sasaran penyiksaan, pemerkosaan dan pemerasan.
3. Pelaku perdagangan manusia manfaatkan ketidakstabilan di Libya
Dilansir dari Al Jazeera, Libya merupakan titik transit utama bagi migran dari Afrika dan Timur Tengah yang berusaha mencapai Eropa.
Negara ini telah terjerumus ke dalam kekacauan setelah pemberontakan yang didukung NATO menggulingkan dan membunuh penguasa lama, Moammar Gadhafi, pada 2011. Sejak saat itu, Libya dikontrol oleh pemerintahan yang saling bersaing, dengan masing-masing didukung oleh berbagai milisi dan pemerintah asing.
Pelaku perdagangan manusia memanfaatkan ketidakstabilan ini untuk menyelundupkan migran melintasi perbatasan negara tersebut. Mereka nantinya akan diangkut ke dalam perahu karet atau kapal lainnya yang tidak layak untuk menempuh perjalanan berisiko melalui rute berbahaya di Laut Mediterania Tengah.